Jumat, 06 September 2013

Bunga Rampai Berpamrih Uang

(Menyikapi Selebrasisme Komunitas Sastra)

Maraknya penerbitan antologi berjamaah secara indie mengisyaratkan gairah publik terhadap kesusastraan masih cukup besar. Perhelatan antologi puisi, cerpen, dan esai menandakan kesadaran berliterasi masih terawat dengan baik. Gerakan merawat etos lewat sederet sayembara, lomba, serta undangan menulis, dengan maksud untuk dibukukan, kerap digawangi oleh sejumlah kampus, komunitas sastra, dewan kesenian, hingga inisiatif pribadi

Tradisi pembukuan secara berjamaah ini cukup mempan merangsang gairah calon penulis/pemula untuk terus mengasah ketajaman mata pena, sebelum benar-benar bersaing dalam jagat kepenulisan yang lebih menantang: sastra koran. Antologi tersebut kelak dijual lebih murah ketimbang harga di toko buku. Bahkan, tak jarang buku dibagi cuma-cuma saat forum sastra berlangsung. Beberapa pihak mengklaim, proyek antologi tak lain dari bentuk perlawanan terhadap dominasi koran. Apa pun itu, antusias pemula untuk membukukan karya sangatlah besar.

Cerpenis S Prasetyo Utomo, di rubrik ini, pernah mengakui, melimpah-ruahnya peserta lomba menulis cerita pendek dari seluruh penjuru Tanah Air menandakan dunia penciptaan cerpen kita tetap bergairah. Meskipun belum diketahui pasti, misi setiap individu ketika mengikutsertakan karyanya dalam lomba. Apakah sebatas iseng, coba-coba, mencari pengakuan, atau justru sudah sampai pada keseriusan melakukan inovasi penciptaan (SM, 26 Mei 2013).

Sederet hajatan temu sastrawan kerap digagas di beberapa daerah. Ada acara yang digarap serius, dari perhelatan acara hingga realisasi buku yang dicetak. Urusan pendanaan disiapkan secara seksama dengan menggaet tokoh-tokoh peduli literasi sebagai donatur, jauh dari kesan sponsorship yang mengikat. Ada pula pihak yang secara tegas menggandeng institusi pemerintahan, kampus, birokrat, hingga produk komersil sebagai penopang dana. Tidak jarang pula, pihak-pihak yang, dengan pendanaan terbatas, tanpa sponsor atau donatur, berani mengadakan perhelatan antologi untuk umum. Bedanya, pendanaan mengandalkan (dibebankan?) kepada penulis yang karyanya ingin disertakan dalam buku. Bagi pemula yang sedang memperbanyak “jam terbang”, dan mendambakan legitimasi kepenyairan, partisipasi pendanaan tersebut tentu tidak jadi masalah. Banyak pemula secara sukarela menyetor sejumlah uang agar karyanya disertakan dalam antologi. Untuk yang terakhir, menurut saya, perlu mendapat sorotan lebih jelas.

***
Undangan menulis kini memang lazim beredar di kalangan penulis. Hingga pada satu kesempatan, beredar undangan menulis untuk umum bertajuk “temu penyair” di media sosial. Merasa rangsang berliterasinya terpantik, seorang teman, seorang penyair pemula, mengirim sejumlah puisi, dengan harapan karyanya lolos seleksi. Undangan ini sukses menyedot perhatian para peminat puisi. Kebahagiaan seperti apakah yang penyair harapkan, selain karyanya dipublikasikan secara luas, dan ia dikenal begitu banyak orang?

Namun, begitu bimbangnya kawan saya itu, ketika sebuah pesan elektronik mengabarkan, karyanya akan dibukukan asal bersedia menyetor sejumlah uang kepada panitia. Apa beda berliterasi dengan kampanye politik jika ada keharusan membayar sejumlah uang demi pamrih publikasi? Dengan pertimbangan yang tidak terlalu lama, kawan saya itu urung meladeni permintaan panitia. Ia tertegun, dan sebentar kemudian berkata dengan lirih: tidak sepantasnya hajatan literasi dicemari nafsu ekonomistik!  

***
Pada etisnya, niat mengadakan hajatan dokumentasi-publikasi karya sastra berawal dari kesadaran dan kepedulian: sadar atas pentingnya merawat etos berliterasi, peduli terhadap ruang-ruang alternatif bagi pemula. Sikap ini muncul ketika media massa tidak cukup menampung bibit-bibit baru yang terus bersitumbuh. Ibaratnya, proyek penerbitan antologi digagas sebagai ajang menempa para pemula, yang barangkali belum mencapai kriteria media massa, ataupun karena memiliki kecenderungan berkarya di luar mainstream. Pada penerbitan antologi inilah mereka ditampung dan dirawat.  

Niatan berliterasi tidak sepantasnya dikeruhi urusan ekonomistik. Pihak-pihak yang terkait akan lebih mulia jika mengabarkan undangan berdonasi secara terbuka, tidak mengikat, dan transparan. Penulis teringat ketika dulu pernah mengikuti sebuah gelaran sastra di Solo. Meski digagas dengan dana yang penulis kira terbatas, acara berlangsung menarik dan berkesan. Panitia mempersilakan peserta yang hendak berdonasi untuk biaya cetak buku tanpa harus membebankan siapa pun yang karyanya hendak dimuat.

Fenomena bunga rampai kesusastraan berpamrih uang menjelaskan kepada publik bahwa kesadaran berkesenian masih kerap terjerat urusan-urusan non-estetik, politik, hingga meterialistik. Niat mengumpulkan-mempertemukan penulis dan karyanya dalam hajatan sastra dan penerbitan buku, sudah sepatutnya kita apresiasi. Namun, praktik-praktik menyimpang dari niat baik itu, akan menjadi jamur bagi mental para pemula. Berkesusastraan bukan agenda berpamrih uang. Literasi merekam peradaban. Ia memberi kesaksian atas pemaknaan manusia membaca zaman.

Hasrat meraup keuntungan ekonomi dari gelaran sastra adalah kepandiran tak terperi dari seorang seniman. Alih-alih mengangkat wacana kesusastraan Jawa Tengah ke pentas nasional, ulah sebagian sastrawan “matre” dalam proyek antologinya, ibarat kanker di dalam tubuh. Ia harus segera diobati, dan jika memungkinkan, “dibersihkan sampai ke akar-akarnya!” Kesadaran dan etos kesusastraan tidak pernah berhenti pada satu puncak. Ia berlangsung terus menerus, tanpa henti, tanpa memerlukan tawaran-tawaran klise, kecuali estetika. Dan, saya pikir semua seniman-sastrawan paham keyakinan ini. []  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar