(Menyikapi Selebrasisme Komunitas Sastra)
Maraknya penerbitan antologi berjamaah secara indie mengisyaratkan gairah publik terhadap
kesusastraan masih cukup besar. Perhelatan antologi puisi, cerpen, dan esai
menandakan kesadaran berliterasi masih terawat dengan baik. Gerakan merawat
etos lewat sederet sayembara, lomba, serta undangan menulis, dengan maksud
untuk dibukukan, kerap digawangi oleh sejumlah kampus, komunitas sastra, dewan
kesenian, hingga inisiatif pribadi
Tradisi pembukuan secara berjamaah ini cukup
mempan merangsang gairah calon penulis/pemula untuk terus mengasah ketajaman
mata pena, sebelum benar-benar bersaing dalam jagat kepenulisan yang lebih
menantang: sastra koran. Antologi tersebut kelak dijual lebih murah ketimbang harga
di toko buku. Bahkan, tak jarang buku dibagi cuma-cuma saat forum sastra
berlangsung. Beberapa pihak mengklaim, proyek antologi tak lain dari bentuk
perlawanan terhadap dominasi koran. Apa pun itu, antusias pemula untuk
membukukan karya sangatlah besar.
Cerpenis S Prasetyo Utomo, di rubrik ini, pernah
mengakui, melimpah-ruahnya peserta lomba menulis cerita pendek dari seluruh
penjuru Tanah Air menandakan dunia penciptaan cerpen kita tetap bergairah. Meskipun
belum diketahui pasti, misi setiap individu ketika mengikutsertakan karyanya
dalam lomba. Apakah sebatas iseng, coba-coba, mencari pengakuan, atau justru
sudah sampai pada keseriusan melakukan inovasi penciptaan (SM, 26 Mei 2013).
Sederet hajatan temu sastrawan kerap digagas di
beberapa daerah. Ada acara yang digarap serius, dari perhelatan acara hingga realisasi
buku yang dicetak. Urusan pendanaan disiapkan secara seksama dengan menggaet
tokoh-tokoh peduli literasi sebagai donatur, jauh dari kesan sponsorship yang mengikat. Ada pula pihak
yang secara tegas menggandeng institusi pemerintahan, kampus, birokrat, hingga
produk komersil sebagai penopang dana. Tidak jarang pula, pihak-pihak yang, dengan
pendanaan terbatas, tanpa sponsor atau donatur, berani mengadakan perhelatan
antologi untuk umum. Bedanya, pendanaan mengandalkan (dibebankan?) kepada
penulis yang karyanya ingin disertakan dalam buku. Bagi pemula yang sedang memperbanyak
“jam terbang”, dan mendambakan legitimasi kepenyairan, partisipasi pendanaan
tersebut tentu tidak jadi masalah. Banyak pemula secara sukarela menyetor sejumlah
uang agar karyanya disertakan dalam antologi. Untuk yang terakhir, menurut saya,
perlu mendapat sorotan lebih jelas.
***
Undangan menulis kini memang lazim beredar di
kalangan penulis. Hingga pada satu kesempatan, beredar undangan menulis untuk
umum bertajuk “temu penyair” di media sosial. Merasa rangsang berliterasinya
terpantik, seorang teman, seorang penyair pemula, mengirim sejumlah puisi, dengan
harapan karyanya lolos seleksi. Undangan ini sukses menyedot perhatian para
peminat puisi. Kebahagiaan seperti apakah yang penyair harapkan, selain
karyanya dipublikasikan secara luas, dan ia dikenal begitu banyak orang?
Namun, begitu bimbangnya kawan saya itu, ketika
sebuah pesan elektronik mengabarkan, karyanya akan dibukukan asal bersedia
menyetor sejumlah uang kepada panitia. Apa beda berliterasi dengan kampanye
politik jika ada keharusan membayar sejumlah uang demi pamrih publikasi? Dengan
pertimbangan yang tidak terlalu lama, kawan saya itu urung meladeni permintaan
panitia. Ia tertegun, dan sebentar kemudian berkata dengan lirih: tidak
sepantasnya hajatan literasi dicemari nafsu ekonomistik!
***
Pada etisnya, niat mengadakan hajatan dokumentasi-publikasi
karya sastra berawal dari kesadaran dan kepedulian: sadar atas pentingnya merawat
etos berliterasi, peduli terhadap ruang-ruang alternatif bagi pemula. Sikap ini
muncul ketika media massa tidak cukup menampung bibit-bibit baru yang terus
bersitumbuh. Ibaratnya, proyek penerbitan antologi digagas sebagai ajang menempa
para pemula, yang barangkali belum mencapai kriteria media massa, ataupun karena
memiliki kecenderungan berkarya di luar mainstream.
Pada penerbitan antologi inilah mereka ditampung dan dirawat.
Niatan berliterasi tidak sepantasnya dikeruhi
urusan ekonomistik. Pihak-pihak yang terkait akan lebih mulia jika mengabarkan undangan
berdonasi secara terbuka, tidak mengikat, dan transparan. Penulis teringat
ketika dulu pernah mengikuti sebuah gelaran sastra di Solo. Meski digagas
dengan dana yang penulis kira terbatas, acara berlangsung menarik dan berkesan.
Panitia mempersilakan peserta yang hendak berdonasi untuk biaya cetak buku tanpa
harus membebankan siapa pun yang karyanya hendak dimuat.
Fenomena bunga rampai kesusastraan berpamrih
uang menjelaskan kepada publik bahwa kesadaran berkesenian masih kerap terjerat
urusan-urusan non-estetik, politik, hingga meterialistik. Niat
mengumpulkan-mempertemukan penulis dan karyanya dalam hajatan sastra dan
penerbitan buku, sudah sepatutnya kita apresiasi. Namun, praktik-praktik menyimpang
dari niat baik itu, akan menjadi jamur bagi mental para pemula. Berkesusastraan
bukan agenda berpamrih uang. Literasi merekam peradaban. Ia memberi kesaksian
atas pemaknaan manusia membaca zaman.
Hasrat meraup keuntungan ekonomi dari gelaran sastra
adalah kepandiran tak terperi dari seorang seniman. Alih-alih mengangkat wacana
kesusastraan Jawa Tengah ke pentas nasional, ulah sebagian sastrawan “matre”
dalam proyek antologinya, ibarat kanker di dalam tubuh. Ia harus segera diobati,
dan jika memungkinkan, “dibersihkan sampai ke akar-akarnya!” Kesadaran dan etos
kesusastraan tidak pernah berhenti pada satu puncak. Ia berlangsung terus
menerus, tanpa henti, tanpa memerlukan tawaran-tawaran klise, kecuali estetika.
Dan, saya pikir semua seniman-sastrawan paham keyakinan ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar