Sabtu, 16 Juli 2011

Organisasi sebagai Pemicu Kreativitas Mahasiswa

Lingkungan kampus sebagai tempat hidup sementara mahasiswa selalu berdekatan dengan organisasi. Memang sudah menjadi kebutuhan, bahwa mahasiswa senantiasa “harus” terjun dalam dunia keorganisasian.

Organisasi kampus tidak hanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Himpunan Mahasiswa (Hima), melainkan ada juga Untit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bagi mahasiswa yang mempunyai bakat dan minat pada bidang tertentu. Belum lagi organisasi eksternal (baca: luar kampus) yang memang berbasis massa mahasiswa.

Organisasi kampus disiapkan untuk kebutuhan mahasiswa agar tidak hanya beraktivitas seputar mata kuliah saja. Mereka mendapat fasilitas untuk menuangkan ide dan kreativitas, sehingga kelak sepulang dari masa belajar, mahasiswa sudah dipersiapkan untuk tampil di masyarakat secara akademik, mental dan kecakapan sosial.
Di dalam organisasi mahasiswa akan terbiasa berinteraksi dengan sesama, juga masyarakat. Mahasiswa belajar mengorganisir diri dalam kesatuan organisasi. Belajar berbaur sebagai media aktualisasi diri dalam ranah sosial. Dengan demikian, mahasiswa akan semakin siap terjun ke masyarakat.

Tidak semua mahasiswa berminat pada organisasi. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi mahasiswa terkesan enggan bergabung dalam organisasi dan menjadi pegiat organisasi kampus (baca: aktivis).

Kebutuhan untuk turut serta di organisasi adalah hak masing-masing mahasiswa. Namun, hal yang patut disayangkan adalah perihal citra organisasi yang kadung dicap buruk oleh mahasiswa sendiri. Ada anggapan bahwa para aktivis kampus, cenderung lalai pada tugas akademik yang menyebabkan kemoloran masa belajar. Kerusuhan dan aksi turun ke jalan kadang sering ditengarai sebagai ulah para aktivis. Menjadi penyebab citra buruk mahasiswa—terutama para aktivis.

Sebagian kalangan mahasiswa justru cenderung menyukai hedonisme kehidupan mahasiswa, menyukai segala yang instan serta berbau konsumerisme. Bersukarela dalam organisasi, menjadi hal yang seolah-olah percuma.

Menjadi pegiat organisasi kampus adalah pilihan tepat bagi mahasiswa. Melalui organisasi mahasiswa akan sangat terbantu dalam hal ketrampilannya. Mahasiswa bisa bebas memilih, mana unit kegiatan yang sekiranya mampu menampung bakat minat.
Tidak bisa dipungkiri, lulusan sebuah kampus akan dinilai dari ketrampilan dan bakat-minat. Dan di sinilah organisasi berperan menampung segala kreativitas mahasiswa.
Kita lihat tokoh besar di negara ini, dari Ir. Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mereka adalah orang-orang yang gemar berorganisasi. Dan bukan orang yang hanya berjibaku di menara gading.

Lemahnya kesadaran berorganisasi sepatutnya tidak menjangkiti generasi mahasiswa, generasi agent of change. Justru pada dasarnya, merekalah, para pegiat organisasi, orang-orang yang senantiasa menyiapkan diri menjadi manusia yang berkemampuan secara akademik, sosial, logis dan intelektual, yang kelak mampu meneruskan perjuangan bangsa.

Citra buruk organisasi, sepatutnyalah tidak ditimpakan secara kesuluruhan. Karena hal tersebut adalah permasalahan pribadi. Kita tentu masih ingat, tragedi 1998, di mana mahasiswa, yang rata-rata adalah organisatoris, mampu menyuarakan amanat reformasi dan menggulingkan kediktatoran alm. Soeharto. Dan sampai kapanpun, sejak masih mahasiswa hingga menjadi alumni, akan selalu berhadapan dengan organisasi. Maka gunakanlah dengan sebaik-baiknya manfaat berorganisasi. Begitu.

Minggu, 10 Juli 2011

Calon Guru dan Buku

Memilih IKIP PGRI Semarang menjadi tempat studi berarti memahami bahwa kelak, setelah lulus, mereka diharapkan bisa menjadi guru professional. Seperti slogan yang kerap lengket di media publikasi kampus pendidikan ini: melaju dengan mutu. Dengan harapan, pribadi yang kelak dibentuk semasa kuliah, mampu menjadi sosok calon guru profesional: mempunyai kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Namun, dunia pendidikan Indonesia mutakhir, tidak selalu sesuai harapan. Beberapa kasus yang terjadi: kekerasan pendidikan, kekurangan sarana dan pra-sarana, kurangnya kualitas guru, selalu saja mengotori wajah pendidikan kita. Untuk kasus yang terakhir, tentunya perlu kita soroti secara lebih detail.

Kualitas calon guru yang terkadang kurang mampu memenuhi kualifikasi guru profesional, acap kali membuat produk suatu institusi pendidikan “tidak terpakai”. Alasannya jelas: kurang berkualitas. Hal tersebut kiranya ada beberapa penyebab. Pertama, orientasi nilai pada calon guru ketika menempuh studi kuliah, yang mengakibatkan bahan pengetahuan, pengajaran dan skill hanya diukur berdasar nilai yang didapat. Sehingga, terkadang semasa menjadi mahasiswa, pendalaman pada penguasaan materi kurang dikuasai. Kedua, calon guru kurang memperluas pengetahuan lewat buku. Singkatnya, ada kecenderungan malas membaca buku. Dan tampaknya gejala malas membaca buku perlu menjadi sorotan.

Sebagai calon guru, sudah menjadi kewajiban untuk berlaku dan berpikir cerdas. Membiasakan aktifitas yang bersifat pengayaan intelektual, seperti diskusi, membaca buku, dan seminar, adalah kebutuhan pokok.

IKIP PGRI Semarang memiliki perpustakaan yang cukup menampung banyak sekali koleksi buku. Tentunya cukup untuk memenuhi kebutuhan baca mahasiswa. Juga beberapa unit kegiatan mahasiswa yang kerap menyediakan acara diskusi dan bedah buku. Hanya saja, permasalahan utama pada dasarnya adalah pada minat dan apresiasi mahasiswa itu sendiri. Sikap mahasiswa yang enggan bersentuhan dengan buku, apalagi membaca, tentunya merupakan bahaya laten pendidikan Indonesia di masa mendatang.
Malas membaca menyebabkan kualitas calon guru kurang matang. Kerap mahasiswa bersentuhan dengan buku hanya untuk urusan tugas semata. Selebihnya, menjadi sesuatu yang sulit untuk direalisasikan.

Membaca, pada dasarnya adalah proses penciptaan generasi intelektual. Dengan kebiasaan membaca, tentunya secara tidak sadar, kita dilatih untuk berpikir analisis, serta semakin melatih pemikiran yang bersifat kritis. Ada ungkapan yang sering dikaitkan untuk memahami kecerdasan seseorang. Kecerdasan seseorang adalah apa yang dibacanya. Dan kebebasan membaca buku sekarang sudah tidak lagi ada pembatasan. Kita bebas membaca buku apa saja. Semua tersedia, tidak dilarang pula. Berbeda pada zaman Orde Baru, untuk membaca buku tertentu, seperti buku beraliran kiri dan karya sastra serupa, sangatlah dilarang, bahkan sampai pada penangkapan. Hanya karena membaca buku!

Lalu bagaimana proses pemulihan minat mahasiswa pada buku bisa tercapai? Sehingga calon guru, lulusan kampus pendidikan, mampu memenuhi kualitas yang dibutuhkan?
Pertama, penciptaan tradisi dekat buku. Pengadaan kegiatan yang bersifat apresiasi buku—bedah buku, pameran buku, reading group—secara berkelanjutan, dan didesain semenarik mungkin. Upayakan acara demikian juga disokong oleh lembaga terkait seperti pihak institut, sehingga apresiasi buku tidak terkesan menjemukan.
Kedua, gerakan wajib baca buku masuk ke dalam sistem perkuliahan. Kecenderungan dosen untuk mewajibkan mahasiswanya membaca buku belumlah sepenuhnya terealisasi. Sebagai imbasnya, untuk pemahaman terhadap materi tertentu, mahasiswa cenderung mencari jalan instan seperti googling. Dengan mewajibkan mahasiswa untuk membaca buku pada tugas tertentu, kebiasaan ini akan terlatih.

Ketiga, dorongan dari segala pihak—institusi, pemerintah, lembaga pembukuan, mahasiswa—untuk memudahkan akses buku dijangkau mahasiswa. Institusi seperti kampus menyediakan buku. Pemerintah memberi bantuan pengadaan dan sosialisasi gerakan baca buku. Juga mengusahakan agar harga buku bisa terjangkau. Mahasiswa bersikap apresiatif terhadap buku. Dengan demikian, penciptaan tradisi buku pada calon guru bisa mulai tertata dan terlatih.

Membakar buku itu kejahatan, namun tidak membaca buku adalah kejahatan yang paling jahat. Kiranya begitulah pameo yang kerap kita dengar. Jelaslah pula kedudukan sebuah tradisi membaca buku. Sebagai calon guru, tentunya penguasaan atas kompetensi materi sangat diperlukan. Membaca buku adalah jalan menuju kompetensi diri yang berintelektual tinggi. Dengan adanya semangat membaca buku, calon guru tentu akan mendapatkan pendidikan yang berwawasan luas, pendidikan yang mendapatkan bumbu serta anjuran dari berbagai referensi. Semakin kuat referensi, semakin kokoh calon guru di Indonesia. Dan bila konsep tersebut bisa diterapkan di kampus IKIP PGRI Semarang, pendidikan bagi calon guru akan benar-benar melaju dengan mutu. Tentu dengan banyak membaca buku. Begitu.

Sabtu, 09 Juli 2011

Perempuan dan Kultus Kartini

Seandainya kartini lahir di tahun 2011, apakah beliau mampu menelorkan sejarah tentang perlawanan via teks dan intelektualitasnya lewat kumpulan catatan bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang?

Pertanyaan ini berawal ketika setiap menjelang peringatan Hari Kartini, 21 april, wacana selalu saja berkubang dalam perspektif perubahan kultur wanita masa kini yang kerap diidentifikasikan sudah melenceng dari apa yang Kartini ajarkan.

Kartini dalam beberapa tulisannya kerap mengejawantahkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada era kekinian, permasalahan tersebut—meskipun sudah bukan menjadi masalah yang bersifat masif--tetap saja menjadi sasaran wacana publik.

Permasalahan perempuan Indonesia mutakhir, sejatinya tidak lagi mengacu pada gender policy, melainkan lebih pada substansi mindset dalam memandang kehidupan global.

Ejawantah seorang Kartini yang notabene perempuan Jawa yang ngalah terhadap adat. Perempuan harus taat terhadap adat meskipun bertentangan dengan kesetaraan gender. Kartini menolak keras.

Dalam salah satu kutipannya Kartini juga menyampaikan “cubitan halus” lewat pernyataan, alangkah senangnya laki-laki, bila istrinya tidak hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaanya, menghayatinya bersama suaminya”[Kartini, 4 oktober 1902]. Meski perempuan setara dengan laki-laki, tetap saja tak boleh melupakan peran sosialnya.

Perempuan harus mampu menyeimbangkan peran sebagai istri yang tak sekedar masak, macak, manak, melainkan mampu berpikir setara dengan menghayatinya bersama suami. Kartini, sebagai perempuan Jawa dengan ciri khas sanggul—bentuk rambut yang dibuat menggrumbul dibagian belakang kepala namun tertata rapi dan dilengkapi tusuk konde—mempunyai makna psikis yang kental. Sanggul digambarkan sebagai deskripsi cara berpikir yang hati-hati, tidak clingukan, cerdas, menjunjung tinggi adat, serta menjadi simbolisasi mahkota dari seorang perempuan.

Senyum tipis lamat-lamat yang dipamerkan dalam setiap lukisannya, memberi makna, perempuan mempunyai pembawaan tenang, lembut, namun tegas. Dari ikon kesempurnaan yang terlanjurkan pada sosok Kartini inilah krisis perempuan berawal. Kultus Kartini era mutakhir memang bergeser. Kartini tidaklah dipandang sebagai pahlawan emansipasi semata, namun mengarah pada standar perempuan yang “baik”. Sosok perempuan sejati.

Hal ini tentunya menyebabkan distransisi nilai moral-histori dan kenyataan kekinian. Kartini tidaklah lahir pada era lipstik berbahan baku emas, pergulatan di atas tahta kekuasaan, pergaulan ala Tomb Raider atau pun Charlies Angel, juga perempuan pada titik intelektual dan lintas peran. Perempuan Indonesia mutakhir adalah sebuah peran sosial-kodrati yang mampu menempatkan sisi modernitas secara global.

Kartini menjadi kultus, didewa-dewakan, yang tidak selidah-seiya dengan ajarannya berarti melenceng, yang apa-apanya harus ditakar dari kaca mata seorang Kartini. Sejarah selalu meninggalkan pesan yang bersifat memaksa dan membebani peran yang sudah pasti beda masa dan jamannya.

Kartini hidup dalam keterbungkaman, adat dan tradisi yang galak. Perempuan era kini ialah berdiri diantara nilai tehnologi, globalisasi, yang secara struktural dan anatominya terkontaminasi menjadi pemikiran manusia modern.

Tidak bisa disalahkan, mindset perempuan Indonesia modern tak lagi diukur dari kapasitas seorang pahlawan emansipasi. Memaknai Kartini di era Indonesia modern tidaklah pada baju adat yang sengaja diadatkan lewat karnaval atau model busana di atas cat walk. Bukan pula semacam style sanggul yang patut ditiru dan dielu-elukan. Kultus Kartini hari ini musti bersifat kualitas, bukan entitas.

Kita wajib bersyukur atas jasa Kartini. Memaknai segala pemikiran yang mampu menembus waktu dan zaman. Kartini mengabadi lewat pemikiran yang subversif, resisten, serta penuh penolakan. Kartini tidak lahir di abad 21. Abad di mana perempuan adalah mahluk sosio-kultural yang mampu berpijak pada nilai global. High heel dalam geliat modernisasi serta pergeseran peran secara sosial, intelektualitas.

Dan ketika Kartini dan sanggulnya yang mulai berdebu menyeruak dalam wacana Hari Kartini, perempuan Indonesia mutakhir tetaplah pada tendesi untuk perubahan. Meninggalkan Kartini pada zamannya, untuk segera beralih menjadi Kartini modern dalam tatanan sosio-kultural serta mampu berpikir think global act local. Not just sanggul dan kebaya. Dan mungkin akan semakin ekstrim, dengan melepas sanggul dan menggantinya dengan model atas daya cipta sendiri.

Perempuan Indonesia mutakhir mulai menulis jalan hidup, profesi, serta pemikiran yang lebih modern. Meninggalkan kultus entitas Kartini semata, yang sudah puluhan tahun silam dan tak perlu untuk ditiru ataupun diulang-ulang. Mencipta sebuah wajah. Wajah baru perempuan indonesia modern yang mengacu kualitas Kartini, sekali lagi, bukan entitas semata. Semoga.


[tulisan ini pernah jadi juara lomba artikel, tapi bukan atas nama diriku sendiri, melainkan pake nama teman tetangga kos saya. tidak disangka, tidak dinyana, e, malah dapat juara satu...hmmmlumayan....]

“Kesiasiaan” : pegiat puisi dan perwujudannya.¹

Oleh: Widyanuari Eko Putra²

Perkembangan kesastraan—dalam hal ini puisi—sangat ditentukan oleh banyaknya puisi yang muncul, baik secara formal melalui penerbit menjadi buku ataupun terbit di media. Utamanya adalah buku, karena lebih membentuk suatu intensitas dan keseriusan. Buku merepresentasikan gairah produktivitas nyata. Menandakan masyarakat puisi Indonesia masih rela untuk bekerja “sia-sia” dalam menjaga kehidupan puisi. Produk puisi di kalangan bisnis buku, tentu penjualannya tidak begitu menyenangkan. Puisi kalah dengan booming novel-novel cinta bestseller yang kerap memenuhi rak paling depan di toko buku. Disusul buku motivasi, biografi orang sukses [kenapa tidak biografi orang gagal?], kemudian cerpen diurutan ke sekian.
Kekuatan produksi pada penulis puisi yang masih saja berupaya menciptakan buku, masih membahagiakan. Mereka sadar betul, kemungkinan keuntungan dari buku puisi—secara finansial, ataupun prestis—kurang mencukupi. Tidak berharap untuk habis terjual. Ada yang membeli saja sudah bagus. Justru terkadang penulis puisi membagi-bagikan buku kepada penonton yang hadir saat launching. Itupun teman komunitas, juga keluarga. Alot jika harus menarik empati masyarakat secara umum demi apresiasi sebuah buku puisi.
Perjalanan menuju menjadi buku, akan sangat ditentukan oleh beberapa hal. Misal, dalam tahap seleksi, tentunya ada bayangan untuk memasang nama besar sebagai kurator, yang diharapkan mampu menjadi pemantik minat pembaca kelak. Beruntung jika punya banyak relasi, atau masih dalam lingkaran keluarga penulis, hal tersebut lebih memudahkan. Lalu bagaimana bagi penulis baru yang namanya baru sepintas nampang di facebook, tapi berambisi instan menjadi penulis hebat? Celakanya, banyak penulis pemula yang akhirnya banting setir. Menyeleksi puisi sendiri, mengkatapengantari sendiri, mengeditori sendiri, kemudian mencetak sendiri, dan akhirnya buku tersebut dibaca sendiri. Tragis.
Adapula proyek puisi yang dibuat hanya sebagai pemenuh program kerja. Misal agenda dari lembaga dan organisasi kesenian, institusi akademik, maupun komunitas tertentu. Untuk sekedar menuntaskan deadline. Sehingga ada kebebasan untuk sekedar mengumpulkan puisi untuk dibukukan. Dalam kasus ini, tentu tidak ada kendala secara finansial. Permasalahan justru muncul dari keengganan pihak terkait untuk secara serius menggarap proyek puisi tersebut. Karena memang hanya sebagai pemenuh agenda. Akibatnya kualitaspun hanya sepintas-lalu. Asal bisa terbit.
Untuk buku yang diciptakan secara pribadi, dengan biaya pribadi pula—tentunya bagi penulis dengan ekonomi serba pas, akan sangat berbeda dengan proyek buku puisi yang direalisasikan dengan mengandalkan sponsor, entah dari produk komersil, ataupun pihak lembaga dan institusi yang memungkinkan dimintai pertolongan untuk mendanai proses pembukuan. Biasanya terjadi pada komunitas, ataupun pegiat puisi yang tidak punya modal, sehingga menggaet beberapa pihak untuk kerjasama. Kongkritnya, seperti EO dan donatur. Proyek puisi seperti ini, biasanya yang bergerak adalah komunitas atau pegiat puisi yang dengan duka-rela mesti manut pada pihak donatur. Dengan membuka informasi pembukuan puisi, dan menyebar iklan, dengan harapan akan mampu meraup banyak puisi untuk diseleksi.

Mempertahankan estetika(?)

Banyak hal yang musti ditanggalkan oleh pegiat puisi ketika ada proyek semacam ini. Pertama, idealisme-estetis dari pemilihan puisi yang cenderung harus memenuhi standar sponsor. Standarisasi puisi yang sengaja ditetapkan oleh donatur, yang justru tidak pernah bersentuhan dengan puisi. Toh, meskipun terkadang bisa diantisipasi dengan menyewa nama besar yang pernah bersinggungan dengan puisi, entah itu mantan penulis, penikmat sastra, kaum akademika sastra, dan mungkin benar-benar seorang penulis, sebagai penyeleksi. Tapi tetap saja “ngalim”, tidak ada kebernasan menemukan sikap sebagai sastrawan. Negoisasi antara peran pelaksana dan donatur sungguh tidak ada. Kekuasaan mutlak.
Kedua, standarisasi biasanya pada ukuran umum, yaitu puisi tidak menjelek-jelekan, tidak propaganda, tidak “macem-macem”. Dengan demikian apakah penerapan standarisasi tersebut mampu menjaga kualitas dan kuantitas puisi? Sejauh mana penulis puisi mampu menjaga keliaran imajinasi mereka agar tidak bersinggungan dengan standar tersebut. Apakah donatur berhak membaptis diri untuk menentukan standarisasi puisi? Dan apakah memang ada standarisasi puisi? Semisal, untuk sebuah ukuran antologi puisi pendidikan, apakah semua puisi yang terkumpul harus menyuarakan dan mengagung-agungkan sekolah, nilai, guru dan belajar, yang merupakan bagian dari formalitas pendidikan? Tidak bolehkah, misal, seorang yang tidak mengenyam pendidikan secara formal, meneriakan kebenciannya pada pendidikan di negara ini, yang seolah seperti sudah tidak menjadi hak lagi, yang seolah tak pernah lepas dari politisasi dan komersialisasi? Bukankah masyarakat kita adalah manusia dewasa, tentu mereka memahami seperti apa kodrati sebuah puisi.
Akhirnya, puisi-puisi yang dianggap subversif, yang tidak sepakat dengan aturan di negara ini, harus rela dikebumikan, dilarang tampil. Sehingga tidak jarang, puisi yang kuat secara estetika, harus rela “dikebumikan” karena luapan, ungkapan, dan metafor yang bertentangan dengan pakem, meskipun hal tersebut adalah biasa bagi khalayak puisi. Seperti halnya Wiji Tukul dengan sajak “Peringatan”, yang justru mengantarkan si penulis pada keraiban.
Ketiga, pelaksana kerja [baca: pegiat puisi sebagai pelaksana] seakan tidak dimanfaatkan kekuatan referensi-puitikanya demi memproduksikan buku puisi yang bernilai secara estetis. Keotoritarian dari pihak donatur justru kerap tidak memberi manfaat bagi perkembangan puisi yang kini sedang lumpuh. Alhasil, puisi yang hadir adalah yang oleh almarhum Rendra disebut sebagai puisi dari penyair salon. Ataupun puisi yang melulu berbicara tentang daun yang jatuh dari tangkai pohon yang rapuh. Puisi menjadi pakaian yang bisa lepas-pakai semaunya. Tidak ada kedalaman makna yang bisa disampaikan.
Kelahiran buku adalah bukti kesadaran secara moralis untuk menjaga kebudayaan dan berkesenian bagi penciptanya. Namun, dengan pelbagai politisasi yang bukannya mempercantik, namun cenderung mengotori, akankah kehadiran buku puisi bisa memberi “penyelamatan dan penyucian” ruhani yang terkarutmarutkan. Lalu apakah masih bisa kita sepakati, bahwa “jika politik mengotori, maka puisi membersihkan”, seperti yang pernah dicetuskan oleh John F. Kennedy. Kita musti terus berusaha dan berdoa, agar kehadiran manusia yang rela bekerja “sia-sia” dalam mencipta buku puisi, meskipun itu di tengah suasana keterkekangan donatur [baca:penguasa], akan terus ada dan mewabah. Tinggal kita yang memilih, menjadi penyambung puisi secara estetis, atau sekedar politisasi terhadap puisi, dan membiarkannya tumbuh sepeti kanker. Semakin banyak “kesiasiaan”, saya yakin akan semakin hidup kesastraan puisi di Indonesia. Begitu saja.

Pandean lamper, 26 juni 2011

Catatan:
1.Tulisan bebas ini menanggapi kesemrawutan proses pembukuan puisi yang kerap disisipi standarisasi oleh pihak institusi/ pemerintah terhadap aturan-aturan puisi yang sama sekali tidak bisa dibenarkan.
2.Mahasiswa Bahasa Inggris, bermukim di UKM Kias.