Jumat, 15 Oktober 2010

pertanyaan untuk sastra Indonesia




Judul : Darah-Daging Sastra Indonesia
Penulis : Damhuri Muhammad
Penerbit : PT Gramedia Jakarta
Cetakan : I, maret 210
Tebal : ix + 168 halaman
Harga : Rp. 30.000,00
ISBN : 978-602-8252-34-8


Kedekatan jurnalistik dan sastra memang tak bisa dipungkiri. Meskipun pada hakikatnya antara dua dunia kepenulisan tersebut mempunyai tubuh yang berbeda. Namun ketika memasuki kedua dunia ini, mau tak mau seolah keduanya akan saling tarik ulur dalam prosesnya. Keberadaan jurnalistik dan sastra yang bersetubuh dengan media menjadi hubngan erat antara keduanya, dan terkadang menjadi satu prsetubuhan yang sah-sah saja.

Akulturasi kepenulisan ini bisa saja terjadi di keduanya. Misal penulisan jurnalistik yang melulu kaku dan lurus bisa sedikit diluweskan dengan tehnik penulisan yang diracik ala model kepenulisan sastra, pada featurs misalnya. Penulisan berita menggunakan sedikit olahan alur yang menarik sekaligus narasi-deskriptif yang luwes menjadikan penulisan berita menjadi ringan dan “gurih”

Model kepenulisan sastra menggunakan racikan jurnalistik menjadi booming adalah pada novel dan cerpen Ernest Hermingway. Oleh hermingway, racikan ini terasa baru [pada saat itu], dan nampaknya ini menjadi semacam aliran baru dalam kepenulisan sastra. Konstruksi kalimat yang pendek, jelas dan tidak terlalu menye-menye membuat banyak penulis Indonesia mengadosi trend ini. Tidak terkecuali bagi Damhuri Muhammad. Seorang cerpenis, editor koran dan eseis asal Payakumbuh ini rupa-rupanya adalah sosok akulturasi diri dari proses jurnalistik dan sastra. Dengan latar pendidikan Bahasa dan Sastra Arab fakultas Adab IAIN Imam Bonjol, DM mencoba bertanya lewat kumpulan esei “Darah Daging Sastra Indonesia”.

Buku dengan cover kuning-cokelat ini mencoba melampiaskan pertanyaan-pertanyaan DM terkait sastra indonesia masa kini melalui sejumlah esei yang terbagi menjadi empat tema bahasan yang meliputi Sastra Indonesia, mau kemana, Lelaku Kepengarangan, Rekam Jejak Cerpen, serta Estetika Puisi. Dari permasalahan sejarah sastra Indonesia, tragedi PRRI, serba-serbi estetika karya, fenomena ayat-ayat cinta hingga yang terbaru booming novel Negeri 5 Menara, kesemuanya terbaca dalam kumpulan esei ini.

Berawal dari seorang cerpenis dan wartawan, DM mencoba membeberkan sekelibet “fakta” yang tidak memberi jawaban tapi justru mepertanyakan. Seperti tertera dalam “Selamat datang Sastra Idol”[hal.19], DM mencoba mempertanyakan sistematika proses penjurian yang termaktub dalam Anugerah Sastra Pena Kencana pada tahun 2008 silam. Termuatnya beberapa karya dari juri dalam 20 cerpen terbaik Indonesia yang disaring dari 13 koran nasional ini menurutnya merupakan sebuah ketidaktegasan dan ketidakpatutan penggarapan buku tersebut. DM tidak semena-mena menghujat ataupun mengkritik kasus tersebut, namun dengan halus memberi alternatif dengan penawaran yang bijak, tapi bilamana mereka menjunjung tinggi sportivitas dan kode etik kepanitiaan, semestinya dengan rendah hati mereka merelakan cerpen-cerpen itu tidak dimasukan.[hal.22]

Dalam esei yang juga diambil sebagai judul buku, Darah daging sastra Indonesia▬semula berjudul Menegasi Identitas Sastra Indonesia▬DM mencoba menanggapi masih perlukah sejarah sastra Indonesia? Pada hakikatnya dalam esei ini mengidentifikasikan ketidaksetujuan atas sejarah sastra yang bermula pada masa Balai Pustaka. Lompatan angkatan dari Pudjangga Baroe ke Pascamerdeka, serta penyebutan sastra jaman jepang yang sepintas lalu dinilai sebagai kekeliruan [hal.4]. Esei ini juga menjawab konsepsi sastra Maman S. Mahayana yang bertolak ‘dari dan menjadi Indonesia’. Dengan melihat latar etnik yang terlacak hingga babak sastra Indonesia mutakhir, maka sejarah sastra itu penting dan perlu demi identitas, orisinal serta jatidiri sastra Indonesia.

Dalam buku ini nampak sekali keterlibatan aktifitas jurnalistiknya dalam penciptaan atas esei-esei yang ada. Kedetailan DM dalam menyikapi isu, fenomena serta produk-produk sastra Indonesia begitu tampak dalam tulisannya. Hal ini mengidentifikasikan kedekatan jurnalisme dan sastra yang teramat melekat padanya. Dari 38 esei yang terkumpul dalam buku ini 4 saja yang masih “perawan”, selebihnya merupakan esei yang sudah tercecer di pelbagai media massa nasional. Pantas saja jika DM cukup percaya diri untuk mengkatapengantari bukunya sendiri.

Jika merunut bahasan sekumpulan esei ini [mayoritas] merupakan sejenis esei resensi, ataupun sejumlah esei yang mempertimbangkan, menanggapi serta mengkritisi buku-buku yang terbit. Dari novel, kumpulan cerpen hingga buku sastra lainnya. Rasanya cukup pantas jika buku ini menyandang judul “Darah Daging Sastra Indonesia”, melihat kompleksitas pembahasan yang ada.

Kegamangan atas kian menjauhnya jagat sastra dengan kritikus sastra untuk meraih estetik dan segi tematik begitu kentara dalam buku ini. Dan pertanyaan serta kegamangan DM dalam buku ini nampaknya akan semakin membawa tanda tanya pada pembaca. Seperti halnya gambar cover berupa mata pena yang mengucur darah [atau tinta], buku ini membawa pembaca pada titik kritis pemahaman perkembangan sastra Indonesia. Namun jika dibandingkan dengan Sastra bergelimang makna-nya Bandung Mawardi, kumpulan esei dalam buku ini sangat mudah dicerna. Hanya saja jangan heran ketika klik di google, hampir semua esei dalam buku ini sudah tercecer dan begitu mudah didapat. Hal yang menurut penulis jadi sedikit eman-eman.

Sebagai “darah-daging” sastra Indonesia, buku ini berhasil membeberkan keberadaan sastra Indonesia dengan menilik beberapa indikasi kejadian, isu, serta tema sastra Indonesia kini, serta berani mempertanyakan kesemena-menaan kritikus sastra terhadap karya sastra. Kumpulan esei ini adalah jawaban atas segala yang terjadi pada sastra Indonesia kini dari kaca mata seorang Damhuri Muhammad yang justru semakin membawa pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Tidak percaya? Buktikan saja. Begitu saja mungkin. [red]

Alangkah Lucunya [negeri ini]; Indonesia dalam guyonan



……

Indonesia raya, merdeka merdeka

tanahku negeriku yang kucinta

Indonesia raya merdeka merdeka

Hiduplah Indonesia raya…

[amin..]



Di sela upacara bendera merah putih yang dlaksanakan secara sederhana; menggunakan tiang dari kayu pohon yang masih alami, peserta upacara sedikit tanpa seragam apapun dan entah di hari apa, seorang anak kecil tiba-tiba ikut serta dalam upacara saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan dengan lantang ana kecil itu berkata amin di akhir lagu. Sebuah bentuk kritik pedas yang bisa ditangkap bila penikmat film mau mencerna makna ucapan-ucapan dalam film besutan sutradara unik Dedi Mizwar dalam filmnya Alangkah Lucunya [negeri ini].



Hal kecil dan sering kita jumpai pada kehidupan sehari-hari yaitu berkaitan ritual upacara bendera─yang seolah-olah hanya diperuntukan bagi anak SMP, SMA dan para guru. Dewasa ini tentunya semua orang pernah merasakan upacara bendera. Sewaktu masih di SD/SMP/SMA, seluruh siswa diwajibkan mengikuti upacara bendera hari senin. Sebuah rutinitas yang difungsikan sebagai penghormatan terhadap sang saka Merah Putih demi memupuk rasa nasionalisme.



Apa yang disiratkan pada penggalan adegan film di atas sungguh begitu mengena. Menyanyikan lagi Indonesia Raya dimaknai seorang anak kecil tak berpendidikan menjadi sebuah doa untuk bangsanya. Amin, ungkapan lugu dari seorang pencopet kepada bangsanya. Adegan tersebut mengingatkan bahwasanya kenyataan yang ada dalam menyikapi lagu Indonesia Raya hanya sebatas menyanyikan lagu biasa. Dengan santai, tanpa penghayatan dan bahkan kadang disertai guyonan. Karena sesungguhnya jika pemahaman kita terhadap lagu Indonesia Raya bisa ditekankan secara mendalam, maka akan kita temukan kedalaman teks lagu tersebut sebagai sebuah doa yang begitu khidmat dan mendalam. Pengetahuan yang justru jarang dimaknai mayoritas masyarakat Indonesia.



Film Alangkah Lucunya [negeri ini] bercerita tentang fenomena-fenomena permasalahan bangsa yang justru dianggap sebagai kelucuan-kelucuan yang tak perlu dipikirkan secara serius. Berawal dari konflik seorang tokoh bernama Muluk, seorang sarjana manajemen yang hamper frustasi dalam mencari pekerjaan. Keadaan memaksa Muluk untuk berpikir keras demi mendapat pekerjaan sesuai bidangnya. Maka kemudian Muluk mendapat ide ketika pertemuannya dengan seorang anak--komet-- yang berprofesi sebagai copet. Kenapa copet penulis anggap sebagai profesi? Karena memang ternyata copet tersebut mempunyai sebuah organisasi yang lebih besar.



Pertemuan dengan copet memunculkan ide bagi Muluk untuk menggunakan SDM para copet tersebut agar mau meninggalkna profesi kurang baik tersebut dan beralih ke profesi yang halal, ngasong. Muluk menemui pimpinan copet dan menjelaskan niatnya untuk mengubah pemikiran anak-anak agar mau beralih profesi. Dan kenyataan sungguh memprihatinkan, ternyata mereka tidak bisa baca tulis, tidak punya agama dan benar benar buta sekolah. Karena hal itulah Muluk mengajak Bang Samsul; seorang pengangguran lulusan sarjana pendidikan yang menghabiskan waktunya dengan main gaplek, serta Pipit yang merupakan seorang pengangguran lulusan sarjana agama yang menghabiskan waktunya dengan menonton kuis di televisi. Dengan kerjasama mereka bertiga akhirnya terbentuklah sebuah sekolah sederhana di areal pencopet yang kumuh.



Dari pekerjaan barunya ini Muluk dkk berani meyakinkan pada orang tuanya bahwa dia sudah mendapat pekerjaan yang layak dan menjanjikan. Hingga akhirnya muncul inisiatif dari Bang samsul untuk menunjukan pada Bang Haji [ayah pipit] dan ayahanda dari Buluk. Kenyataan tak seperti apa yang diharapkan, alih-alih orang tua mereka akan bangga terhadap usaha menyalurkan SDM para pencopet justru menjadi merasa sangat kecewa terhadap apa yang yang dilakukan oleh Muluk dan Pipit. Orang tua mereka menganggap usaha yang sedang digeluti tersebut adalah haram karena menggunakan uang hasil mencopet. Di sinilah konflik mulai memuncak. Muluk dan Pipit memutuskan untuk menghentikan usahanya dalam mendidik para pencopet. Meskipun Bang Samsul bersikeras meyakinkan bahwa tindakan tersebut halal, namun Muluk tetap bergeming.



Kepergian Muluk dan yang lain dari kelompok copet ternyata menyisakan kekecewaan dari pimpinan copet tersebut. Karena ternyata kepedulian Muluk terhadap para pencopet berhasil membawa pengaruh yang lebih baik. Sebagian copet ada yang sudah beralih profesi menjadi pengasong meski masih ada yang mencopet.



Di akhir cerita film ini mengadegankan sebuah kenyataan yang teramat miris namun begitu biasa terjadi di lingkungan sekitar kita. Muluk memutuskan kursus setir mobil dan kebetulan saat itu sedang praktek belajar setir ia bertemu para pengasong yang dulunya adalah para pencopet. Sungguh tak terduga ketika Muluk merasa usahanya tidak sis-sia mengubah pencopet menjadi pengasong, justru rombongan Petugas Ketertiban Satpol PP datang dan menangkap pengasong karena dianggap mengganggu keindahan kota. Muluk tidak rela anak didiknya ditangkap, kemudian ia berusaha menghentikan penangkapan tersebut. Muluk berdebat serius dengan petugas dan akhirnya rela menukar dirinya untuk ditangkap petugas untuk menggantikan pengasong yang tadinya akan ditangkap petugas. Anehnya Muluk tetap ditangkap meski dia tidak punya salah apapun, yang justru dia disalahkan karena dianggap membela pengasong untuk berjuang mencari rejeki halal. Diiringi lagu Tanah Airku karya Ibu Sud, film ini ditutup dengan sebaris petikan dari pasal 34 ayat 1 UUD 1945 “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara”



Jangan harap anda akan menemukan kelucuan-kelucuan ala parodi di siaran tivi swasta kita, banyolan-banyolan yang hanya mengumbar kelemahan dan aib orang lain. Dedi Mizwar berhasil menempatkan judul dengan berani memasang title “lucu” yang justru tidak akan membuat anda tetrtawa terbahak-bahak. Hanya geli, mesam-mesem mendengar dialog tokoh-tokoh serta melihat adegan-adegan yang …***



Widyanuari Eko Putra

Perjanjian kita atas nyamuk dan jilatannya, selesai


kepada santi almufaroh

Tentunya kita tak ingin menangisi kematian nyamuk yang sadis, Atau tamparan mesra yang mendarat pada lekuk ceruk pipi, pada malam episode ini kita memutuskan tuk menghabiskan kesibukan yang lelah. Satu persatu kita tanahkan nyamuk-nyamuk yang menandai malam tak ber manis, atau sekedar peran kipas angin yang berjinak, kita tidak sedang merindui penghuni selimut yang bijak, yang berbagi demi keseimbangan ranjang, yang tertidur pada kesepian-kesepian lapar, adakah kita relakan perciuman kasar nyamuk pada sejumput pagi yang leleh ditepian selimut tak bercorak? Maukah?
Karena untuk malam ini, kepada kamar dan buku aku setubuh, tak lagi menisankan nama di layar monitormu yang tipis.

16 oktober 2010