Jumat, 07 Februari 2014

Manusia, Imajinasi, dan Kota


Menanggapi cerpen Tok Mulkan dan Istrinya kreasi Delvi Yandra (Koran Tempo, 2 Februari 2014) 



Siapa sajakah yang berhak menjadi manusia kota? Manusia abad XXI tentu berhak menentukan di mana ia ingin hidup dan bercita-cita. Manusia bersemangat untuk hidup berkat cita-cita dan imajinasi. Cita-cita yang subur di benak manusia mengandung doa meski tak terucap. 

Kota acap mengisi imajinasi manusia karena menjanjikan kemodernan, perubahan, dan keriuhan. Kota jadi persembahan zaman karena menunjukan peradaban yang bergerak. Manusia tak kuasa menahan gelitik modernitas dalam wujud menjadi manusia kota. Manusia yang berjarak dengan kota terkesima menyaksikan kota lewat koran dan televisi. Manusia memang tak sadar sedang beralih menjelma manusia kota lewat sandang, pangan, dan teknologi.

Cerpen Tok Mulkan dan Istrinya kreasi Delvi Yandra (Koran Tempo, 2 Februari 2014) memberi penanda bahwa manusia sulit lepas dari modernisme. Cerpen yang sangat pendek ini memberi penjelasan tentang imajinasi manusia tentang kotaisme. Gejala keterpanaan pada kota disuguhkan lewat dialog tentang angan-angan dan harapan. Simaklah:

”Tentu aku akan sangat bangga. Kita akan memiliki sebuah rumah besar. Aku akan memakai pakaian bersih. Coba pikirkan, aku akan duduk di kedai kopi yang mahal, menyilangkan kaki dengan santai dan mengisap cerutu. Aku akan menjadi ayah seorang dokter. Ini memang bukan khayalan memalukan.”

Tokoh Tok Mulkan berdialog dengan sang istri tentang harapan dan cita-cita. Keinginan memiliki “rumah besar”, “memakai pakaian bersih”, “duduk di kedai kopi yang mahal”, dan “mengisap cerutu”. Ambisi berumah yang besar mirip kebiasaan di kota-kota. Rumah besar adalah bukti kekayaan, citra sebagian manusia kota. Menjadi kaya memang keharusan untuk menikmati hari-hari di kota, jika tidak ingin tersisih dan disepelekan. Kita sering menjumpai pamer rumah mewah di televisi oleh perempuan cantik mengarah pada promosi jualan. Orang kota memang harus berumah agar tidak dituding sebagai tamu liar.

Kebiasaan membuang waktu di kedai kopi dan mengisap cerutu jelas mengarah pada film-film modern berlatar kota metropolitan. Imajinasi ini menarik ingatan pada kisah film Holywood. Cerutu justru merangsang kita untuk mengingat sederet penguasa: Soekarno, Soeharto, dan Fidel Castro. Foto-foto mereka terlihat sangar saat bercerutu. Adegan orang-orang “bukan kota” mengisap cerutu tentu terkesan wagu. Cerutu terlanjur melekat pada kekuasaan dan kejantanan. Orang-orang desa lebih memilih memilin tembakau alami, manggulungnya menjadi kretek.

Identifikasi imajinasi “rumah besar” di kota tersirat di dalam kalimat berikut:”Ya, kita akan menetap di salah satu rumah yang besar di sana. Di pintunya ada terpajang papan nama anak kita.” Papan nama? Kita tentu sanggup membayangkan sebuah rumah besar nan megah, di pintu gerbangnya yang tinggi menggantung papan nama. Rumah harus bernama agar tidak tertukar dengan tetangga sebelah. Tidak ada yang bakal meladeni pertanyaan-pertanyaan tak menguntungkan saat hidup di kota. Berikanlah sekadar uang rokok jika hendak bertanya alamat di kota.

Kekaguman untuk menjadi manusia kota seutuhnya bisa terlacak dari petikan berikut:”Tentunya mereka akan menyantap makanan mereka dengan garpu dan pisau.” Sendok dan garpu bisa dipakai untuk membaca peradaban manusia. Aku memang belum berhasil menduga siapa manusia Indonesia pertama yang memakai sendok dan garpu, berharap sanggup dianggap modern. Kita mengingat kebiasaan di desa dan kampung halaman tentang tradisi menyantap makanan menggunakan tangan, tanpa sendok dan garpu. Simaklah orang-orang elit di restoran atau hotel-hotel mahal, jumlah sendok dan garpu justru bisa bertambah saat prosesi santap makan.   

Cerpen Tok Mulkan dan Istrinya tak perlu ditafsir sebagai kisah tentang kejumudan orang “bukan kota” yang terkagum pada kota. Kita justru bisa memosisikan tokoh-tokoh dalam cerpen ini sebagai pengisah optimisme dan cita-cita. Di negeri ini urusan cita-cita dan korupsi memang akut. Masyarakat kadang jemu bercita-cita dan berpengharapan akibat ulah negara dan birokratnya yang sembrono, mengajarkan laku korupsi dan kebohongan. Cerpen ini tidak akan nikmat di baca saat teringat berita korupsi. Bila pembaca berharap pada kesegaran metafor, cerpen ini kurang sukses menyajikan hal terebut. Cerpen ini hadir sebagai pertanda bahwa imajinasi masih sanggup membuat sejumlah manusia berbahagia. Berimajinasi memang memunculkan kebebasan…