Kamis, 15 Desember 2016

Alun-alun dan Ingatan Publik


Beberapa pekan terakhir, media massa tengah ramai mengabarkan rencana Pemerintah Kota Semarang membangun kembali alun-alun lama kota Semarang. Rencana ini diakui memiliki sambungan dengan upaya Pemkot melakukan revitalisasi Pasar Johar pasca kebakaran sekaligus pembenahan besar-besaran kompleks Kota Lama. Kedua proyek besar itu juga sebagai respons atas masuknya Kota Lama dalam daftar sementara World Heritage City oleh UNESCO (PBB) 2020. Bagi pemerintah, membangun kembali alun-alun dianggap penting sebagai perangsang gairah orang-orang untuk tergoda berwisata ke Semarang.  
Gagasan tersebut pantas mendapat perhatian. Keberadaan alun-alun di Indonesia memang punya sumbu sejarah yang panjang. Sejak era prakolonial hingga abad modern, alun-alun sudah ada di bumi Nusantara. Alun-alun tak sekadar perkara ruang terbuka. Dalam catatan sejarawan Olivier Johannes Raap (2015), alun-alun biasa digunakan sebagai tempat berkumpul rakyat bersama pejabat kerajaan, tempat pidato pejabat pemerintahan, acara pertunjukan kesenian, pesta rakyat, hingga pelaksanaan hukuman pancung.
Kemunculan alun-alun juga tak lepas dari dampak keberadaan pemerintahan kolonial. Kala itu, banyak kota berstatus sebagai ibukota daerah administratif kolonial afdeeling yang dipimpin oleh seorang residen. Pembentukan afdeeling diikuti pula pembentukan daerah administratif pribumi yang sederajat, yaitu kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Alhasil, di sekitar alun-alun tidak hanya dibangun kediaman untuk asisten residen tetapi juga bupati.
Diunduh (16/12/2016) dari https://stephanushannie.com/tag/sejarah-alun-alun-semarang/
Berakhirnya kolonialisme lantas mewariskan banyak alun-alun di Indonesia. Waktu demi waktu berlalu, alun-alun dianggap sebagai entitas penanda kota. Kita gampang menjadikan alun-alun sebagai pengingat saat datang ke kota atau daerah tertentu. Bahkan, alun-alun kerap dijadikan etalase atau ajang pamer keberhasilan pembangunan sebuah kota. Alun-alun dikelilingi jalan beraspal mulus. Di sekitar alun-alun biasa terpampang spanduk atau baliho bergambar bupati, walikota, hingga presiden.
Tak pelak banyak pemerintah daerah berusaha mempercantik alun-alun sedemikian rupa, berharap publik betah dan sering datang ke alun-alun. Alun-alun jadi ruang milik bersama. Warga kota berkumpul bersama mengisi waktu senggang. Di hari Minggu, alun-alun dimanfaatkan sebagai tempat untuk berolahraga pagi atau sekadar jalan-jalan. Kerumunan orang pun merangsang adanya geliat ekonomi. Pedagang kaki lima dan asongan kerap mangkal di alun-alun meski mendapat tentangan polisi pamong praja. Restoran dan kafe pun ikut bertebaran di sekitar alun-alun.
Geliat ekonomi dan wisata yang timbul berkat keberadaan alun-alun tentu kian menarik perhatian publik. Dari segi ekologis, alun-alun juga berfungsi sebagai ruang serapan air. Lokasi alun-alun yang strategis itu pun tak jarang dimanfaatkan sebagai ruang politis, sebut saja untuk kampanye dan unjuk rasa. Ukurannya yang luas memungkinkan pengumpulan massa dengan jumlah yang masif sekaligus lebih menarik perhatian khalayak ramai.
Kebermanfaatan yang berlimpah itu menjadikan alun-alun memiliki ruang dalam ingatan kolektif publik. Mereka punya cerita, kisah, bahkan kenangan, berkaitan dengan alun-alun. Ingatan itu pun bisa dimaknai betapa keberadaan alun-alun memang punya ruang tersendiri dalam ingatan publik.
Anggoro Suprapto lewat catatan berjudul Kenangan Alun-alun Semarang (Suara Merdeka, 22 Februari 1987) mengisahkan nostalgia alun-alun lama Semarang kisaran tahun 1950-1960an. Anggoro bercerita seputar pemanfaatan alun-alun:Pertunjukan sirkus pun dapat diadakan di tempat ini. Demikian juga jika ada pasar malam atau dugderan, tidak repot-repot cari tempat. Setiap malam banyak warga kota yang melancong ke alun-alun. Sekadar rileks atau jajan. Tentu saja juga ramai dengan kupu-kupu malam yang beroperasi secara diam-diam”. Alun-alun jadi tujuan pelesiran, tempat melepas ketegangan sekaligus mencari penghiburan. Keindahan alun-alun juga dilengkapi kehadiran “kupu-kupu malam”.
Pengisahan itu pun nostalgia. Catatan justru diakhiri kesaksian bernada kesedihan. Anggoro mengakhiri tulisannya:”Ramainya alun-alun waktu itu kini tinggal kenangan. Sebagai gantinya kini bermunculan gedung-gedung tinggi.” Ungkapan “tinggal kenangan” ternyata tak hanya muncul di lirik lagu berurai mata milik penyanyi enigmatik bernama Gaby. “Tinggal kenangan” justru disematkan untuk alun-alun, bermisi nostalgia dan penyesalan.
Penyesalan itu tak dilanjutkan oleh pemerintah. Kenangan dan imajinasi alun-alun justru hendak dihidupkan lagi. Rencana itu pun bakal menghadapi banyak godaan dan halangan karena alun-alun telah menjelma pasar dan gedung bertingkat. Pemerintah kota mesti ingat relokasi pedagang Pasar Johar yang setahun silam sempat memicu konflik.
Terkait rancangan pembangunan alun-alun itu, kita berharap pemerintah tak terjebak dalam anakronisme terkait fungsi ruang dan historisitas alun-alun. Tampilan dan desain alun-alun mesti memiliki “sambungan” kekhasan dan estetika dengan kompleks Pasar Johar dan Kota Lama. Konsekuensi ini sepantasnya sudah diperkirakan jauh-jauh hari, sepaket dengan antisipasi dan penyelesaiannya—berkaca dari catatan dan ingatan di masa lalu.


Wawasan, 16 Desember 2016