Senin, 13 April 2015

Eksperimen Cerpen Meyakinkan Pembaca



Keberanian mengeksplorasi gagasan dan imajinasi adalah pertaruhan besar bagi pengarang agar jamaah pembaca tak bosan. Pengarang ditantang untuk terus-menerus melakukan pencarian atas tema, gagasan, imajinasi, dan gaya bercerita, sebagai jalan penyegaran bagi teks-teksnya.
Pengarang mesti sadar bahwa pembaca abad XXI adalah pembaca yang disuguhi keberlimpahan kata, buku, dan informasi. Pengarang yang lena dalam kesuntukannya memproduksi karya, tanpa ada kesadaran untuk mencoba bereksperimen demi pencapaian baru, hanya akan menambah deretan karya tak berpembaca.
Eka Kurniawan adalah satu di antara sekian pengarang (cerpenis) yang bergairah untuk terus bereksperimen dalam setiap cerpennya. Kita bisa mulai melacak eksperimen Eka saat membuka kembali buku Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-Cerita Lainnya (2005). Salah satu cerpennya, Pengakoean Seorang Pemadat Indis, ditulis menggunakan ejaan lawas.
Tak sekadar mengganti teks cerpen ke dalam ejaan lawas, antara cerita yang diajukan, tema, hingga konstruksi kalimatnya, pun benar-benar memiliki kualitas dan citarasa seperti halnya teks yang dilahirkan saat zaman kolonial. Kisah tentang pribumi penikmat candu mengingatkan kita pada buku-buku lawas berbahasa melayu pasar. 
Begitu pula ketika kita menekuri lima belas cerpen dalam buku terbarunya Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015). Kita bisa merasakan ada gairah pada Eka Kurniawan untuk melakukan eksperimen atas gagasan dan keliaran imajinasi. Eka seperti hendak mempertaruhkan kreativitasnya demi menciptakan cerpen dengan pelbagai karakter, citarasa, dan pengisahan.
Cerpen Membuat Senang Seekor Gajah mengisahkan seekor gajah yang berniat masuk ke dalam lemari pendingin karena merasa kepanasan. Sebuah ide cerita yang tak terlalu jenius, namun menjadi menarik ketika dipertaruhkan untuk digarap dalam olahan sebuah cerpen. Kita mafhum, mustahil bagi gajah memasukan seluruh tubuhnya ke dalam lemari pendingin.
Melalui tokoh “dua anak kecil”, Eka “mengabulkan” keinginan gajah meski berakhir tragis. “Dua anak kecil” memotong tubuh gajah agar bisa memasukan seluruh bagian tubuhnya ke dalam lemari pendingin. Eka mengakhiri cerita dengan pengakuan getir “dua anak kecil”: “Kurasa kita telah membunuh si Gajah … Tapi paling tidak kita berhasil membuat sebagian tubuhnya masuk ke lemari pendingin. Itu pasti bikin si Gajah senang” (hlm.50).
Cerita sederhana, dengan alur yang tak sulit ditebak, tetapi kentara menampilkan efek tragis, sekaligus magis. Cerita, yang pada mulanya mengajak pembaca pada imajinasi ala dongeng pengantar tidur, berakhir dengan menyisakan kesan mencekam di benak pembaca.
Dalam cerpen Kapten Bebek Hijau, imajinasi pembaca dituntun menuju eksperimen cerita ala dongeng binatang untuk anak-anak. Perjuangan seekor anak bebek dalam mengembalikan warna bulunya lantaran berubah warna setelah memakan buah beracun, mengingatkan kita pada film kartun era 1990-an, yang kerap diputar di televisi pada hari Minggu.
Kita tak bakal menganggap cerpen itu dipersembahkan bagi pembaca anak-anak meski menampilkan dongeng seekor bebek. Eka sepenuhnya sadar bahwa sebuah cerpen adalah seni meyakinkan pembaca atas apa yang ia ceritakan. Cerpen yang tak kuasa meyakinkan pembaca atas konstruksi cerita yang ia ajukan pantas dinobatkan sebagai produk gagal.
Dalam Cerita Batu Eka menghadirkan imajinasi cerita yang berpusat pada pengisahan sebongkah batu. Batu dibaratkan sebagai mahluk hidup, bisa berbicara, dan mengajukan keberatan atas ulah manusia. Eka membuka cerpennya:”Ia hanya sebongkah batu, sebesar kepala bayi. Walaupun begitu, ia selalu berharap memandang dirinya dalam segala hormat, dan kesal sekali jika mereka memperlakukannya semena-mena” (hlm.77). Pemilihan “batu” sebagai lahan eksplorasi cerita mengesahkan eksperimen Eka dalam mengajukan pilihan-pilihan imajinasi atas penciptaan cerpen-cerpennya.
Tetapi tak sepenuhnya cerpen-cerpen dalam buku ini menawarkan sebuah eksperimen cerita. Cerpen Tiga Kematian Marsilam mengingatkan kita pada gaya bercerita dan permainan alur khas Eka dalam novel Lelaki Harimau (2004). Menaut pada peristiwa besar Geger 1965, serta penghadiran beberapa tokoh dengan karakter dan latar belakang yang kompleks, ada potensi pada cerpen ini untuk digarap ke dalam bentuk yang lebih panjang menjadi sebuah novel.
Sedangkan cerpen Perempuan Patah hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, yang didapuk sebagai judul buku, justru tak memiliki keistimewaan, setidaknya jika dilihat dari perspektif gagasan. Kisah tentang seseorang yang mendapat pesan melalui mimpi bagi saya bukan lagi mejadi cerita yang menarik.
Pun keseluruhan cerita yang disajikan dalam buku ini kentara tak menawarkan satu kesatuan “nafas”, berbeda dengan buku sebelumnya, taruhlah semisal, Corat-Coret di Dinding Toilet (2000). Tema, percobaan-percobaan gagasan, dan gaya bercerita, yang beraneka-ragam jadi tahapan penting dalam proses kreatif Eka selama ini. Jika ada faedah dari pembukuan cerpen-cerpen Eka yang pernah terpublikasikan di media, membaca perkembangan kualitas dari setiap teks adalah satu di antaranya.
Pun jika kita melacak tarikh publikasi dari tiap-tiap cerpen dalam buku ini, kita bisa menggolongkan Eka dalam jajaran cerpenis tak produktif. Dengan tenggang publikasi yang lama dari setiap cerpen, (paling banyak diterbitkan pada tahun 2007, selebihnya antara 1 cerpen per tahun), dugaan saya atas eksperimen yang dilakukan Eka tentu sangat beralasan. Setiap eksperimen tentu memerlukan pergulatan kreatif yang panjang, untuk tidak mengatakan sangat melelahkan.
Eka tentu sadar atas pilihannya untuk tidak memilih berdiam di zona nyaman pada setiap capaian proses kreatifnya. Setiap capaian mesti ditengok, untuk kemudian dipertanyakan kembali. Dialektika penciptaan dalam diri Eka meyakinkan kita (pembaca) bahwa eksperimen yang ditempuh Eka adalah cara menguji kreatifitasnya sendiri sebagai seorang pengarang, sekaligus meyakinkan kita bahwa teks-teksnya punya peluang besar untuk terus berkembang. []

Dimuat di Suara Merdeka, 12 April 2015