Senin, 09 September 2013

Antropolog Bicara Keagamaan


Publik pasti belum lupa. Kerusuhan sesama umat beragama yang terjadi beberapa waktu lalu di Sampang, Madura, menjadi kabar buruk bagi kesadaran toleransi beragama di Indonesia. Konflik tersebut terjadi antara dua aliran Islam: Sunni dan Syi’ah. Meski ada isu tentang sebab dan faktor lain yang mengakibatkan pecahnya kerusuhan tersebut, tetap saja, kejadian ini mencemari pandangan umum terhadap Islam. Permasalahan Islam di Indonesia memang sarat polemik tak berkesudahan. Dunia menengok ibu pertiwi dengan sinis dan miris. Islam jadi pesakitan atas peristiwa ini.

Konflik sebelumnya, pembakaran masjid penganut aliran Ahmadiyah oleh warga yang keberatan atas adanya aliran ini.  Terlepas dari sesat-tidaknya ajaran ini, pembakaran mesjid tetap tak bisa dibenarkan. Hal ini diperparah maraknya asli anarkis sekelompok oknum yang menamakan diri sebagai ormas Islam. Negara dipengecuti oleh serangkaian aksi sweeping, perusakan, hingga pemukulan.

Distorsi keyakinan dalam satu aliran agama, terutama Islam, bermula dari sempitnya pemahaman atas makna keberagamaan. Tafsir ayat suci menjadi sumber perbedaan. Studi agama yang terbagi ke dalam dua pendekatan: teosentris dan antroposentris, memaklumkan perbedaan. Kajian teoentris bertolak dari bagaimana Tuhan Allah (lewat Alquran) dan Rasullullah (lewat hadis) mengajarkan kehidupan pada manusia. Sehingga pemahamannya pun berlangsung sangat normatif (tekstual). Pemahaman teks Alquran dan hadis dicapai melalui kajian skriptualistik dan substantif.

Sedangkan pendekatan antroposentris berpijak dari bagaimana manusia merespons ajaran Tuhan dan rasul. Karena bertolak dari manusia, pendekatan ini ditekankan pada pemahaman dari para pelaku, bukan penghakiman dari pihak luar. Tinjauan antroposentris ini tidak memungkinkan tumbuhnya konflik beragama karena dikembalikan ke subjek manusia.

Tafsir skriptualistik sebagai bagian dari tinjauan normatif, menuntut pandangan atas ajaran agama sesuai teks dalam kitab suci. Teks dianggap sudah memenuhi pemaknaan ajaran secara jelas dan tuntas. Berkebalikan dengan tafsir substantif yang mengacu pada pengungkapan “makna” di balik Alquran dan hadis. Galian makna melalui kajian hermeneutika tak bisa ditolak. Akibatnya, kedua perspektif ini kerap bergesekan.

Dari kedua pandangan tersebut muncul singgungan kaum muslim: moderat, fundamentalis, liberalis, hingga konservatis. Sebagian lain, dengan pemahamannya yang sempit, memunculkan gerakan fanatisme-radikalis. Agama ditafsir keliru sebagai apologi atas fanatisme sempit, anarkisme, dan  terorisme. Agama dilakoni secara simbolis yang jutru menjauhkan manusia dari hakikat dan substansi ajaran agama.

Menyadari pentingnya solusi alternatif atas beda tafsir yang kerap menyulut konflik, cendekiawan muslim cum presiden keempat Indonesia Gus Dur menggemakan kesadaran keberbedaan melalui paham pluralisme. Sebuah kesadaran yang menganggap perbedaan—pandangan, agama, keyakinan, suku, wilayah, bangsa, ras, dsb—merupakan kekayaan bangsa yang patut dihargai dan dihormati. Dengan demikian, keberbedaan tidak disikapi sebagai alasan atas munculnya gesekan horisontal-vertikal. Gus Dur menekankan toleransi atas beda tafsir Alquran dan hadis. Dalam buku Tuhan Tak Perlu Dibela (1991) Gus Dur mengurai perlunya keselarasan kehidupan berbangsa dan bernegara, berdemokrasi, serta beragama.

Senada dengan Gus Dur, cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (:Cak Nur) getol mengampanyekan pluralisme secara intelek. Serangkaian ceramah dan penerbitan buku digagas demi pemahaman jalan ketuhanan manusia secara lebih terbuka, demi ajakan untuk saling menghargai pilihan kebertuhanan. Sehingga, apa yang menjadi cita-cita pluralisme, tercapai secara lebih meluas.

Menuju Multikulturalisme

Buku Multikulturalisme Agama, Budaya dan Sastra, karya Prof. DR. Mudjahirin Thohir, M. A. menjadi penyambung gerakan pluralisme yang dikampanyekan oleh Gus Dur dan Cak Nur meski beda konsep. Buku hasil penelitian-perenungan seorang antropolog ini menawarkan solusi atas pelbagai risalah konflik keberagamaan di Indonesia yang hingga kini masih marak. Diawali pernyataan sarat renungan: “Siapa mengaku mencintai Allah, seharusnya ia mencintai mahluk-Nya”, buku elok nan memikat ini menyajikan solusi konflik keagamaan melalui tinjauan antropologis.

Prof. Mudja menggali permasalahan yang terjadi dalam kemajemukanan masyarakat Indonesia, dan menyajikan solusi kritis atas pelbagai konflik kemajemukan: multikulturalisme! Multikulturalisme meliputi keyakinan/ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Fenomena keberagamaan yang belum sanggup membawa perdamaian bagi pengikutnya, dikupas dan ditelaah melalui pendekatan sosial, kebudayan, dan keindonesiaan.


Ajakan untuk menganut dan meyakini multikulturalisme disajikan secara ringan dan menawan. Dakwah hadir tanpa menggurui apalagi menghakimi. Di antara solusi yang ditawarkan Prof. Mudja dalam buku ini ialah dengan meyakini, bahwa keyakinan keagamaan adalah hak individu dengan Tuhan. Sedangkan memandang orang lain yang berbeda secara aliran, keyakinan, suku, wilayah, dan ras, sebagai saudara adalah bagian dari ekspresi nurani kemanusiaan yang beradab. Maka tugas besar kita semua adalah menjadikan Indonesia sebagai bangunan besar yang nyaman ditinggali oleh semua.[]