Publik pasti belum lupa.
Kerusuhan sesama umat beragama yang terjadi beberapa waktu lalu di Sampang,
Madura, menjadi kabar buruk bagi kesadaran toleransi beragama di Indonesia.
Konflik tersebut terjadi antara dua aliran Islam: Sunni dan Syi’ah. Meski ada isu
tentang sebab dan faktor lain yang mengakibatkan pecahnya kerusuhan tersebut,
tetap saja, kejadian ini mencemari pandangan umum terhadap Islam. Permasalahan
Islam di Indonesia memang sarat polemik tak berkesudahan. Dunia menengok ibu pertiwi
dengan sinis dan miris. Islam jadi pesakitan atas peristiwa ini.
Konflik sebelumnya, pembakaran
masjid penganut aliran Ahmadiyah oleh warga yang keberatan atas adanya aliran
ini. Terlepas dari sesat-tidaknya ajaran
ini, pembakaran mesjid tetap tak bisa dibenarkan. Hal ini diperparah maraknya
asli anarkis sekelompok oknum yang menamakan diri sebagai ormas Islam. Negara
dipengecuti oleh serangkaian aksi sweeping,
perusakan, hingga pemukulan.
Distorsi keyakinan dalam
satu aliran agama, terutama Islam, bermula dari sempitnya pemahaman atas makna
keberagamaan. Tafsir ayat suci menjadi sumber perbedaan. Studi agama yang terbagi
ke dalam dua pendekatan: teosentris dan antroposentris, memaklumkan perbedaan. Kajian
teoentris bertolak dari bagaimana Tuhan Allah (lewat Alquran) dan Rasullullah
(lewat hadis) mengajarkan kehidupan pada manusia. Sehingga pemahamannya pun
berlangsung sangat normatif (tekstual). Pemahaman teks Alquran dan hadis
dicapai melalui kajian skriptualistik dan substantif.
Sedangkan pendekatan
antroposentris berpijak dari bagaimana manusia merespons ajaran Tuhan dan rasul.
Karena bertolak dari manusia, pendekatan ini ditekankan pada pemahaman dari
para pelaku, bukan penghakiman dari pihak luar. Tinjauan antroposentris ini
tidak memungkinkan tumbuhnya konflik beragama karena dikembalikan ke subjek
manusia.
Tafsir skriptualistik
sebagai bagian dari tinjauan normatif, menuntut pandangan atas ajaran agama
sesuai teks dalam kitab suci. Teks dianggap sudah memenuhi pemaknaan ajaran
secara jelas dan tuntas. Berkebalikan dengan tafsir substantif yang mengacu
pada pengungkapan “makna” di balik Alquran dan hadis. Galian makna melalui
kajian hermeneutika tak bisa ditolak. Akibatnya, kedua perspektif ini kerap
bergesekan.
Dari kedua pandangan
tersebut muncul singgungan kaum muslim: moderat, fundamentalis, liberalis,
hingga konservatis. Sebagian lain, dengan pemahamannya yang sempit, memunculkan
gerakan fanatisme-radikalis. Agama ditafsir keliru sebagai apologi atas fanatisme
sempit, anarkisme, dan terorisme. Agama
dilakoni secara simbolis yang jutru menjauhkan manusia dari hakikat dan
substansi ajaran agama.
Menyadari pentingnya
solusi alternatif atas beda tafsir yang kerap menyulut konflik, cendekiawan
muslim cum presiden keempat Indonesia
Gus Dur menggemakan kesadaran keberbedaan melalui paham pluralisme. Sebuah
kesadaran yang menganggap perbedaan—pandangan, agama, keyakinan, suku, wilayah,
bangsa, ras, dsb—merupakan kekayaan bangsa yang patut dihargai dan dihormati.
Dengan demikian, keberbedaan tidak disikapi sebagai alasan atas munculnya
gesekan horisontal-vertikal. Gus Dur menekankan toleransi atas beda tafsir
Alquran dan hadis. Dalam buku Tuhan Tak
Perlu Dibela (1991) Gus Dur mengurai perlunya keselarasan kehidupan
berbangsa dan bernegara, berdemokrasi, serta beragama.
Senada dengan Gus Dur,
cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (:Cak Nur) getol mengampanyekan pluralisme
secara intelek. Serangkaian ceramah dan penerbitan buku digagas demi pemahaman
jalan ketuhanan manusia secara lebih terbuka, demi ajakan untuk saling
menghargai pilihan kebertuhanan. Sehingga, apa yang menjadi cita-cita
pluralisme, tercapai secara lebih meluas.
Menuju Multikulturalisme
Buku Multikulturalisme Agama, Budaya dan Sastra, karya
Prof. DR. Mudjahirin Thohir, M. A. menjadi penyambung gerakan pluralisme yang
dikampanyekan oleh Gus Dur dan Cak Nur meski beda konsep. Buku hasil
penelitian-perenungan seorang antropolog ini menawarkan solusi atas pelbagai
risalah konflik keberagamaan di Indonesia yang hingga kini masih marak. Diawali
pernyataan sarat renungan: “Siapa mengaku mencintai Allah, seharusnya ia
mencintai mahluk-Nya”, buku elok nan memikat ini menyajikan solusi konflik
keagamaan melalui tinjauan antropologis.
Prof. Mudja menggali
permasalahan yang terjadi dalam kemajemukanan masyarakat Indonesia, dan
menyajikan solusi kritis atas pelbagai konflik kemajemukan: multikulturalisme! Multikulturalisme
meliputi keyakinan/ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Fenomena
keberagamaan yang belum sanggup membawa perdamaian bagi pengikutnya, dikupas
dan ditelaah melalui pendekatan sosial, kebudayan, dan keindonesiaan.
Ajakan untuk menganut
dan meyakini multikulturalisme disajikan secara ringan dan menawan. Dakwah
hadir tanpa menggurui apalagi menghakimi. Di antara solusi yang ditawarkan
Prof. Mudja dalam buku ini ialah dengan meyakini, bahwa keyakinan keagamaan
adalah hak individu dengan Tuhan. Sedangkan memandang orang lain yang berbeda
secara aliran, keyakinan, suku, wilayah, dan ras, sebagai saudara adalah bagian
dari ekspresi nurani kemanusiaan yang beradab. Maka tugas besar kita semua
adalah menjadikan Indonesia sebagai bangunan besar yang nyaman ditinggali oleh
semua.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar