Minggu, 08 September 2013

Tragis Itu Eksotis


(Sekadar komentar untuk cerpen Aswatama Pulang karya Gunawan Maryanto, Koran Tempo, 8 September 2013)

Setiap teks selalu memiliki kemungkinan untuk “lahir kembali” dalam bentuknya yang berbeda, oleh pengarang yang berbeda pula. Teks yang lahir dari jejalan teks yang ada, kerap disebut intertekstualitas, adalah hal yang memungkinkan kreatifitas. Sebagain orang konon berkeyakinan, tidak ada teks yang tidak lahir dari teks lain. Setiap teks lahir berkat kausal yang merangsang dan memantik adanya bentuk lain. Oleh karenanya, cerpen, dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, adalah perwujudan dari teks-teks sebelumnya.

Pada dasarnya cerpen adalah cerita. Sebagaimana sebuah cerita, ia berdiri demi sebuah “cerita” itu sendiri. Ia bisa berangkat dari interteks yang beraneka ragam. Tak pelak, sebuah cerita kerap tak bisa lepas dari cerita-cerita yang mendahuluinya. Hal tersebut sangatlah wajar. Bahkan, tidak sedikit, sebuah cerita terangkat beberapa kali oleh pengarang yang berbeda secara “kebetulan”. Maka, interteks adalah kewajaran dimana pengarang sanggup menempatkan perspektif cerita secara berbeda.

Cerpen Aswatama Pulang karya Gunawan Maryanto, barangkali, bukanlah interteks yang utuh. Cerita ini mungkin mengingatkan pembaca pada tema-tema serupa yang pernah muncul dalam, misalnya, dongeng, legenda, novel, juga cerpen. Kisah tentang pergumulan seorang anak dengan sang ibu yang mengarah pada birahi tak biasa adalah realitas dalam sebuah cerita. Kita pun kerap menjumpainya di televisi, di berita kriminal. Berita di televisi memang kerap mendebarkan dan mencengangkan ketimbang kisah-kisah di dalam cerpen atau novel. Namun, Aswatama Pulang bukan sebuah berita yang tayang sebentar tanpa berbekas, seperti di televisi.  

Identitas

Identitas adalah perihal asal, akar, dan tempat berpulang. Manusia merasa perlu memiliki identitasnya secara utuh. Bahkan, meski identitas kerap menjadi berbahaya ketika di perbatasan dan pintu gerbang, seperti yang pernah Goenawan Mohamad ulas dalam Eksotopi, ia tetaplah jadi prioritas dan selalu jadi urusan serius. Aswatama adalah seorang anak umur 17 tahun yang tersesat di jalan tak biasa. Ia larut dalam “malam jahanam” bersama ibunya, Krepi. Bersama ibunya, Aswatama “saling pagut, saling gigit dan berguling-guling di ranjang”. Diawali mantra Jawa sebelum berhubungan badan, percintaan itu jadi fragmen eksotis meski getir dalam kisah Aswatama.

Tentu saja Aswatama tidak sepenuhnya lelaki bermoral bejat. Ia minggat dari rumah, meninggalkan jejak-jejak hitam di antara hubungannya dengan sang ibu. Ibu seolah bersanding dengan tanda seru. “Ibu” adalah mimpi buruk bagi Aswatama meski jadi rumahnya saat masa kecil. Ia menjauh, dan semakin menjauh. Dua puluh tahun menjauh dari birahi dan kekecewaan pada ibu. Hingga pada sebuah pembicaraan di telepon seluler, ia merasa dijambak ke masa lalu. Sejauh apa manusia meninggalkan jejak asalnya, tak bisa diduga, pada saatnya pasti ia akan kembali. Maka ketika sang ayah terbaring di rumah pesakitan, Aswatama tak bisa berontak dari masa lalunya yang jahanam. Ayah adalah sosok yang pernah memberinya ajaran untuk balas dendam. Membalas rasa dendan yang ia sendiri tidak tahu kepada siapa mesti ditujukan. Pada cerpen ini, pembaca mesti menafsir sendiri siapa “foto” yang konon jadi sasaran dendam Aswatama—fragmen ini serasa putus dari keterkaitan fokus cerita.

Cerpen ini berakhir bukan pada paragraf akhir. Pada paragraf awal cerpen ini justru menemu tautan yang mengisahkan betapa “malam jahanam” yang Aswatama lewati menjadi sebuah paradoks. Dari ayahnya, Aswatama tahu bahwa ibunya, Krepi, bukanlah ibunya yang sebenarnya. Ibunya adalah seekor kuda. Ya, seekor kuda! Bagaimana menalarnya? Pembaca tak perlu bersusah payah mencari pembenaran tentang bagaimana kuda bisa melahirkan jabang bayi. Cukup saja menyadari bahwa ini adalah cerita pendek. Kekecewaan sudah pasti melanda jiwa Aswatama. Betapapun ia pernah bersimpuh pada ibunya, menenggelamkan diri dalam pelukan Krepi yang begitu ia cintai. Meski pada akhirnya birahi mengguncang kasihnya pada sang ibu. Kekecewaan sebenarnya bukanlah pada sederet malam jahanam yang menimpa Aswatama. Lebih jauh, dibohongi selalu memantik kekecewaan. Aswatama bagai tercerabut dari identitas. Yang pada akhirnya muncul adalah kehilangan atas asal dan akar yang semula diyakininya tak ada masalah. Betapa pun ayahnya lantas menceritakan siapa ibunya sebenarnya. Siapakah dia, manusia yang rela dikatakan lahir dari seekor kuda? Apa lagi, setelah adegan bersetubuh dengan ibu palsunya jadi rahasia terbesar antara ia dan sang ayah. Ah, aku tak bisa membayangkan….

Tafsir

Hal-hal yang muncul dalam cerita pendek memungkinkan adanya sebuah tafsir. Cerpen Gunawan Maryanto kali ini adalah kristal yang meruncing tentang bagaimana interteks diciptakan, serta kerealitasan yang tak perlu dibuktikan seutuhnya. Atau, barangkali, bisa saja di katakan Aswatama Pulang adalah sebuah kisah surealisme. Namun, tampaknya inilah yang menonjol dari cerpen-cerpen Gunawan Maryanto. Dalam buku kumpulan cerpennya terdahulu, Galigi (Koekosan, 2007), kisah ibu yang bukan sebenarnya juga muncul dalam cerpen Galigi. Beberapa kecenderungan yang bisa ditangkap dari cerpen sebelumnya dan yang kali ini saya bahas adalah keliaran imajinasi dalam menggubah tokoh-tokoh dalam cerpen, hingga konflik-konflik yang kerap di luar jangkauan.

GM memiliki kecenderungan untuk menghadirkan cerita-ceritanya dalam jagat yang entah. Nama-nama yang merujuk pada tokoh wayang Jawa jadi semacam modal untuk menafsir makna dari sajian kisah yang menggabungkan antara intertekstualitas, keberanian imajinasi, dan olahan bahasa. Sastrawan kawakan Budi Darma menganggap cerpen-cerpen Gunawan Maryanto menawarkan dunia yang asing. Dunia yang seolah-olah ada antara batas realitas dan surealitas. Maka tak lain, cerpen Aswatama Pulang hampir mendekati seperti apa yang Budi Darma ungkapkan: dunia yang asing. Seorang lelaki anak seekor kuda, ibu yang berhasrat pada anaknya, lelaki bertangan pengkor dan berkaki pincang, serta nama-nama yang seolah muncul dari dunia wayang yang mistis. Kesemuanya itu jadi sebuah penegasan tentang betapa berartinya keberanian sebuah imajinasi dalam konstruksi cerita. Ketika keberanian imajinasi dan kemampuan mengaduk adonan cerita tidak ditonjolkan, cerpen bisa saja kalah saing oleh tragisme kehidupan yang kadang jauh lebih mengerikan. Bukankah persetubuhan anak dan ayah, anak dan ibu, kakek dan cucu, adalah galib terjadi di sekitar kita?

Maka, untuk melebihi “ketragisan” kenyataan tersebut, cerpen harus tampil dengan adonannya yang memikat. Dan, Gunawan Maryanto membuktikannya dalam menggali interteks, imaji, serta ketidakpatuhan untuk berpijak pada realis atau surealis. Sayang sekali, beberapa fragmen, di antaranya: dendam kepada Sucitra; adegan menmbak orang-orangan sawah; serta kenyataan bahwa ibunya adalah seekor kuda, yang karena tidak mengerucut dalam satu benang merah, menjadikan cerpen ini sarat “tempelan” yang, seperti saya ungkap di muka, memunculkan tafsir yang tidak fokus. Nah, barangkali itulah yang membuat cerpen ini saya baca hingga 3-4 kali agar saya tidak tersesat dalam dunia yang entah itu….    

Putih-Hitam Pram di Mata Sang Adik


Pramoedya Ananta Toer belum khatam. Ia masih menjadi tema menarik bagi publik sastra. Pelbagai risalah muncul sebagai dalih membicarakan Pram dari luar, dari dekat, hingga dari yang paling dalam. Kali ini, dari kaca mata seorang Soesilo Toer yang tak lain adalah adiknya yang ke-6, Pram dikisahkan sebagai seorang kakak dan manusia seutuhnya dalam buku Pram dari dalam. Adik Pram yang lain, Koesalah Soebagyo Toer, pernah menerbitkan buku bertajuk Pram dari Dekat Sekali (2006). Serupa tapi beda, kedua buku ini adalah dokumentasi kenangan dan ingatan. 
 
Soes—panggilan akrab Soesilo Toer—tidak menduga, hampir separoh hidupnya diisi rangkaian tragedi dan tragisme. Ia pernah ditahan di masa Orde Baru tanpa pengadilan dan pembuktian. Soes tidak minta lahir sebagai adik pengarang besar yang kontroversial, ataupun menjadi seorang tahanan politik. Soes tidak menolak, apalagi menyesal. Ia menjalani laku hidup tanpa merasa dijadikan korban. Soes justru yakin, hidup yang berkualitas adalah hasil seleksi ujian hidup.

Pada suatu hari dalam hidup Soes, ada keraguan yang menguasai jiwanya. Di umur yang sudah tiga seperempat abad itu, Soes takut tidak mendapat kesempatan mengekalkan jejak langkah kakaknya sebagai seorang sastrawan kondang. Memori dan kenangan terlalu sia-sia jika hanya dibawa mati. Soes menumpahkan kegelisahan dalam buku bersampul Pram dengan “jendela” di jidat.  

Kedekatan lahiriah menimbulkan tafsir yang, meskipun tidak sama sekali baru bagi publik sastra, sanggup menguak petilan kehidupan Pram yang penuh misteri. Soes menyajikan memoarnya dalam emosionalitas dan kejujuran. Pengalaman demi pengalaman diceritakan secara komplit dan mendetil. Buku ini dibuka dengan ironisme. Menjadi adik seorang sastrawan besar bukan jaminan bagi Soes leluasa menikmati karya-karya sang kakak. Dengan harga jual buku yang jauh di atas kemampuan ekonominya, peluncuran epos Arus Balik (2001) cetakan keempat di TIM, menjadi event memilukan bagi Soes. Ia merasa asing karena tidak sanggup membeli. Beruntung, berkat istri wartawan Asia Week yang simpati padanya, Soes mendapat buku tersebut secara cuma-cuma. Lega. 

Pengakuan Pram yang menganggap Soes sebagai adik kesayangan, bukan alasan ia mendapat perlakuan istimewa. Pram tetap seperti adanya: keras dan teguh pendirian kepada semua adik-adiknya. Pram adalah ahli kritik sekaligus sosok yang antikritik. Di dalam keluarga, bagi Soes, Pram tak lain dari seorang tangan besi. Pram tak segan mengusir adiknya, terutama Soes, karena berani mengkritik rumah tangganya melalui koran yang dipimpin oleh HB Jassin. “Kalau kau tak suka di sini, kapan saja boleh keluar dari rumah ini!” Kenang Soes.  

Catatan dalam buku ini sanggup menampilkan Pram dalam sisinya yang paling purba sekaligus humanis. Doktrin dan ajaran pantang dilanggar. Soes memegang erat prinsip yang telah Pram ajarkan padanya. Tak tanggung-tanggung, Pram mengajarkan apa yang pernah ia gali dari tokoh-tokoh dunia seperti Thomas Mann, Foulkner, juga Multatuli. Pram tak segan memberi kritik, cacian, hingga kekerasan pada adiknya yang membangkang. Prawito, kakak Soes, pernah merasakan kerasnya perlakuan Pram. Suatu hari Prawito menyerahkan naskah tulisan kepada Pram untuk meminta pertimbangan. Di luar dugaan, naskah itu dilemparnya ke tong sampah. Ironis!

Hal lain yang dijaga erat oleh Pram adalah kehormatan. Nama baik keluarga adalah harga mati. Meski Soes tahu, nama Toer, tak lebih dari singkatan tansah ora enak rasane (meskipun rasanya tidak enak). Prinsip tidak mengenal kompromi. Hingga keyakinannya pada acuan berkarya—realisme sosialis—berimbas pada kehidupan Soes. Tragedi 1965 menyebabkan Soes ditapolkan karena berhubungan darah dengan Pram yang dituduh “kiri”. Ada alienasi yang muncul dari teman yang pernah dekat dengannya, seperti DS Moeljanto dan Taufiq Ismail. 

Pengisahan Pram dalam bingkai memoar kelak sanggup menempatkannya sebagai manusia seutuhnya: hitam dan putih; mulus dan bopeng. Cerita ini adalah sisi yang tak mungkin tergali oleh orang lain selain dirinya. Pengisahan ini seperti halnya dialog. Pembaca seolah-olah bakal didongengi masa lalu dari sang kakek yang jalan hidupnya penuh terjal dan kisah. Pengalaman intelektualisme Soes yang pernah menempuh studi di Universitas Patrice Lumumba, Rusia, serta kecintaannya pada literatur sastra, membuat catatan dalam buku ini bertabur pemikiran dari tokoh-tokoh besar. 

Buku ini tak lebih dari memoar perjalanan hidup manusia dengan tinjauan nalar kultural, politik, intelektual, sosial, dan klenik. Pembaca diajak merunut pemikiran penulis dengan gaya acak. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang jauh terpaut batas ruang dan waktu. Alur bertutur penulis yang tidak teratur ini, dengan bab yang lumayan panjang, tanpa membaginya ke dalam sub bab, tidak menutup kemungkinan membuat pembaca terengah-engah sebelum sampai pada pernyataan Soes yang menghentak: Pram bukanlah segalanya, dan tidak akan menjadi segalanya!

(Dimuat di Harian Detik, 23 Maret 2013)

Dari Puisi Memandang Sragen

Puisi akhirnya tidak berjibaku pada permasalahan estetik semata. Ia tak hanya “bergelantungan” di dahan imajinasi dan terus bercabang. Puisi masih memiliki publik yang menjadikannya sebuah “media”. Ibaratnya, seolah mengulang yang pernah dilakukan sebagian penyair tahun 60an. Ideologi kini memang bangkrut, dan berganti birokrasi.

Adalah hajatan puisi yang digagas oleh Dewan Kesenian Daerah Sragen dengan menerbitkan antologi puisi 127 penyair “Dari Sragen Memandang Indonesia” (2012). Niat mulia untuk mengundang-mempertemukan penyair-penyair dari seluruh penjuru daerah di Indonesia untuk menulis-mengirimkan puisi dengan tema idealis: Sragen. Sosiawan Leak dan Sus S Hardjono, nampaknya, berhasil mengajak-merayu penyair di Indonesia menghadiri peluncuran kumpulan puisi tersebut di sebuah daerah pinggiran di provinsi Jawa Tengah, Sragen.

Acara yang sukses—dengan beberapa pertimbangan. Betapapun, nun jauh penyair berasal, tidak sedikit yang menyempatkan hadir. Jumlah seluruh penyair yang mengikutsertakan karyanya pun dahsyat: 127 penyair! Untuk menyebut beberapa nama penyair Jawa Tengah: Achiar M Permana, Heru Mugiarso, Nurochman Sudibyo, Handry TM, Dyah Setyawati, (Thomas?) Haryono Soekiran. Yang lain, sebut saja Endang Supriyadi, Beni Setia, Danarto, Agus R Sarjono, Boedi Ismanto SA, Kusprihyanto Namma. Hajatan pembukuan puisi seperti ini, apalagi diadakan di daerah kecil di Jawa Tengah, partisipasi beberapa penyair tersebut membanggakan.

Gebrakan Dewan Kesenian Sragen adalah misi kebudayaan (?). Seluruh puisi yang termaktub dalam buku tersbut adalah, mereka yang bergumam, bercerita, mengenang, mengharap, berdoa, mengungkit, serta berkelindan tentang Sragen. Semua melirik Sragen, semua melongok Sragen. Penyair, dengan mengesampingkan keliaran fantasi dan imaji, berpusat pada bagaimana mempuisikan Sragen. Dan bisa ditebak: kumpulan puisi ini adalah dokumentasi-promosi kota situs purbakala tersebut.
***
Pasca gemuruh peluncuran puisi tersebut, publik, entah akan menyadari atau tidak: puisi, pada akhirnya membawa “dirinya” kembali pada “dunia” yang hening dan penuh permenungan. Dunia yang kadang tidak berhenti pada satu pijakan. Skeptis.

Ada kenyataan yang mesti kita sadari: puisi lepas dari dikotomi estetik dan birokrasi. Puisi justru menjadi alat/mesin/media strategi birokrasi (kebudayaan?) yang handal. Ia sanggup merangsang-memaksa para penyair berjamaah datang mengunjungi Sragen. Jumpa literasi, yang akhirnya membawa kisah dari penyair yang bertandang ke Sragen. Dan, melisankannya ke orang lain di daerah masing-masing.  

Membuhul pertanyaan dari selebrasi tersebut; adakah “keakuan” puisi dalam antologi tersebut sebagai tunggal dari hasil permenungan-pergulatan mengakrabi kata, bisa terjamin? Benar-benarkah si penyair misalnya, memasukan roh ke-Sragen-an, padahal, barangkali,  sama sekali belum pernah menyisakan kenangan di tanah Homo Erectus tersebut? Saya kira para penyair tersebutlah yang harus menjawab. Ada seribu satu alasan untuk menjawabnya.
Namun, adanya tema seolah menjadi otoritas tertinggi. Perlu diakui pula, (kini) ranah puisi akrab bersanding birokrasi. Sebuah dunia yang kerap berbenturan, yang justru, kini direkatkan.
***
Puisi adalah puisi. Dengan atau tanpa sebuah misi ataupun tema besar yang membebaninya, tentulah ia tetap disebut puisi. Barangkali, seperti itulah puisi beradaptasi dengan dunia birokrasi. Ia hadir, bahkan, sebagai sesuatu yang sama-sekali bukan tanggung-jawabnya (membawa misi strategi “kebudayaan” seperti apa yang diungkapkan dalam pengantar buku).

Saya tidak tahu, apakah keberhasilan buku puisi ini dalam merangkul-mengajak-mengumpulkan penyair untuk berjamaah mendatangi Sragen sebagai kabar baik atau kabar buruk. Sedangkan, di balik rerimbunan puisi yang bersuara pada kesatuan tema itu, adakah saya akan terhanyut pada deskripsi-impresif Sragen? Atau justru menyadari: semata hanya sebuah “ambisi”.

Saya khawatir, ketika puisi dibebani tema tertentu, akhirnya, terbentuklah kekompakan bersuara dan “slogan” yang miskin permenungan. Goenawan Mohamad (1993) berkata: “puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik”. Kumpulan puisi Dari Sragen Memandang Indonesia, adakah mampu memungkinkan “percakapan yang bebas”? Atau sebaliknya? []

(Dimuat di Suara Merdeka, 13 Januari 2013)