Minggu, 10 Juli 2011

Calon Guru dan Buku

Memilih IKIP PGRI Semarang menjadi tempat studi berarti memahami bahwa kelak, setelah lulus, mereka diharapkan bisa menjadi guru professional. Seperti slogan yang kerap lengket di media publikasi kampus pendidikan ini: melaju dengan mutu. Dengan harapan, pribadi yang kelak dibentuk semasa kuliah, mampu menjadi sosok calon guru profesional: mempunyai kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Namun, dunia pendidikan Indonesia mutakhir, tidak selalu sesuai harapan. Beberapa kasus yang terjadi: kekerasan pendidikan, kekurangan sarana dan pra-sarana, kurangnya kualitas guru, selalu saja mengotori wajah pendidikan kita. Untuk kasus yang terakhir, tentunya perlu kita soroti secara lebih detail.

Kualitas calon guru yang terkadang kurang mampu memenuhi kualifikasi guru profesional, acap kali membuat produk suatu institusi pendidikan “tidak terpakai”. Alasannya jelas: kurang berkualitas. Hal tersebut kiranya ada beberapa penyebab. Pertama, orientasi nilai pada calon guru ketika menempuh studi kuliah, yang mengakibatkan bahan pengetahuan, pengajaran dan skill hanya diukur berdasar nilai yang didapat. Sehingga, terkadang semasa menjadi mahasiswa, pendalaman pada penguasaan materi kurang dikuasai. Kedua, calon guru kurang memperluas pengetahuan lewat buku. Singkatnya, ada kecenderungan malas membaca buku. Dan tampaknya gejala malas membaca buku perlu menjadi sorotan.

Sebagai calon guru, sudah menjadi kewajiban untuk berlaku dan berpikir cerdas. Membiasakan aktifitas yang bersifat pengayaan intelektual, seperti diskusi, membaca buku, dan seminar, adalah kebutuhan pokok.

IKIP PGRI Semarang memiliki perpustakaan yang cukup menampung banyak sekali koleksi buku. Tentunya cukup untuk memenuhi kebutuhan baca mahasiswa. Juga beberapa unit kegiatan mahasiswa yang kerap menyediakan acara diskusi dan bedah buku. Hanya saja, permasalahan utama pada dasarnya adalah pada minat dan apresiasi mahasiswa itu sendiri. Sikap mahasiswa yang enggan bersentuhan dengan buku, apalagi membaca, tentunya merupakan bahaya laten pendidikan Indonesia di masa mendatang.
Malas membaca menyebabkan kualitas calon guru kurang matang. Kerap mahasiswa bersentuhan dengan buku hanya untuk urusan tugas semata. Selebihnya, menjadi sesuatu yang sulit untuk direalisasikan.

Membaca, pada dasarnya adalah proses penciptaan generasi intelektual. Dengan kebiasaan membaca, tentunya secara tidak sadar, kita dilatih untuk berpikir analisis, serta semakin melatih pemikiran yang bersifat kritis. Ada ungkapan yang sering dikaitkan untuk memahami kecerdasan seseorang. Kecerdasan seseorang adalah apa yang dibacanya. Dan kebebasan membaca buku sekarang sudah tidak lagi ada pembatasan. Kita bebas membaca buku apa saja. Semua tersedia, tidak dilarang pula. Berbeda pada zaman Orde Baru, untuk membaca buku tertentu, seperti buku beraliran kiri dan karya sastra serupa, sangatlah dilarang, bahkan sampai pada penangkapan. Hanya karena membaca buku!

Lalu bagaimana proses pemulihan minat mahasiswa pada buku bisa tercapai? Sehingga calon guru, lulusan kampus pendidikan, mampu memenuhi kualitas yang dibutuhkan?
Pertama, penciptaan tradisi dekat buku. Pengadaan kegiatan yang bersifat apresiasi buku—bedah buku, pameran buku, reading group—secara berkelanjutan, dan didesain semenarik mungkin. Upayakan acara demikian juga disokong oleh lembaga terkait seperti pihak institut, sehingga apresiasi buku tidak terkesan menjemukan.
Kedua, gerakan wajib baca buku masuk ke dalam sistem perkuliahan. Kecenderungan dosen untuk mewajibkan mahasiswanya membaca buku belumlah sepenuhnya terealisasi. Sebagai imbasnya, untuk pemahaman terhadap materi tertentu, mahasiswa cenderung mencari jalan instan seperti googling. Dengan mewajibkan mahasiswa untuk membaca buku pada tugas tertentu, kebiasaan ini akan terlatih.

Ketiga, dorongan dari segala pihak—institusi, pemerintah, lembaga pembukuan, mahasiswa—untuk memudahkan akses buku dijangkau mahasiswa. Institusi seperti kampus menyediakan buku. Pemerintah memberi bantuan pengadaan dan sosialisasi gerakan baca buku. Juga mengusahakan agar harga buku bisa terjangkau. Mahasiswa bersikap apresiatif terhadap buku. Dengan demikian, penciptaan tradisi buku pada calon guru bisa mulai tertata dan terlatih.

Membakar buku itu kejahatan, namun tidak membaca buku adalah kejahatan yang paling jahat. Kiranya begitulah pameo yang kerap kita dengar. Jelaslah pula kedudukan sebuah tradisi membaca buku. Sebagai calon guru, tentunya penguasaan atas kompetensi materi sangat diperlukan. Membaca buku adalah jalan menuju kompetensi diri yang berintelektual tinggi. Dengan adanya semangat membaca buku, calon guru tentu akan mendapatkan pendidikan yang berwawasan luas, pendidikan yang mendapatkan bumbu serta anjuran dari berbagai referensi. Semakin kuat referensi, semakin kokoh calon guru di Indonesia. Dan bila konsep tersebut bisa diterapkan di kampus IKIP PGRI Semarang, pendidikan bagi calon guru akan benar-benar melaju dengan mutu. Tentu dengan banyak membaca buku. Begitu.