Sabtu, 09 Oktober 2010

Ketika Sastra sebatas Tugas Kuliah



Tumbuh kembang dunia kesusastraan pada hakikatnya dikendalikan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah penerbitan buku sastra, acara sastra, kampus, media massa, serta adanya pendidikan pengenalan sastra.

Buku yang terbit memberi sumber yang kelak akan memperbanyak referensi bacaan, sehingga hal tersebut kelak menimbulkan beberapa wacana menarik bila difollowupkan ke dalam ruang acara bagi penikmat, kalangan awam sastra sekalipun. Dengan demikian perdebatan sastra menjadi lebih berdaya tarik ketika hal tersebut menyeruak menjadi sebuah perbincangan.

Adapun lingkungan kampus adalah kondisi bagi kaum terdidik untuk penyalur serta penyambung ide dari sastra tersebut, yang intinya pada program studi sastra pencapaian kepahaman tak sebatas permukaan saja, namun intim dan bermutu. Di sinilah kaitan media massa memberi ruang bagi kaum terdidik untuk menyalurkan dunia idenya agar memberi ruh sastra yang kelak bisa dikonsumsi secara umum.

Peredaran gerak sastra tersebut nantinya akan bermanfaat ketika studi sastra diperkenalkan sedasar mungkin. Buku, media massa, acara sastra serta adanya jurusan sastra memberi wacana yang sedikit demi sedikit bisa menjaga stabilitas sastra, cabang seni yang memang mengutamakan estetika. Dan nihil terealisasi bila sebagian dari faktor tersebut ada yang dinomorduakan.

Pelaku sastra─entah itu sastrawan, seniman atau penulis─pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk berusaha mati-matian menjaga keutuhan sastra yang kian tahun kian “cebol”. Yah, Indonesia punya Pramudya Ananta Toer, WS Rendra, Chairil Anwar hingga penyair Jawa Tengah yang terlupakan Ronggowarsito. Kesemuanya adalah sosok mumpuni dalam kesusastraan, namun mengapa tidak satupun dari mereka meraih nobel kepenulisan sastra? PR yanag mesti kita tuntaskan.

Tak perlu diragukan lagi kehebatan tetralogi Pulau Buru yang begitu fenomenal. Kehebatan WS Rendra dalam membawakan sajak-sajak pamfletnya, serta kekuatan bahasa Chairil yang begitu intim. Semua adalah kekayaan jagad seni sastra Indonesia. Namun bagaimanakah keseimbangan produk sastra bisa berpengaruh pada kelanjutannya dewasa ini? Apalagi di kota Semarang yang konon mendapat julukan kuburan seni? Ada yang sepakat, adapula yang menolak. Tentunya hal tersebut masih menjadi mitos tak berfakta otentik─tidak ada data resmi akan julukan tersebut.

Triyanto Triwikromo dalam tulisannya Geliat Sastra Jawa Tengah [dimuat dalam Suara Merdeka minggu], memberi sedikit uraian akan gejolak sastra jawa tengah dan kemungkinannya. Jawa tengah mempunyai Timur Sinar Suprabana, S. Prasetyo Utomo, Hendry TM, Mukti Sutarman Espe, Leak, ataupun Adin yang kian marak dengan manuver pergerakan. Lalu bagaimana Semarang disebut sebagai kuburan seni jika keikutsertaan tokoh tersebut dan karyanya masih senantiasa mengusung Jawa Tengah [baca :semarang] sebagai tempat yang nyaman untuk berproses? Kemumpunian para pesohor sastra kita tidak perlu diragukan lagi. Akankah hal itu saja cukup? Bagaimanakah attitude mereka terhadap regenrasi sosok yang kelak melanjutkan? Hal itulah yang kerap dilontarkan Adin Hysteria berkaitan sistem yang membawa dampak stigma “kuburan seni” bagi masyarakat jawa tengah pada khususnya.

Peran serta dunia kampus pada konteksnya adalah sentral. Kampus menjadi ajang paling menjanjikan bagi peredaran ruang gerak sastra. Kaum terdidik serta intelektual muda menyebabkan kampus menjadi sasaran tepat bagi tumbuh-kembang dunia sastra. Kampus mempunyai banyak peluang bagi terselenggaranya acara-acara sastra, provokasi terang-terangan agar ikut serta dalam aktivitas sastra nampak begitu kental dan vulgar. Hal ini karena kampus merupakan media transformasi ilmu serta integritas yang bisa diandalkan. Karena itulah faktor kesusastraan kampus mempunyai andil dalam peredaran sastra di masyarakat.

Tulisan mahasiswa yang dimuat di media massa semakin membuktikan bahwa pelaku sastra adalah mereka yang cenderung membidik kaum intelek. Mungkin karena itulah Leak dan Beno Siang Pamungkas dengan Revitalisasi Sastra Pedalaman-nya mencoba mengembangbiakan sastra ke pelbagai lini masyarakat, termasuk masyarakat desa sekalipun. Meski hasil dari proyek tersebut sukses atau tidak itu perkara lain.

Lalu sejauh ini bagaimanakah dunia kampus mampu memberi jaminan pasti pada produk-produk sastra yang bisa diperhitungkan? Kampus yang biasanya terdiri dari dosen-dosen, mahasiswa serta beberapa pemerhati sastra, apakah bisa menjamin adanya kokoh tidaknya sastra sebagai ruang seni yang tidak hanya sebuah tuntutan tugas kuliah? Karena pada kenyataan keterlibatan mahasiswa dengan sastra yang memang mengambil studi sastra hanya sebatas kewajiban atas tugas mata kuliah semata, dan tidak ada tanggung jawab atau sejenis kesadaran akan maju mundurnya sastra pada ruang publik yang sebenarnya. Peduli amat dengan kegiatan komunitas, ruang diskusi sastra yang mengupas sastra sebagaimana hegemoni realitas dan hambatan yang ada. Intinya tugas kuliah lancar dan mendapat nilai yang bagus.

Umur perkuliahan yang rata-rata hanya 4-5 tahun bagi sarjana pun terkadang menjadi sebuah realitas yang tak bisa dihindarkan lagi menjadi pemutus lintas regenerasi. Lima tahun bukanlah waktu yang cukup bila disandingkan dengan usaha untuk membangkitkan gairah sastra kampus yang sebenarnya. Misal saja jika pada umur ke-4 atau kira-kira semester 8, mayoritas mahasiswa akan mengalami masa di mana tuntutan tugas dan serentetan kegiatan pokok perkuliahan seperti skripsi dan lain hal dipertaruhkan.

Apakah ada sosok yang rela mengorbankan studinya demi kepentingan sastra dan tumbuh kembangnya? Saya jawab ada! Namun satu-dua saja, dan itu hanya dalam setiap kampus. Meski ada juga yang bisa sukses dalam dua hal tersebut, kuliah dan aktivitas sastra misalnya. Maka muncullah beberapa sosok saja yang benar-benar membawa amanat untuk memperbaiki tumbuh kembang sastra sesuai harapan. Dan akhirnya kembalilah urusan sastra akan didominasi kaum tua saja, karena begitulah realitas yang ada. Meski kaum muda selalu muncul dan tenggelam menyuarakan perlawanan dan dominasi kaum tua, dan beberapa nampak konsisten dengan jalur yang sudah diputuskan.

Kembali pada permasalahan kampus dan sastra yang ada. Tidak sepenuhnya kaitan lemahnya regenerasi dan keamburadulan napas sastra kampus hanya bertitik berat pada mahasiswa, dosen termasuk di dalamnya. Mengapa dosen? Notabene dosen adalah sosok yang memang sudah menempati ilmu yang capable sesuai formalitas, yaitu dibuktikan dengan adanya ijasah dan gelar sarjana sastra. Namun yang ingin penulis pertanyakan adalah bagaimana pertanggungjawaban atas pematerian sastra bagi mahasiswa yang cenderung copy paste. Maksudnya adalah ketika pembelajaran sastra hanya sebatas plek-jiplek dalam buku. Apapun yang akan dikemukakan adalah harus sesuai dengan kutipan buku-buku yang “itu-itu saja”. Perlu diingat, sastra adalah cabang seni. Dan seni akan menemukan kesejatiannya ketika batas ide dan imajinasi sudah berhasil dilelehkan sesuai “titik didih” ide dan imajinasi tersebut. Tidak dipungkiri bahwasanya referensi bacaan adalah mutlak bagi penikmat sastra ataupun pembelajar sastra, akan tetapi sebuah kebodohan jika hanya bertolak dari teori-teori yang terlalu formil.

Bagaimanakah seorang yang tidak pernah menulis puisi harus mengajar mata kuliah puisi? Bagaimana pula kapabilitas seorang yang hanya mengenal sastra sebatas transfer buku dan tidak pernah menceburkan diri ke dalam pergerakan sastra yang sebenarnya harus bercerita ngalor ngidul tentang kesusastraan? Ataupun seorang yang masih menggunakan teori sastra yang bisa dinilai “jadul” mesti menjabat sebagai kajur jurusan sastra? Bagaimana pula jika arus nafas sastra harus tersendat karena masalah birokrasi ataupun harus bertentangan dengan sistem kampus yang ada. Malah yang tak kalah memprihatinkan adalah ketika proses penciptaan karya kharus dinomortujuhbelaskan karena kesibukan jabatan sebagai pejabat jurusan sastra. Miris.

Jika Sapardi Djoko Damono dengan gelar profesor sastranya menjadi sebuah rujukan akan materi kesusastraan, hal itu wajar adanya. Kemujarapan karyanya sudah tidak perlulah untuk dipertanyakan. Atau Seno Gumira Ajidarma yang menjadi dosen kepenulisan kreatif di ISI, tak perlulah dipertanyakan. Begitu pula S Prasetyo Utomo, Triyanto Triwikromo, cukuplah “senjata” yang mereka miliki.

Namun bagaimana dengan “orang-orang” yang ngakunya dosen sastra tetapi tidak ada sebuah capabilitas ataupun keikutsertaan pergerakan sastra pada ruang publik yang sebenarnya? Minimal karya dari mereka [dosen sastra] sering mampir di media massa, ya meskipun bukan media massa besar. Atau mungkin dari mereka berhasil menciptakan buku bacaan sastra, entah itu berupa buku karya, teori atau apapun itu yang intinya adalah buku yang merupakan cipta karya dari mereka, bukan buku kumpulan kutipan dan sejenisnya. Namun rasanya sulit dipaksakan bila memang kompetensi dosen sastra kita adalah sebatas sastra open book. Dan bukan pada tradisi penciptaan teks prosa atau sejenisnya.

Kiranya cukup dimaklumi bila mahasiswa jurusan sastra enggan menulis puisi, cerpen atau sekedar ulasan lain yang berkaitan. Mahasiswa yang dijejali pembebanan teks sastra dan diberi monster menyeramkan berupa kebutuhan nilai. Karena bagaimanapun tidak bisa dipungkiri, apalah arti mereka bersusah payah dengan sastra sebenarnya. Karena tujuan adalah nilai. Dosen yang terlalu pelit nilai ataupun enggan dengan kegiatan non keakademikan. Sungguh disayangkan, nile ora kulak koq diangel-angel.. Dan semoga saja sastra bagi mahasiswa hanya menjadi perdebatan sebatas tugas dan mata kuliah saja yang mesti mengejar target nilai. Sebuah kasus yang saling mengait. Dan tumbuh-tumbang sastra akan kembali pada “orang tua”. Jadi jangan terlalu salahkan mereka. Sekian.

Pandean lamper, 09 okt 2010