Minggu, 26 Oktober 2014

Api Revolusi Bung Karno dalam Puisi


 
Bung Karno masih memiliki umat. Sekian puluh tahun setelah beliau wafat, ketokohannya masih menebar pesona. Potret Sang Proklamator masih terpampang di gedung-gedung, rumah, kaos, tembok, pinggir jalan. Buku-buku warisannya pernah jadi barang bernilai fantastis semasa Orde Baru. Imajinasi ketokohan Bung Karno terekam dalam foto-foto memesona, kutipan, buku, dan sekian rekaman pidato.
Bung Karno seperti berdiam dalam ingatan dan kenangan para pengagumnya. Tulisan-tulisannya kerap menginspirasi intelektual untuk menerbitkan buku berisi kajian-kajian pemikiran. Para seniman rupa tak jarang mengeksplorasi tampang Bung Karno ke dalam lukisan atau mural di tembok-tembok jalanan. Tak ketinggalan, para politikus pun kerap naif memajang foto diri bersanding dengan Bung Karno saat kampanye politik. Pesona Bung Karno belum pudar meski pernah digencet habis-habisan semasa Orde Baru. 

Pada konteks inilah, saya menyebut buku Kepada Bung Karno: Kumpulan Puisi 1960-2014 karangan Bungaran Antonius Simanjuntak, adalah satu dari sekian kerja kreatif yang lahir dari kekaguman pada Bung Karno. Puisi berisi arsip ingatan dan kenangan Bungaran saat mengalami pemerintahan Bung Karno. Buku puisi lahir sebagai persembahan kepada Sang Proklamator. Puisi-puisi mengalir sejak Bungaran mulai menapaki jalan sebagai mahasiwa.
Peristiwa menjadi mahasiswa diawali dengan adegan sendu di pelabuhan. Puisi bertajuk Di Atas KM Kangean, mengisahkan episode keberangkatan dari kampung halaman menuju tanah rantau. Puisi penuh haru dan kesedihan. Berikut petikannya: Mereka yang di geladak kapal masih menyeka air mata/ Tapi aku tidak menyeka apa-apa/ karena aku tidak diantar oleh ayah bunda/ walau negeri tujuanku adalah kota yang lama kudambakan/ Jauh di sana katanya di kaki Gunung Merapi.
Puisi bertitimangsa 17 Agustus 1960 mengisahkan adegan pilu: perpisahan saat kapal bergerak menjauhi pelabuhan. Pelabuhan memang gampang mengingatkan kita perihal pertemuan dan perpisahan. Dalam puisi ini, aku-liris merasa cemburu. Keberangkatannya menuju pulau seberang tak disertai lambaian tangan atau pun tangis perpisahan dari orang tua. Aku-lirik menuju sebuah kota “di kaki Gunung Merapi”, Yogyakarta, tempat Bungaran berkuliah.
Bungaran menempuh studi saat revolusi sedang bergejolak kencang. Indonesia di bawah rezim Bung Karno adalah negara galak dan bersuara lantang. Orasi dan pidato Bung Karno menggelegar, membakar jiwa-jiwa revolusioner mahasiswa. Bungaran seperti terjilat kobaran api revolusi. Terpukau dengan Bung Karno, semangat revolusi muncul dalam sekian puisinya.  
Dalam puisi Tri Komando Rakyat, Bungaran menulis: sekarang bung!/ kami sudah rela mati untuk bangsa/ dan negara/ sekarang bung/ kita perang ke Irian Barat. Puisi mirip pamflet pergerakan. Mahasiswa saat itu tentu minder jika tak terjun ke ranah politik. Bung Karno sebagai panutan memang berpotensi membakar jiwa-jiwa muda. Barangkali sejak saat itulah, Bungaran seperti menemukan sosok “bapak” sejati, tersihir pikiran dan kegagahan Bung Karno saat pidato di atas podium. Pilihan mengagumi Bung Karno terus mengakar pada Bungaran hingga meraih sarjana.   
Bisa dimaklumi jika banyak dari puisi Bungaran menghadirkan “Bung Karno” sebagai tempat berkeluh dan mengadu. Bungaran kerap mengingat Bung Karno penuh nostalgia. Puisi berjudul Laporan Kepada Bung Karno mengawetkan kerinduan itu: aku merindukan kelantanganmu itu/ acungan tanganmu yang kokoh/ dengan kacamata hitammu/ belanda tahu kau tidak gertak sambal.
Pemimpin memang harus berani bersuara lantang dan berjiwa pemberani. Di antara krisis kepemimpinan dan praktik korupsi yang menjangkiti para wakil rakyat, siapa saja bakal merindui sosok pemimpin berwibawa. Selain sikap kepemimpinan, Bungaran mengidolakan Bung Karno sebagai individu yang tak berambisi menguras uang negara.
Dalam puisi berjudul Sukarno Apa Pun Kata Mereka, Bungaran menulis: ada yang menyamakanmu dengan Soeharto/ katanya sama-sama otoriter, diktator/ mungkin benar/… aku tak peduli/ karena kau tak kaya/ tak korupsi. Pengaguman bersifat personal, mengarah pada sifat individu Sang Proklamator. Laku koruptif memang bisa merobohkan segala wibawa dan jasa.
Kekaguman Bungaran pada Bung Karno tentu tak berpamrih politik. Membaca sajak-sajak Bungaran, kita tak akan mendapati tendensi-tendensi politis. Kita justru bakal diajak berenang dalam ingatan-ingatan, kecintaan, kerinduan, serta pembelaan Bungaran kepada Bung Karno. Nostalgia bersama Bung Karno lewat puisi tentu lebih beradab ketimbang kegemaran politisi memajang foto diri besar-besar bersama Bung Karno, riasan ampuh pencitraan diri. Puisi-puisi Bungaran telah mengisahkan Bung Karno secara santun dan beradab. []

Dimuat Koran Jawa Pos 26 Oktober 2014