Minggu, 31 Januari 2016

Sapardi dan Penyakit Sebagian Pembaca Sastra Kita


Sapardi Djoko Damono masih menyapa pembaca lewat penerbitan buku-buku terbaru. Di umur 75 tahun, ia masih produktif. Tubuh renta justru membuat Sapardi kian bergelimang imajinasi. Sapardi terus saja menulis. Tahun ini, tercatat ada empat buku ia terbitkan. Ada kompilasi karya lama dan ada pula yang sama sekali baru.
Sejumlah terbitan itu kian mengukuhkan Sapardi dalam jajaran sastrawan ampuh negeri ini. Kiprah dan ketekunannya memukau publik. Ia menulis segalanya: puisi, cerpen, novel, kritik, esai sastra, hingga menerjemahkan karya sastra asing. Wajar bila kita menaruh kagum dan bangga atas etos dan kerja literasi yang telah ia tunaikan.
Kekaguman publik itu terlihat saat berlangsung obrolan dan peluncuran novel Suti di Balai Soedjatmoko, Solo, 22 November 2015 silam. Sebuah novel yang berkisah perihal keluarga priyayi di Solo, kisaran tahun 1960-an. Kisah seorang abdi bernama Suti yang terlibat percintaan terlarang. Cerita dikemas dalam sengkarut pergaulan dan kehidupan keluarga priayi, dibumbui tebaran simbolisme dalam adat Jawa. Sebelumnya, Sapardi juga telah menerbitkan novel Trilogi Soekram, Hujan Bulan Juni, dan kumpulan puisi Melipat Jarak. Tiga novel dalam setahun!
Dalam peluncuran itu, Sapardi berkesempatan hadir secara langsung. Kehadiran Sapardi tentu menyedot perhatian. Arena diskusi sesak dan riuh oleh hadirin yang didominasi anak muda dan mahasiswa. Buku-buku Sapardi pun itu bernasib mujur. Hadirin tak henti-hentinya bergantian mengantri, bermaksud membeli buku. Buku laris tentu imbas dari ketenaran Sapardi. Mereka yang datang seolah tak mau kehilangan momentum untuk bertemu dan meminta tanda tangan sang primadona.  
Di Luar Teks
Adegan demi adegan berlalu. Moderator membuka diskusi, diawali pembacaan petikan novel dan puisi, dilanjutkan sesi komentar dari para pembaca Suti. Beberapa minggu sebelum acara, novel itu memang telah beredar terlebih dahulu di toko buku. Moderator menyilakan para pembaca mengajukan komentar, kesan membaca, dan kritik. Sanjungan dan pujian mengawali obrolan. Moderator ikut memberi pengakuan atas kekaguman dan pemujaan terkait ketokohan dan puisi-puisi Sapardi meski sadar sedang memandu obrolan peluncuran novel.  
Seorang pembaca mengajukan perbandingan atas novel Suti dengan Para Priyayi garapan Umar Kayam. Pembaca lain ikut memberi tafsir atas serangkaian simbol yang mengarah pada nilai-nilai kejawaan. Sanjungan dan pujian terlontar mengiringi setiap komentar.  
Komentar demi komentar meramaikan obrolan meski tak satupun hadirin berkeberanian mengajukan kritik. Meski begitu, masih ada pembaca yang berani mengakui tak sanggup memberi pujian atas novel itu. Ia hanya menyinggung bahwa novel Suti adalah kelanjutan dari penulisan novel berbahasa-bertema Jawa yang pernah Sapardi tulis di masa lalu. Bayangan perihal forum yang mengedepankan tinjauan dan penilaian kritis itu pun berpendar dalam kedongkolan dan kecewa.
Obrolan justru beralih ke pertanyaan-pertanyaan klise, tak eksplisit membicarakan kualitas teks novel Suti. Seorang hadirin berkisah perihal upaya kerasnya untuk bisa bertemu langsung dengan Sapardi, dari Jakarta sengaja datang ke Solo. Ada pula mahasiswa yang sesumbar mempertanyakan orientasi dan makna di balik puisi-puisi Sapardi berdalih misi penulisan tesis! Harapan untuk mendengar kesaksian dan pembacaan kritis atas novel Suti terbenam dalam riuh pemujaan dan kultus atas sosok Sapardi.
Penyakit
Tinjauan kritis atas novel-novel Sapardi memang mendesak untuk diajukan. Tiga novel terbit dalam setahun tentu capaian prestisius. Respons publik atas novel-novel Sapardi menunjukan ada gairah yang menggebu dari pembaca.
Pengisahan tokoh-tokoh dalam novel Suti sanggup merekam kondisi psikologis dan watak feodalistis yang melekat di keluarga Jawa era tahun 1960-an. Sapardi juga menggunakan pelbagai simbol, tradisi, dan keyakinan kejawaan dalam nalar berpikir tokoh-tokoh rekaannya. Kita pun menyayangkan kecerobohan penerbitan novel ini karena meloloskan begitu banyak salah ketik dan kekeliruan penyebutan, sejak bagian awal hingga akhir.
Begitu pula dalam novel Hujan Bulan Juni. Novel yang mengisahkan tokoh Sarwono dan Pingkan itu laris meski tak menjanjikan sajian kualitas. Paragraf demi paragraf kerap menebarkan “polusi”: dialog yang kering dan boros, serta lemahnya kekuatan pedeskripsian tempat, suasana, dan ketegangan cerita. Karakter tokoh tidak begitu kuat. Konflik pun tak tergarap secara maksimal.
Penggunaan judul memang memikat karena merangsang ingatan pembaca atas ketenaran puisi Sapardi terdahulu yang berjudul Hujan Bulan Juni. Pada bulan Oktober, novel ini tercatat memasuki cetakan kelima sejak kali pertama terbit pada bulan Juni silam. Sebuah capaian fantastis untuk novel yang begitu banyak kekurangan di sana-sini.
Dalam novel Trilogi Soekram, kita memang disuguhi keberanian Sapardi dalam memadukan eksplorasi cerita. Kisah seorang tokoh rekaan yang menggugat sang pengarang terkesan segar meski pada akhirnya kesulitan dalam membangun konstruksi cerita yang utuh dan kokoh. Aroma kepenyairan Sapardi justru menjejak jelas dalam narasi-deskripsi yang ia tulis.
Dari peristiwa di Balai Soedjatmoko itulah, kita pantas menduga ada penyakit yang kini mengindap sebagian besar publik sastra kita. Kekaguman dan pemujaan berlebih atas nama besar tokoh kerap merabunkan mata dan keberanian kita dalam memberi tafsir dan kritik secara jujur dan terang-terangan.
Kita kerap terjebak dalam penjara kultus yang sesat: menganggap nama besar sastrawan berbanding lurus dengan kualitas karyanya. Dari tinjauan novel-novel terbaru Sapardi kita bisa memberi kesimpulan: publik sastra kita masih terjerat nalar selebritas. Kekaguman kerap berlandas popularitas, bukan kualitas. Watak inilah yang dimungkinkan membuat dunia sastra Indonesia tak maju-maju. []

Dimuat koran Harian Rakyat Jateng, 1 Februari 2016