Senin, 11 Oktober 2010

Budaya Menghafal Masih Dipertahankan


Budaya Menghafal Masih Dipertahankan

Belum lama ini saya mengadakan sebuah penelitian kecil-kecilan di Sekolah Dasar yang ada di desa saya. Meski tidak saya lakukan dengan cara substansil-formal, akan tetapi ada beberapa hal menarik yang saya temukan di sana.

Mungkin apa yang saya temukan adalah hal wajar dan sering kita jumpai. Akan tetapi mari kita coba memikirkan sejenak apa yang terjadi dalam pengajaran di Indonesia. Saat itu yang saya jumpai adalah seorang guru sedang menyuruh murid-muridnya menghafal nama-nama pahlawan di Indonesia. Dari pahlawan bersorban khas Sumatera Barat Imam Bonjol, sampai pahlawan revolusi yang meninggalnya katanya disiksa dan dibunuh oleh pihak komunis. Murid-murid dengan telaten dan menggebu-gebu menghafalkan nama-nama pahlawan lengkap dengan atributnya masing-masing.

Tidak ada yang salah memang dengan pengajaran seperti itu, murid disuruh menghafal agar kelak mereka tahu pahlawan yang gambarnya sering terpampang di kantor-kantor dan ruang kelas. Namun apakah dengan demikian murid-murid jika dewasa nanti masih memaknai nama pahlawan tersebut?

Sepengalaman saya, ketika kita sudah dewasa justru malah lupa dengan segala hafalan yang kita lakukan sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Kita cenderung mengetahui pahlawan-pahlawan yang populer di televisi, seperti tokoh emansipasi wanita Kartini atau pahlawan berkuda Pangeran Diponegoro. Selain itu, apa yang dapat mereka dapatkan selain itu? Masihkah kita memaknai peringatan upacara Hari Pahlawan atau memaknai tempat bersejarah yang kini tersisa?

Apa yang dilakukan guru tadi memang tidak ada salahnya, namun jika kenyataannya hal tersebut masih saja kurang mencapai sasaran, akankah kita masih mempertahankan kebiasaan tersebut? Bukankah guru jaman sekarang sudah dilatih untuk belajar membuat inovasi pengajaran yang diharapkan bisa memperbarui pengajaran di Indonesia.

Menghafal adalah cara pengajaran efektif bagi balita dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, kira-kira umur 2-7 tahun. Pada masa itu anak sedang mengalami fase meniru dan menghafal. Anak akan lebih cepat menghafal dan meniru ketimbang memahami. Namun ketika sudah melewati batas umur tersebut tentunya cara yang dilakukan akan berbeda pula.

Pada kasus di atas terjadi pada anak usia rata-rata 9-10 tahun. Jadi akan sangat tidak efektif jika budaya menghafal masih dipertahankan. Anak akan cenderung hanya mengingat nama atau pun identitas, akan tetapi tidak menyentuh pada nilai yang bisa dimaknai hingga si anak mampu mentransformasikan apa yang diperoleh dari cerita pahlawan gugur dalam medan pertempuran ketika memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Bukankah tujuan dari pendidikan adalah mendidik, bukan hanya mencontohkan saja. Dan tidak hanya menghafal saja.


(dimuat di Suara Kampus)