Senin, 26 Oktober 2015

Dangdut yang Berpolitik


Pada mulanya, dangdut itu penghiburan. Mendatangi panggung musik dangdut berarti berharap menikmati suara merdu dan goyangan menggoda dari sang biduan. Menonton musik dangdut, sembari ikut berjoget bersama penonton lain, dianggap sebagai cara ampuh melepas penat. Alunan musik dangdut yang ringan dan mudah diingat membuat dangdut kerap digemari masyarakat dari pelbagai lapisan. Kita terbiasa menyebut dangdut sebagai musik rakyat.
Panggung musik dangdut memang tak pernah sepi dari penonton. Dangdut juga tak mesti digelar di lapangan besar saat pasar malam berlangsung. Orang-orang biasa menyewa kelompok orkes dangdut untuk tampil di acara hajatan, resepsi pernikahan, hingga di kelab hiburan malam. Di era kekinian, orang cukup datang ke bilik penyewaan karaoke, yang kini jamak bertebaran di kota besar maupun daerah pinggiran. Di desa-desa, orang biasa memanfaatkan musik dangdut dengan cara menyetel keras-keras sebagai tanda suatu hajatan sudah di mulai.
Ketenaran dangdut sebagai musik rakyat inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai siasat menjaring perhatian. Kita biasa melihat gempita pentas dangdut menjelang pemilihan umum. Para politisi memanfaatkan pikat musik dangdut demi meraih dukungan massa. Pentas dangdut disertai penampilan artis biduan dihadirkan sebagai pembuka sebelum kandidat politik berkampanye dan berpidato. Kita pun bingung melihat ulah penonton: mereka datang untuk terlibat politik atau sekadar tergoda pada pukau biduan cantik dan alunan musik dangdut?
Pada suatu masa, Indonesia pernah mengisahkan narasi politiknya lewat musik dangdut. Petinggi partai politik merasa perlu mengaku sebagi penggila dangdut agar setiap kedatangannya di panggung kampanye diminati banyak orang. Raja Dangdut Rhoma Irama jadi sorotan publik di era Orde Baru. Rhoma adalah pendakwah sekaligus juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sejak 1973, Rhoma dan grup Soneta bentukannya menebar pukau dakwah lewat nyanyian dangdut. Dakwah lewat dangdut tentu lebih diminati orang Indonesia ketimbang ceramah. Lagu ciptaan Rhoma memang berisi ajakan dan pesan-pesan islami. Lagu-lagu macam Judi, Mirasantika, Darah Muda, mengingatkan kita agar terjauh dari laku kurang beradab. Berdakwah jadi amalan agama, dan kampanye jadi ikhtiar meniti garis politik dan kekuasaan.
Foto: www.suluttoday.com
Rhoma berkeputusan menjaga khitah dangdut dalam relnya dakwah dan kebersahajaan.  Ia bahkan tak segan memberi seruan dan kritik atas ulah Inul Daratista saat itu mencoba meracik dangdut dengan goyang “ngebor” andalannya. Bagi Rhoma, goyang itu dianggap mencederai sakralitas dangdut. Dangdut itu transportasi dakwah, tak pantas diriasi goyang erotis. Di televisi, Inul menangis tersedu meminta maaf pada “Bang Haji”. Nama besar sang Raja Dangdut tentu jadi alasan kenapa Inul tak berani mengajukan konfrontasi. Inul kalah meski tak sedikit pula yang membela.
Zaman terus bergerak, kiprah dangdut perlahan menjauh dari lintasan politik. Para politisi tak lagi berambisi menggelar pentas dangdut dalam lawatan kampanyenya. Tahun 2009 silam, Susilo Bambang Yudhoyono memilih menggandeng grup band Andra And The Backbones, The Changcuters, dan Ungu. SBY memilih menyenandungkan lagu ciptaan sendiri, di antaranya Berjuang untuk Rakyat (Wisnu Nugroho, 2010). Begitupun kemenangan Joko Widodo pada pemilu 2014 silam, yang disokong langsung oleh band rock Slank dan penyanyi rap JFlow. Di media, Jokowi nyaris tak pernah tercitrakan dekat dengan musik dangdut.
Kini, kita justru disuguhi dangdut dengan beragam wajahnya yang kian majal. Dangdut ibarat Indonesia koplo, menadakan kisah-kisah nakal dan banal. Penciptaan lagu dangdut seolah tak memerlukan bidikan pesan dan misi kebersahajaan. Lantunan musik dangdut kontemporer melulu mengumbar umpatan, kisah perselingkuhan, romantika cinta picisan. Sindiran bermetafor binatang bertebaran menghiasi judul-judul lagu dangdut: Keong Racun, Tokek Belang, Buaya Buntung, Wedus….
Beberapa waktu silam, dangdut menyita perhatian kita berkat penampilan baru Rhoma Irama bersama Partai Islam, Damai, Aman (Idaman) bikinannya. Di Tugu Proklamasi, Rhoma menyanyikan visi dan misi partai dalam senandung lagu dangdut. Kelima lagu itu adalah Kita adalah Satu, Bersatulah, Reformasi, Indonesia, dan Pembaharuan. Melalui dangdut, Rhoma hendak berpolitik sekaligus menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin serta mengamalkan Pancasila dalam segala lini kehidupan.

Lewat Partai Idaman, dangdut benar-benar diseret ke ranah politik: berlaku sebagai organ vital di dalam mesin partai. Rhoma memang orang lama dalam panggung politik Indonesia meski kerap dicap sebagai penghibur saat kampanye. Politik menjauhkan dangdut sebagai ajang penghiburan dan joged. “Jangan berjoget karena ini penyampaian visi-misi,” ucap Rhoma di atas panggung (Suara Merdeka, 15 Oktober 2015). Pergeseran citra dangdut terus terjadi, dari waktu ke waktu. Dangdut tak lagi bergoyang, malah berpolitik.[]

Dimuat koran Wawasan, 27 Oktober 2015