Selasa, 13 Agustus 2013

Demi Suara yang Paling Jujur

:dari film r.i. hingga novel Pulang

1

Pada mulanya berawal dari sebuah film r.i. (2011) sutradara A Dananjaya. Film ini mewartakan petilan sejarah Indonesia yang tercecer di belahan Eropa. Tragedi G30S adalah inspirasi pantang kering dari pelbagai sudut pandang: ekonomi, politik, kesenian, kesastraan, hingga kebudayaan. Judul film ini, r.i., memancing gairah menduga. Menempatkan singkatan pakem menjadi judul multitafsir. Mengacu konten film ini, penulis pastikan, maksudnya Restoran Indonesia: restoran di titik nol kilometer negara Perancis.

Restoran Indonesia bukan sembarang restoran. Ia lahir dari luka sejarah dan tikaman politik. Tragedi G30S menjadi kelahiran duka tak tertebus. Mereka: A Umar Said, F Cisca Fanggidaej, Ibrahim Isa, Soejoso, Soeranto Pronowardojo, Windrajati Soekowardojo, JJ Kusni, Sobron Aidit, dan lainnya, bersaksi dalam film tersebut demi suara yang jujur, yang sanggup menembus batas waktu dan kekuasaan. Kesaksian mereka adalah cerita tak terbantahkan atas kebohongan sejarah versi pemerintah Orde Baru.

Alkisah, banyak pemuda dikirim belajar ke luar negeri semasa pemerintahan Soekarno. Mahasiswa, seniman, wartawan, serta pemuda berprestasi lainnya, menjadi tumpuan pembangunan Indonesia saat itu. Rezim berganti dan diawali konflik politik bergelimang darah. Pemberontakan G30S yang dituduhkan kepada PKI menyebabkan konflik di segala bidang. De-Soekarnoisasi pun terjadi. Segala yang “kiri”, dan yang tidak mengikuti anjuran Orde Baru, harus dibabat. Jend. Soeharto adalah lakon saat itu. Getaran gejolak dalam negeri terdengar oleh mereka yang sedang belajar di luar negeri. Mereka yang sedang tugas belajar, diwajibkan menjalani screening project oleh Kedubes: mengutuk Soekarno sebagai bagian dari konsekuensi G30S. Soeranto Pronowardojo, mahasiwa Univ. Lumumba, Rusia, mengaku menolak tegas. Bagaimana mungkin ia mengutuk Soekarno, yang jelas-jelas mengirim mereka demi kepentingan bangsa. Penolakan itu berakibat fatal. Mereka yang menolak, segala fasilitas kewarganegaraannya pun dicabut, termasuk paspor, dan dicap komunis serta dilarang kembali ke Indonesia. Harapan untuk “pulang” pupus. Mereka bagai gelandangan di negeri orang. Mereka yang berhasrat belajar di luar negeri demi kemajuan Tanah Air, bahkan dicap pengkhianat.

Namun mereka tak ingin diam. Mereka harus bersuara, berjuang, dan melawan. Mereka yang dinihilkan Tanah Airnya (pemerintah) sendiri, enggan begitu saja menerima. Nasionalisme menjadi energi tak pernah habis. Dan, Restoran Indonesia adalah wujud nyata perjuangan mereka. Melalui restoran ini mereka bertahan dari segala pengkerdilan Orba. A Umar Said dkk menganggap Restoran Indonesia tak lain adalah wadah perjuangan untuk tidak menyerah. Restoran Indonesia adalah bentuk keindonesiaan mereka.

Film r.i. ini tak pelak mengundang haru dan emosi. Sutradara A Dananjaya berhasil mengungkap-memublikasikan kesaksian para kaum eksil yang penuh semangat dan keharuan itu. Publik mendapati suara yang berada ribuan kilometer di belahan Eropa itu, lantang terdengar menentang hegemoni referensi sejarah Indonesia versi Orde Baru.

2

Membaca novel Pulang (2012) karya Leila S Chudori, saya seperti menangkap benang merah dari film dokumenter r.i. karya A Dananjaya. Imaji yang tertuang dalam narasi impresif novel Pulang menjadi utuh dan sempurna berkat data dan visualisasi film tersebut. Tentu saja penciptaan kedua karya seni tersebut mempunyai dalihnya masing-masing. Saya hanya ingin mengatakan, film r.i., adalah awal bagi saya memasuki dunia Pulang yang ketat, emosional, serta kaya akan referensi historis. Mengawinkan kedua karya ini akan membawa pemahaman pembaca dan penikmat film ini menjadi utuh dan komplit.

Novel dengan galian tiga peristiwa besar: Jakarta, 30 September 1965; Paris, Mei 1968; dan Indonesia, Mei 1998, memuat data dan rekaman gejolak sejarah. Membaca Pulang kita akan berpetualang di antara gebalau tokoh-tokoh yang berdiri dengan konflik yang menderanya. Ketegangan demi ketegangan tercipta dari curahan tokoh-tokoh yang dalam hidupnya merasa diburu, diliputi emosi, serta dibayangi stigma “kotor” yang melekat padanya.

Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam adalah tiga sumbu dari masing-masing konflik besar. Pilihan dan sikap Dimas Suryo terhadap pilihan politik di era 60an adalah deskripsi pelik—betapa politik adalah harga mati. Seorang yang mencoba netral dalam pilihan berpolitik, akhirnya terseret arus politik yang kacau. Dicap “kotor” menjadi konsekuensi politis-ideologis atas pilihan sikapnya tidak “berpihak”. Dimas bukan kanan, bukan pula kiri. Ia adalah orang yang merangkul kanan dan kiri. Namun, politik bukanlah ihwal kenetralan sikap. Politik adalah keberpihakan. Berpihak, demi orang banyak, dan atas kepentingan orang banyak, bukan sebuah kesalahan—menukil Goenawan Mohamad. Dimas, dengan berteman dekat dengan Hananto Prawiro, seorang pengikut realisme-sosialis, adalah kesalahan. Dimas akhirnya terkungkung sebagai eksil. Dimas pun tak sendirian: ada Nugroho, Risjaf, dan Tjai. Mereka tak sudi disebut korban. Mereka adalah patron perjuangan para eksil di Perancis, dengan Empat Pilar Tanah Air yang mereka banggakan. Sebuah restoran yang tak sekadar restoran. Restoran wadah perjuangan, yang ideologis, yang nasionalis.

Lintang Utara, sebagai putra sang eksil, adalah media intelektual penuturan dan pencarian kebenaran atas masa lalu ayahnya yang bertahun-tahun tertutup rapat. Lintang yang cerdas, aktraktif, kritis, sanggup memunculkan wacana sejarah secuil demi secuil hingga tuntas. Lintang tidak sendirian, ada Vivienne Deveraux, ibunya. Aktivis perempuan Perancis, yang juga mantan istri ayahnya. Misteri tragedi kehidupan Dimas Suryo perlahan terkuak. Ketika Lintang memutuskan untuk mencoba melakukan studi ilmiah tentang tragedi G30S, di sinilah cerita berkembang menjangkau wilayah konflik Orde Baru era 1998. Orde baru yang kropos, akhirnya memungkinkan celah penguakan segala kebancian peristiwa G30S. Melalui tokoh Segara Alam, putra Hananto Prawiro, petikan narasi ini memberi imaji politik sarat keberpihakan.

Jalinan cerita yang menjembatani dua tragedi besar di Indonesia ini, tak pelak membangkitkan emosi pembaca atas malpraktek sejarah, kebobrokan birokrasi, kebangkrutan ekonomi, hingga tragedi kemanusiaan. Tuntutan reformasi mahasiwa dan masyarakat luas, merembet pada kisruh politik yang pernah terjadi di Indonesia. Tuntutan reformasi itu berujung penembakan, penjarahan, pendiskreditan etnis, serta ambruknya sendi ekonomi Indonesia saat itu. Kemenangan Segara Alam dkk (mahasiswa), harus dibayar dengan sedemikian kasus pelanggaran HAM berat. Peluru angkatan darat meluncur bagai tak bertuan. Novel Pulang menarasikan sedemikian kisah duka manusia sebagai individu yang tertutup kabut kekuasaan dan egoisme politik. Novel ini ditutup dengan sajian penuh haru dan emosi atas “pulangnya” Dimas Suryo ke Indonesia, tepatnya di Karet. Di tempat yang ia wasiatkan. Ada air mata yang tiba-tiba meluncur tak tersisa di pipi pembaca. Novel ini sukses mengurai kesedihan dan emosi pembaca pada wilayah sarat pergulatan politik, sejarah, dan birokrasi.

3

Sejarah, seharusnya ditampilkan dari berbagai versi, dari berbagai sudut pandang”, tukas A Dananjaya dalam wawancara behind the scene film r.i.. Begitulah seharusnya sejarah itu dibentuk. Sejarah selalu menampilkan dua sisi yang berbeda. Tragedi G30S adalah tragedi sejarah dengan “ribuan mata”. Maka “ribuan mata” itulah kebenaran sejarah yang sebenarnya. Bukan sepasang, bukan pula dua pasang. Sudah saatnya melempar dalih “sejarah milik penguasa” ke tempat sampah. Sejarah harus dikupas dari pelbagai pendekatan, kesaksian, dan dokumen pendukung. Antara film r.i. dan novel Pulang, barangkali, berangkat dari pemikiran yang hampir sama: menampilkan sejarah dari mata yang paling minor dan diminorkan. Keduanya mencoba memberi perspektif lain agar sejarah tidak bopeng dan pincang.

Wacana membuka tabir pemakzulan kebenaran adalah agenda mendesak dan utama. Bangsa Indonesia sudah terlalu kenyang disumpeli kebohongan dan kepura-puraan. Kelahiran novel Pulang sepatutnya disambut tak sebatas kisah. Derai emosionalitas tokoh, serta tema sejarah yang diungkap melalui jalur literasi ini adalah angin segar bagi novel berkualitas di Indonesia. Novel yang berpijak pada keinginan mulia: menampilkan sejarah dengan wajahnya yang utuh dan komplit.[]



Ratu, Diana


Hari itu tanggal 31 Agustus 1997. Diana Frances Spencer, atau lebih terkenal disebut Lady Diana, bersama Dodi Al Fayed, ditemukan tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Dodi tentu bukan suaminya. Sebelum bercerai, Diana adalah seorang ratu Wales di kerajaan Inggris. Perceraiannya dengan Pangeran Charles memaksanya melepas gelar “Lady”.

Kematiannya adalah duka dunia. Saluran teve nasional, tak henti-henti menyorot prosesi pemakaman sang “mantan” ratu. Penyebab kematiannya tak pelak jadi sorotan. Kecelakaan, terkadang, tak semurni takdir Tuhan. Dugaan pun berkembang: sebagian kalangan menduga ada konspirasi. Kecurigaan menjadi wajar; kehidupan Diana adalah penghalang bagi mantan suaminya Pangeran Charles untuk menikah. Kesaksian ini diperkuat dengan terbitnya buku A Royal Duty karya Paul Burrel, pelayan setianya. Surat kabar The Mirror memuat berbagai kutipan surat Diana kepada Burrel:”Seseorang merencanakan kecelakaan pada mobil saya, rem blong, dan luka kepala yang serius, dengan tujuan memuluskan jalan bagi Charles untuk menikah.”

Kisah cinta memungkinkan berita menarik, namun, terkadang picisan. Romansa Lady Diana dan Pangeran Charles adalah mesin uang bagi pencari berita. Kabar yang beredar, kematian Diana akibat dikejar-kejar para pencuri gambar—paparazzi. Namun, kita tak perlu memandang rendah kisah picisan ala glamouritas keluarga kerajaan Inggris. Ada hal yang jauh lebih menarik tentang Diana: kepeduliannya pada rakyat.

Rakyat, sesuatu yang seolah-olah tuhan, yang seolah-olah besar dan harus selalu dikasihani, bagi Diana, adalah apa yang benar-benar ditemuinya. Rakyat tak lagi utopis seperti anggapan birokrat dan politikus. Diana menemui rakyatnya, menyalaminya, bertukar keluh kesah. Semasa masih memakai mahkota ratu, kepedulianya pada rakyatnya kerap mencubit otoritas Istana Buckingham. Diana mencintai rakyatnya secara nyata. Barangkali mirip pemerintahan gubernur Jakarta sekarang, Jokowi. Hal ini pula yang menarik simpati warga Inggris. Pangeran Charles, sang Raja, seolah menjadi bintang kelas dua di bawah Diana.

Kepedulian seorang Ratu, tidak sepenuhnya didukung oleh pihak kerajaan. Sikap arif sang ratu memicu konflik dengan pangeran. Gebrakan Diana dengan usaha menolong penderita korban AIDS menuai sanjungan dari pelbagai pihak. Tak hanya itu. Diana memiliki badan amal Leprossy Mission bagi penderita lepra, English National Bellet bagi para Tunawisma, serta, penentangannya terhadap ranjau darat. Kunjungannya ke Angola berbuah kampanye anti-ranjau. Angola sebagai negara terbanyak pengguna ranjau darat mendapat serangan kritik dari sang “ratu”. Pasca-pelepasan gelar Ratu Inggris pun, Diana masih tampil sebagai sosialita yang dekat dengan penderitaan rakyat.

Diana meninggal dengan kemisteriusan yang tak terkuak. Tragedi ini adalah luka bagi sejarah kerajaan Inggris. Feodalisme memang tak menghendaki saingan dalam kerajaan. Untuk itulah sistem ini kerap memicu perang saudara. Perempuan yang sudi dinikahi oleh pangeran atau raja adalah korban. Bagaimanapun, tugasnya hanya memberi keturunan yang cakap, cerdas, dan menawan. Ratu, sebaiknyalah duduk manis di dalam istana. Dan, tugas sebuah kerajaan (pemerintahan) memang kerap tidak melulu tentang rakyatnya. Dan Diana menentangnya. Kehidupan kerajaan justru membuatnya semakin jauh dengan rakyatnya. Menjadi seorang puteri tidaklah seindah yang kita bayangkan. “Panggil aku Diana, bukan Puteri Diana,” ucap Diana suatu ketika.

Buku Panggil Aku Diana Saja (Instink Publishing, 2005) suntingan Abd. Mukhit mungkin tidak sampai memberi kepuasan pada pembaca. Namun, iktikadnya menyampaikan sekelumit tragedi tentang Diana memberi sekelebat cerita tentang dunia kerajaan, kapitalisme media, serta feodalisme yang mengerikan. Diana adalah korban dari ketiganya. Semangat humanisme tidak membuat mereka yang peduli, tunduk di hadapan lawan-lawannya. Diana tak sempat menulis buku, tak juga meninggalkan catatan harian. Namun, ia menanggalkan sprit humanisme yang tinggi. Humanisme yang kerap dilupakan kaum elit. Keputusan ini memaksa ia lebih dulu pergi, dengan luka berat di kepala, serta dengan tanda tanya yang semakin beranak-pinak. []


Bertuhan ala Pi

Kita takkan mengenal Tuhan sampai ada yang mengenalkannya…”
(dikutip dari film Life of Pi, 2012)

Beruntunglah ia yang menemukan Tuhan berkat pencariannya sendiri. Seperti Ibrahim mencari dan akhirnya menemukan Tuhan. Ia, barangkali, akan meyakini iman atas-Nya bukan semata sebagai “sesuatu” yang diwariskan. Dan, bagi ia yang merasa mengenal Tuhan karena warisan, usahlah merasa malang. Kutipan di muka meneguhkan sebuah fase: kita harus dikenalkan agar bisa mengenal Tuhan.

Pi alias Piscine Molitor Patel, tokoh utama dalam film Life of Pi (2012) adaptasi novel karya Yann Martel, tentulah sebuah ironi. Aku belum beruntung menyentuh novel tersebut, tapi bersyukur menikmati versi visualnya. Ia hadir untuk menampar kekakuan pemaknaan sebuah keyakinan-keberagamaan.

Alkisah. Pi adalah korban kecelakaan kapal penumpang saat menempuh perjalanan dari India menuju Canada. Ia sekeluarga hendak hijrah setelah usaha kebun binatang yang dikelola sang ayah terancam bangkrut. Diboyonglah seluruh hewan penghuni kebun binatang ke dalam kapal. Perjalanan laut yang jauh dan membosankan, tentunya. Ombak yang dahsyat menggoncang kapal. Bencana selalu kerap tak terduga. Dan tenggelamlah kapal ke dasar lautan yang ganas dan gelap akibat badai. Kecuali Pi, seekor hyena, jerapah, harimau, dan monyet. Mereka selamat: berkumpul dalam satu sekoci dengan lima penumpang “berbeda”.
Pada mulanya aku meraba dan menduga kelanjutan film ini dengan bekal imajinasi yang pernah ditawarkan Gabriel Garcia Marquez, dalam novel jurnalstiknya Caldas (LkiS, 2002) yang kukhatamkan setahun silam. Kisah ini mirip meski berbeda. Aku pun melupakan novel magis itu dan kembali pada dunia Pi.

Bagai seleksi alam yang teramat normal. Kisah ini berlangsung tragis dan sadis: jerapah dan monyet dilahap hyena, dan hyena pun mati diterkam harimau. Kedua adegan tersebut berlangsung di hadapan Pi. Uh! Sebuah drama yang tragis! Hingga tersisalah Pi dan seekor harimau buas di tengah kepungan samudra pasifik.

Yang menarik justru bukan bagaimana caranya Pi bertahan hidup, seperti yang ditonjolkan dalam Caldas, akan tetapi, justru di sinilah pergulatan mencari Tuhan dimulai. Berbagai cobaan datang dan menggoncang stabilitas psikologis dan keimanan Pi. Ia tak tahu kepada Tuhan yang mana ia harus mengadu—semasa di India Pi memeluk tiga agama sekaligus: Hindu, Kristen, dan Islam, dan semua agama itu begitu ia yakini—, yang jelas, ia percaya, Tuhan tahu apa yang sedang menimpanya. Sekuat apa pun iman manusia, penderitaan kadang sanggup menjebolnya hingga runtuh. “Tuhan Maha-Akbar tapi mungkin manusia tak berbahagia,” tukas Goenawan Mohamad (debu, duka, dsb, 2011). Hingga akhirnya ia pun memasrahkan segenap tubuh dan jiwa bila memang harus mati di tengah samudra tanpa seorang pun kelak mengingatnya.

Sebuah kisah dengan akhir kematian selalu menyisakan kejengkelan yang terpendam. Dan beruntung Pi tidak mati diterkam ombak samudra atau taring tajam harimau—untuk mendeskripsikan kenapa Pi tidak sampai diterka harimau dalam satu sekoci yang mungil, pembaca mesti menonton film ini! ia justru terdampar di pantai Mexico, dan berhasil ditemukan warga. Sejak itulah keyakinan atas Tuhan menjadi satu, manunggaling kawula-Gusti, dalam jiwa Pi, serta alasan yang kokoh kenapa Ia harus dipercaya-diyakini. Ia meraih kebertuhanannya dengan sejumlah cerita dan derita. Sajak Amir Hamzah yang melegenda itu sanggup mewakilinya: “Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Pi memang “bertukar tangkap” dengan kemantapan kebertuhanannya. Ia termangsa “cakar-Nya” setelah terombang-ambing bagai petilan ranting bakau di tengah gelombang laut yang liar.

Film ini kutuntaskan tanpa sebuah kelegaan. Aku belum sempat mendiskusikannya dengan teman-teman. Aku kira film ini perlu ditonton oleh semua yang “beragama”. Aku pun tidak berjanji berani bersikap ala Pi. Ia menyindirku (kita) tentang kebertuhanan.

Di negeri ini, membebaskan setiap manusia untuk mencari “tuhan” sesuai pencariannya, seperti orang tua Pi membebaskan anak-anak mencari Tuhan sesuai keyakinannya, terlalu beresiko. Masyarakat cenderung memilih “memakaikan” agama sebagai cara mengenalkan Tuhan kepada setiap manusia sedari baru lahir. Akibatnya, kelak ketika mereka, anak-anak yang mendapat pewaris “keyakinan” tumbuh menjadi dewasa, dan pada suatu saat memilih hijrah ke “keyakinan” lain, masyarakat kerap merasa kaget, asing, dan cenderung mengecam. Maka keyakinan beragama lahir bagai sebuah doktrin militer: kaku, lurus, dikotomis. Tampaknya Pancasila pun masih kurang sakti mengurusi kebebasan berkeyakinan.

Aku merasa perlu mengabarkan interpretasiku tentang Pi kepada khalayak. Misi mewartakan kebertuhanan tentu teramat bombastis bagiku. Aku hanya ingin menyampaikan keberatanku yang kerap tak terucap atas “paksaan” keberagamaan yang kini ramai dikabarkan televisi. Dakwah di televisi kadang tak lebih dari dagelan ketoprak ala birokrat. Satu agama menyalahkan agama lain; kekerasan berdalih agama; dan segala pamrih bertopeng agama. Aku sungkan berlama-lama di hadapan pendakwah gadungan di televisi. Doa bercucuran air mata diiringi musik di hadapan kamera? Bah! Aku menjadi sentimentil melihat kepura-puraan itu. Dakwah buku, film, dan musik bagiku lebih sakti ketimbang tausiah ustaz.

Aku kerap terbakar amarah sendirian. Aku ingin urusan beragama di kembalikan ke individu secara utuh. Tak perlu penetrasi negara, masyarakat, ataupun pihak-pihak “pembela agama”. Apa guna beragama jika semakin menjauhkan manusia dari kepedulian dan kemanusiaan? Apa guna beragama jika semakin menjauhkan manusia dari kemajuan kualitas hidup dan intelektualisme. Ah, Pi, aku seperti mengulang orasi para reformis saja…[]

Halusinasi Mengisahkan Neraka

Judul: Lukisan Neraka
Penulis : Ryunosuke Akutagawa
Penerbit : Kansha Publishing
Terbit : Mei, 2013
Tebal : 200 halaman
ISBN : 978-602-179-612-2



Neraka, dalam konsep agama, dimaknai sebagi tempat pembalasan amalan buruk manusia setelah wafat. Buku Kamus Bahasa Indonesia (2008) mencatat neraka sebagai alam akhirat tempat (api) penyiksaan untuk orang yang berdosa. Buku berjudul Lukisan Neraka dan Cerpen Pilihan Lainnya (2013) karya Ryunosuke Akutagawa (1892 – 1927) memuat enam cerita pendek. Di antaranya mengisahkan ambisi manusia dalam “memotret” keadaan, kondisi, dan suasana neraka ke dalam sebuah lukisan. Lantas, seperti apakah lukisan neraka itu?

Konon, hiduplah seorang Pangeran Besar di Horikawa. Ia dikenal begitu kontroversial oleh rakyatnya. Segala tindak tanduknya kerap di luar perkiraan. Pangeran kerap mengajukan permintaan-permintaan aneh. Di antaranya, Pangeran pernah menyuruh putra tercintanya dikubur di bawah tiang penyangga jembatan tanpa tujuan yang jelas. Pangeran juga gemar meminta dibuatkan lukisan, terutama kepada Yoshihide, pelukis yang juga kontroversial, amoral, serta berperilaku kasar.

Yoshihide mentahbiskan dirinya sebagai pelukis nomor satu di Jepang. Setiap lukisan yang lahir dari tangannya selalu mengundang decak kagum dari masyarakat. Ia pun kerap melakukan aksi-aksi konyol sebelum melukis. “Pelukis yang belum matang tidaklah mungkin bisa memahami keindahan yang tersimpan dalam sesuatu yang buruk,” ujar Yoshihide (hlm. 16). Meski berpenampilan urakan, kasar, dan sombong, ia tetaplah manusia yang memiliki cinta kasih. Kepada anak gadis satu-satunya, yang menjadi pelayan muda Pangeran Besar, Yoshihide mencurahkan seluruh kasih sayang. Apapun akan ia lakukan demi menjaga putri kesayangannya.

Hingga pada satu kesempatan, Yoshihide diminta oleh Pangeran Besar untuk membuat sebuah lukisan neraka. Yoshihide menyanggupi, dengan syarat, Pangeran Besar bersedia membakar sebuah kereta dengan penutup daun jambe, berisi perempuan bangsawan, di hadapannya. Bukan Pangeran Besar namanya, jika tak sanggup memenuhi syarat tersebut. Maka disusunlah rencana pembakaran tersebut. Tiba saatnya malam ritual “gila” itu dilaksanakan.

Disaksikan Pangeran Besar dan Yoshihide, pembakaran kereta berlangsung mencekam. Suara erang perempuan dari dalam kereta yang terbakar! Tanpa Yoshihide ketahui, perempuan bangsawan yang ia minta sebagai syarat, justru putri kesayangannya. Bisa dibayangkan perasaan Yoshihide saat itu. Lalu, sanggupkah Yoshihide menyelesaikankan lukisan neraka itu?

***
Begitulah ciri khas karya Ryunosuke Akutagawa, sastrawan “antik” dari Jepang. Penulis novel dan cerita pendek dengan kecenderungan imajinasi kelam dan mencekam. Sebelumnya, terjemahan novel Kappa (Interprebook, 2009), sudah lebih dahulu beredar di Indonesia, juga menampakan kisah sarat halusinasi kacau dan mistis. Novel pendek berisi satire dan analisis sosial budaya Jepang. Selain karyanya, kisah hidup Ryunosuke juga tak kalah absurd dan menggentarkan.

Ryunosuke lahir dan tumbuh dari keluarga bermasalah. Ayahnya seorang pribadi yang temperamental dan ibunya pengindap schizofrenia akut, meninggal saat Ryunosuke berumur sepuluh tahun. Masalah psikologis keluarga memengaruhi perkembangan selera bacaannya, yang tertuju pada tema-tema ganjil dan gaib. Kegandrungan membaca buku-buku kuno, serta kesedihan hidup sedari usia muda, tercium jelas di setiap tulisannya.

Seperti halnya nasib sang ibu, Ryunosuke mengindap schizophrenia, halusinasi akut, dan kemerosotan mental. Tepat tanggal 24 Juli 1927, ia ditemukan tak bernyawa oleh istrinya karena minum terlalu banyak kalium sianida. Tak mengherankan jika buku ini menyajikan sederet imajinasi dengan kecenderungan deskripsi halusinatif.

Kisah seputar dimensi amoral (Lukisan Neraka), halusinasi kematian dan kisah mistis (Roda Gerigi, Dewi Agni), serta kesedihan masa kecil (Gerobak Dorong), menjadi pengabsahan atas tema-tema kelam Ryunosuke dalam dominan cerita. Kisah tersebut tak pelak mengundang tafsir pembaca atas dunia imajinasi penulis yang, bisa dikatakan, ”sadis”. Jonjon Johana, penerjemah buku ini, berhasil memindahkan “kengerian” cerita secara detail, tanpa mengesampingkan estetika sastra: salah satu kelemahan proyek penerjemahan buku.

Namun sayang, buku ini luput menyajikan pengantar bagi pembaca. Paling tidak, memberi sedikit ulasan karya dan membicarakan sepintas sejarah psikologis Ryunosuke. Kehadiran pengantar memungkinkan bagi pembaca awam memasang “kuda-kuda” mental sebelum masuk ke dunia halusinasi dan imajinasi kontradiktif ala Ryunosuke.[]

Dimuat di Solopos. 10 Agustus 2013