“Kita
takkan mengenal Tuhan sampai ada yang mengenalkannya…”
(dikutip
dari film Life of Pi, 2012)
Beruntunglah
ia yang menemukan Tuhan berkat pencariannya sendiri. Seperti Ibrahim
mencari dan akhirnya menemukan Tuhan. Ia, barangkali, akan meyakini
iman atas-Nya bukan semata sebagai “sesuatu” yang diwariskan.
Dan, bagi ia yang merasa mengenal Tuhan karena warisan, usahlah
merasa malang. Kutipan di muka meneguhkan sebuah fase: kita harus
dikenalkan agar bisa mengenal Tuhan.
Pi
alias Piscine Molitor Patel, tokoh utama dalam film Life of Pi
(2012) adaptasi novel karya Yann Martel, tentulah sebuah ironi. Aku
belum beruntung menyentuh novel tersebut, tapi bersyukur menikmati
versi visualnya. Ia hadir untuk menampar kekakuan pemaknaan sebuah
keyakinan-keberagamaan.
Alkisah.
Pi adalah korban kecelakaan kapal penumpang saat menempuh perjalanan
dari India menuju Canada. Ia sekeluarga hendak hijrah setelah usaha
kebun binatang yang dikelola sang ayah terancam bangkrut. Diboyonglah
seluruh hewan penghuni kebun binatang ke dalam kapal. Perjalanan laut
yang jauh dan membosankan, tentunya. Ombak yang dahsyat menggoncang
kapal. Bencana selalu kerap tak terduga. Dan tenggelamlah kapal ke
dasar lautan yang ganas dan gelap akibat badai. Kecuali Pi, seekor
hyena, jerapah, harimau, dan monyet. Mereka selamat: berkumpul dalam
satu sekoci dengan lima penumpang “berbeda”.
Pada
mulanya aku meraba dan menduga kelanjutan film ini dengan bekal
imajinasi yang pernah ditawarkan Gabriel Garcia Marquez, dalam novel
jurnalstiknya Caldas (LkiS, 2002) yang kukhatamkan setahun
silam. Kisah ini mirip meski berbeda. Aku pun melupakan novel magis
itu dan kembali pada dunia Pi.
Bagai
seleksi alam yang teramat normal. Kisah ini berlangsung tragis dan
sadis: jerapah dan monyet dilahap hyena, dan hyena pun mati diterkam
harimau. Kedua adegan tersebut berlangsung di hadapan Pi. Uh! Sebuah
drama yang tragis! Hingga tersisalah Pi dan seekor harimau buas di
tengah kepungan samudra pasifik.
Yang
menarik justru bukan bagaimana caranya Pi bertahan hidup, seperti
yang ditonjolkan dalam Caldas, akan tetapi, justru di sinilah
pergulatan mencari Tuhan dimulai. Berbagai cobaan datang dan
menggoncang stabilitas psikologis dan keimanan Pi. Ia tak tahu kepada
Tuhan yang mana ia harus mengadu—semasa di India Pi memeluk tiga
agama sekaligus: Hindu, Kristen, dan Islam, dan semua agama itu
begitu ia yakini—, yang jelas, ia percaya, Tuhan tahu apa yang
sedang menimpanya. Sekuat apa pun iman manusia, penderitaan kadang
sanggup menjebolnya hingga runtuh. “Tuhan Maha-Akbar tapi mungkin
manusia tak berbahagia,” tukas Goenawan Mohamad (debu, duka,
dsb, 2011). Hingga akhirnya ia pun memasrahkan segenap tubuh dan
jiwa bila memang harus mati di tengah samudra tanpa seorang pun kelak
mengingatnya.
Sebuah
kisah dengan akhir kematian selalu menyisakan kejengkelan yang
terpendam. Dan beruntung Pi tidak mati diterkam ombak samudra atau
taring tajam harimau—untuk mendeskripsikan kenapa Pi tidak sampai
diterka harimau dalam satu sekoci yang mungil, pembaca mesti menonton
film ini! ia justru terdampar di pantai Mexico, dan berhasil
ditemukan warga. Sejak itulah keyakinan atas Tuhan menjadi satu,
manunggaling kawula-Gusti, dalam jiwa Pi, serta alasan yang
kokoh kenapa Ia harus dipercaya-diyakini. Ia meraih kebertuhanannya
dengan sejumlah cerita dan derita. Sajak Amir Hamzah yang melegenda
itu sanggup mewakilinya: “Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa
aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Pi memang
“bertukar tangkap” dengan kemantapan kebertuhanannya. Ia
termangsa “cakar-Nya” setelah terombang-ambing bagai petilan
ranting bakau di tengah gelombang laut yang liar.
Film
ini kutuntaskan tanpa sebuah kelegaan. Aku belum sempat
mendiskusikannya dengan teman-teman. Aku kira film ini perlu ditonton
oleh semua yang “beragama”. Aku pun tidak berjanji berani
bersikap ala Pi. Ia menyindirku (kita) tentang kebertuhanan.
Di
negeri ini, membebaskan setiap manusia untuk mencari “tuhan”
sesuai pencariannya, seperti orang tua Pi membebaskan anak-anak
mencari Tuhan sesuai keyakinannya, terlalu beresiko. Masyarakat
cenderung memilih “memakaikan” agama sebagai cara mengenalkan
Tuhan kepada setiap manusia sedari baru lahir. Akibatnya, kelak
ketika mereka, anak-anak yang mendapat pewaris “keyakinan” tumbuh
menjadi dewasa, dan pada suatu saat memilih hijrah ke “keyakinan”
lain, masyarakat kerap merasa kaget, asing, dan cenderung mengecam.
Maka keyakinan beragama lahir bagai sebuah doktrin militer: kaku,
lurus, dikotomis. Tampaknya Pancasila pun masih kurang sakti
mengurusi kebebasan berkeyakinan.
Aku
merasa perlu mengabarkan interpretasiku tentang Pi kepada khalayak.
Misi mewartakan kebertuhanan tentu teramat bombastis bagiku. Aku
hanya ingin menyampaikan keberatanku yang kerap tak terucap atas
“paksaan” keberagamaan yang kini ramai dikabarkan televisi.
Dakwah di televisi kadang tak lebih dari dagelan ketoprak ala
birokrat. Satu agama menyalahkan agama lain; kekerasan berdalih
agama; dan segala pamrih bertopeng agama. Aku sungkan berlama-lama di
hadapan pendakwah gadungan di televisi. Doa bercucuran air mata
diiringi musik di hadapan kamera? Bah! Aku menjadi sentimentil
melihat kepura-puraan itu. Dakwah buku, film, dan musik bagiku lebih
sakti ketimbang tausiah ustaz.
Aku
kerap terbakar amarah sendirian. Aku ingin urusan beragama di
kembalikan ke individu secara utuh. Tak perlu penetrasi negara,
masyarakat, ataupun pihak-pihak “pembela agama”. Apa guna
beragama jika semakin menjauhkan manusia dari kepedulian dan
kemanusiaan? Apa guna beragama jika semakin menjauhkan manusia dari
kemajuan kualitas hidup dan intelektualisme. Ah, Pi, aku seperti
mengulang orasi para reformis saja…[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar