Selasa, 13 Agustus 2013

Bertuhan ala Pi

Kita takkan mengenal Tuhan sampai ada yang mengenalkannya…”
(dikutip dari film Life of Pi, 2012)

Beruntunglah ia yang menemukan Tuhan berkat pencariannya sendiri. Seperti Ibrahim mencari dan akhirnya menemukan Tuhan. Ia, barangkali, akan meyakini iman atas-Nya bukan semata sebagai “sesuatu” yang diwariskan. Dan, bagi ia yang merasa mengenal Tuhan karena warisan, usahlah merasa malang. Kutipan di muka meneguhkan sebuah fase: kita harus dikenalkan agar bisa mengenal Tuhan.

Pi alias Piscine Molitor Patel, tokoh utama dalam film Life of Pi (2012) adaptasi novel karya Yann Martel, tentulah sebuah ironi. Aku belum beruntung menyentuh novel tersebut, tapi bersyukur menikmati versi visualnya. Ia hadir untuk menampar kekakuan pemaknaan sebuah keyakinan-keberagamaan.

Alkisah. Pi adalah korban kecelakaan kapal penumpang saat menempuh perjalanan dari India menuju Canada. Ia sekeluarga hendak hijrah setelah usaha kebun binatang yang dikelola sang ayah terancam bangkrut. Diboyonglah seluruh hewan penghuni kebun binatang ke dalam kapal. Perjalanan laut yang jauh dan membosankan, tentunya. Ombak yang dahsyat menggoncang kapal. Bencana selalu kerap tak terduga. Dan tenggelamlah kapal ke dasar lautan yang ganas dan gelap akibat badai. Kecuali Pi, seekor hyena, jerapah, harimau, dan monyet. Mereka selamat: berkumpul dalam satu sekoci dengan lima penumpang “berbeda”.
Pada mulanya aku meraba dan menduga kelanjutan film ini dengan bekal imajinasi yang pernah ditawarkan Gabriel Garcia Marquez, dalam novel jurnalstiknya Caldas (LkiS, 2002) yang kukhatamkan setahun silam. Kisah ini mirip meski berbeda. Aku pun melupakan novel magis itu dan kembali pada dunia Pi.

Bagai seleksi alam yang teramat normal. Kisah ini berlangsung tragis dan sadis: jerapah dan monyet dilahap hyena, dan hyena pun mati diterkam harimau. Kedua adegan tersebut berlangsung di hadapan Pi. Uh! Sebuah drama yang tragis! Hingga tersisalah Pi dan seekor harimau buas di tengah kepungan samudra pasifik.

Yang menarik justru bukan bagaimana caranya Pi bertahan hidup, seperti yang ditonjolkan dalam Caldas, akan tetapi, justru di sinilah pergulatan mencari Tuhan dimulai. Berbagai cobaan datang dan menggoncang stabilitas psikologis dan keimanan Pi. Ia tak tahu kepada Tuhan yang mana ia harus mengadu—semasa di India Pi memeluk tiga agama sekaligus: Hindu, Kristen, dan Islam, dan semua agama itu begitu ia yakini—, yang jelas, ia percaya, Tuhan tahu apa yang sedang menimpanya. Sekuat apa pun iman manusia, penderitaan kadang sanggup menjebolnya hingga runtuh. “Tuhan Maha-Akbar tapi mungkin manusia tak berbahagia,” tukas Goenawan Mohamad (debu, duka, dsb, 2011). Hingga akhirnya ia pun memasrahkan segenap tubuh dan jiwa bila memang harus mati di tengah samudra tanpa seorang pun kelak mengingatnya.

Sebuah kisah dengan akhir kematian selalu menyisakan kejengkelan yang terpendam. Dan beruntung Pi tidak mati diterkam ombak samudra atau taring tajam harimau—untuk mendeskripsikan kenapa Pi tidak sampai diterka harimau dalam satu sekoci yang mungil, pembaca mesti menonton film ini! ia justru terdampar di pantai Mexico, dan berhasil ditemukan warga. Sejak itulah keyakinan atas Tuhan menjadi satu, manunggaling kawula-Gusti, dalam jiwa Pi, serta alasan yang kokoh kenapa Ia harus dipercaya-diyakini. Ia meraih kebertuhanannya dengan sejumlah cerita dan derita. Sajak Amir Hamzah yang melegenda itu sanggup mewakilinya: “Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Pi memang “bertukar tangkap” dengan kemantapan kebertuhanannya. Ia termangsa “cakar-Nya” setelah terombang-ambing bagai petilan ranting bakau di tengah gelombang laut yang liar.

Film ini kutuntaskan tanpa sebuah kelegaan. Aku belum sempat mendiskusikannya dengan teman-teman. Aku kira film ini perlu ditonton oleh semua yang “beragama”. Aku pun tidak berjanji berani bersikap ala Pi. Ia menyindirku (kita) tentang kebertuhanan.

Di negeri ini, membebaskan setiap manusia untuk mencari “tuhan” sesuai pencariannya, seperti orang tua Pi membebaskan anak-anak mencari Tuhan sesuai keyakinannya, terlalu beresiko. Masyarakat cenderung memilih “memakaikan” agama sebagai cara mengenalkan Tuhan kepada setiap manusia sedari baru lahir. Akibatnya, kelak ketika mereka, anak-anak yang mendapat pewaris “keyakinan” tumbuh menjadi dewasa, dan pada suatu saat memilih hijrah ke “keyakinan” lain, masyarakat kerap merasa kaget, asing, dan cenderung mengecam. Maka keyakinan beragama lahir bagai sebuah doktrin militer: kaku, lurus, dikotomis. Tampaknya Pancasila pun masih kurang sakti mengurusi kebebasan berkeyakinan.

Aku merasa perlu mengabarkan interpretasiku tentang Pi kepada khalayak. Misi mewartakan kebertuhanan tentu teramat bombastis bagiku. Aku hanya ingin menyampaikan keberatanku yang kerap tak terucap atas “paksaan” keberagamaan yang kini ramai dikabarkan televisi. Dakwah di televisi kadang tak lebih dari dagelan ketoprak ala birokrat. Satu agama menyalahkan agama lain; kekerasan berdalih agama; dan segala pamrih bertopeng agama. Aku sungkan berlama-lama di hadapan pendakwah gadungan di televisi. Doa bercucuran air mata diiringi musik di hadapan kamera? Bah! Aku menjadi sentimentil melihat kepura-puraan itu. Dakwah buku, film, dan musik bagiku lebih sakti ketimbang tausiah ustaz.

Aku kerap terbakar amarah sendirian. Aku ingin urusan beragama di kembalikan ke individu secara utuh. Tak perlu penetrasi negara, masyarakat, ataupun pihak-pihak “pembela agama”. Apa guna beragama jika semakin menjauhkan manusia dari kepedulian dan kemanusiaan? Apa guna beragama jika semakin menjauhkan manusia dari kemajuan kualitas hidup dan intelektualisme. Ah, Pi, aku seperti mengulang orasi para reformis saja…[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar