Hari
itu tanggal 31 Agustus 1997. Diana Frances Spencer, atau lebih
terkenal disebut Lady
Diana, bersama Dodi Al Fayed, ditemukan tewas dalam sebuah kecelakaan
mobil. Dodi tentu bukan suaminya. Sebelum bercerai, Diana adalah
seorang ratu Wales di kerajaan Inggris. Perceraiannya dengan Pangeran
Charles memaksanya melepas gelar “Lady”.
Kematiannya
adalah duka dunia. Saluran teve nasional, tak henti-henti menyorot
prosesi pemakaman sang “mantan” ratu. Penyebab kematiannya tak
pelak jadi sorotan. Kecelakaan, terkadang, tak semurni takdir Tuhan.
Dugaan pun berkembang: sebagian kalangan menduga ada konspirasi.
Kecurigaan menjadi wajar; kehidupan Diana adalah penghalang bagi
mantan suaminya Pangeran Charles untuk menikah. Kesaksian ini
diperkuat dengan terbitnya buku A
Royal Duty karya Paul
Burrel, pelayan setianya. Surat kabar The
Mirror memuat
berbagai kutipan surat Diana kepada Burrel:”Seseorang merencanakan
kecelakaan pada mobil saya, rem blong, dan luka kepala yang serius,
dengan tujuan memuluskan jalan bagi Charles untuk menikah.”
Kisah
cinta memungkinkan berita menarik, namun, terkadang picisan. Romansa
Lady Diana dan Pangeran Charles adalah mesin uang bagi pencari
berita. Kabar yang beredar, kematian Diana akibat dikejar-kejar para
pencuri gambar—paparazzi.
Namun, kita tak perlu memandang rendah kisah picisan ala glamouritas
keluarga kerajaan Inggris. Ada hal yang jauh lebih menarik tentang
Diana: kepeduliannya pada rakyat.
Rakyat,
sesuatu yang seolah-olah tuhan, yang seolah-olah besar dan harus
selalu dikasihani, bagi Diana, adalah apa yang benar-benar
ditemuinya. Rakyat tak lagi utopis seperti anggapan birokrat dan
politikus. Diana menemui rakyatnya, menyalaminya, bertukar keluh
kesah. Semasa masih memakai mahkota ratu, kepedulianya pada rakyatnya
kerap mencubit otoritas Istana Buckingham. Diana mencintai rakyatnya
secara nyata. Barangkali mirip pemerintahan gubernur Jakarta
sekarang, Jokowi. Hal ini pula yang menarik simpati warga Inggris.
Pangeran Charles, sang Raja, seolah menjadi bintang kelas dua di
bawah Diana.
Kepedulian
seorang Ratu, tidak sepenuhnya didukung oleh pihak kerajaan. Sikap
arif sang ratu memicu konflik dengan pangeran. Gebrakan Diana dengan
usaha menolong penderita korban AIDS menuai sanjungan dari pelbagai
pihak. Tak hanya itu. Diana memiliki badan amal Leprossy
Mission bagi
penderita lepra, English
National Bellet bagi
para Tunawisma, serta, penentangannya terhadap ranjau darat.
Kunjungannya ke Angola berbuah kampanye anti-ranjau. Angola sebagai
negara terbanyak pengguna ranjau darat mendapat serangan kritik dari
sang “ratu”. Pasca-pelepasan gelar Ratu Inggris pun, Diana masih
tampil sebagai sosialita yang dekat dengan penderitaan rakyat.
Diana
meninggal dengan kemisteriusan yang tak terkuak. Tragedi ini adalah
luka bagi sejarah kerajaan Inggris. Feodalisme memang tak menghendaki
saingan dalam kerajaan. Untuk itulah sistem ini kerap memicu perang
saudara. Perempuan yang sudi dinikahi oleh pangeran atau raja adalah
korban. Bagaimanapun, tugasnya hanya memberi keturunan yang cakap,
cerdas, dan menawan. Ratu, sebaiknyalah duduk manis di dalam istana.
Dan, tugas sebuah kerajaan (pemerintahan) memang kerap tidak melulu
tentang rakyatnya. Dan Diana menentangnya. Kehidupan kerajaan justru
membuatnya semakin jauh dengan rakyatnya. Menjadi seorang puteri
tidaklah seindah yang kita bayangkan. “Panggil aku Diana, bukan
Puteri Diana,” ucap Diana suatu ketika.
Buku Panggil Aku Diana Saja (Instink Publishing, 2005) suntingan Abd. Mukhit mungkin tidak sampai memberi kepuasan pada pembaca. Namun, iktikadnya menyampaikan sekelumit tragedi tentang Diana memberi sekelebat cerita tentang dunia kerajaan, kapitalisme media, serta feodalisme yang mengerikan. Diana adalah korban dari ketiganya. Semangat humanisme tidak membuat mereka yang peduli, tunduk di hadapan lawan-lawannya. Diana tak sempat menulis buku, tak juga meninggalkan catatan harian. Namun, ia menanggalkan sprit humanisme yang tinggi. Humanisme yang kerap dilupakan kaum elit. Keputusan ini memaksa ia lebih dulu pergi, dengan luka berat di kepala, serta dengan tanda tanya yang semakin beranak-pinak. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar