:dari
film r.i. hingga novel Pulang
1
Pada
mulanya berawal dari sebuah film r.i. (2011) sutradara A
Dananjaya. Film ini mewartakan petilan sejarah Indonesia yang
tercecer di belahan Eropa. Tragedi G30S adalah inspirasi pantang
kering dari pelbagai sudut pandang: ekonomi, politik, kesenian,
kesastraan, hingga kebudayaan. Judul film ini, r.i., memancing
gairah menduga. Menempatkan singkatan pakem menjadi judul
multitafsir. Mengacu konten film ini, penulis pastikan, maksudnya
Restoran Indonesia: restoran di titik nol kilometer negara Perancis.
Restoran
Indonesia bukan sembarang restoran. Ia lahir dari luka sejarah dan
tikaman politik. Tragedi G30S menjadi kelahiran duka tak tertebus.
Mereka: A Umar Said, F Cisca Fanggidaej, Ibrahim Isa, Soejoso,
Soeranto Pronowardojo, Windrajati Soekowardojo, JJ Kusni, Sobron
Aidit, dan lainnya, bersaksi dalam film tersebut demi suara yang
jujur, yang sanggup menembus batas waktu dan kekuasaan. Kesaksian
mereka adalah cerita tak terbantahkan atas kebohongan sejarah versi
pemerintah Orde Baru.
Alkisah,
banyak pemuda dikirim belajar ke luar negeri semasa pemerintahan
Soekarno. Mahasiswa, seniman, wartawan, serta pemuda berprestasi
lainnya, menjadi tumpuan pembangunan Indonesia saat itu. Rezim
berganti dan diawali konflik politik bergelimang darah. Pemberontakan
G30S yang dituduhkan kepada PKI menyebabkan konflik di segala bidang.
De-Soekarnoisasi pun terjadi. Segala yang “kiri”, dan yang tidak
mengikuti anjuran Orde Baru, harus dibabat. Jend. Soeharto adalah
lakon saat itu. Getaran gejolak dalam negeri terdengar oleh mereka
yang sedang belajar di luar negeri. Mereka yang sedang tugas belajar,
diwajibkan menjalani screening project oleh Kedubes: mengutuk
Soekarno sebagai bagian dari konsekuensi G30S. Soeranto Pronowardojo,
mahasiwa Univ. Lumumba, Rusia, mengaku menolak tegas. Bagaimana
mungkin ia mengutuk Soekarno, yang jelas-jelas mengirim mereka demi
kepentingan bangsa. Penolakan itu berakibat fatal. Mereka yang
menolak, segala fasilitas kewarganegaraannya pun dicabut, termasuk
paspor, dan dicap komunis serta dilarang kembali ke Indonesia.
Harapan untuk “pulang” pupus. Mereka bagai gelandangan di negeri
orang. Mereka yang berhasrat belajar di luar negeri demi kemajuan
Tanah Air, bahkan dicap pengkhianat.
Namun
mereka tak ingin diam. Mereka harus bersuara, berjuang, dan melawan.
Mereka yang dinihilkan Tanah Airnya (pemerintah) sendiri, enggan
begitu saja menerima. Nasionalisme menjadi energi tak pernah habis.
Dan, Restoran Indonesia adalah wujud nyata perjuangan mereka. Melalui
restoran ini mereka bertahan dari segala pengkerdilan Orba. A Umar
Said dkk menganggap Restoran Indonesia tak lain adalah wadah
perjuangan untuk tidak menyerah. Restoran Indonesia adalah bentuk
keindonesiaan mereka.
Film
r.i. ini tak pelak mengundang haru dan emosi. Sutradara A
Dananjaya berhasil mengungkap-memublikasikan kesaksian para kaum
eksil yang penuh semangat dan keharuan itu. Publik mendapati suara
yang berada ribuan kilometer di belahan Eropa itu, lantang terdengar
menentang hegemoni referensi sejarah Indonesia versi Orde Baru.
2
Membaca
novel Pulang (2012) karya Leila S Chudori, saya seperti
menangkap benang merah dari film dokumenter r.i. karya A Dananjaya.
Imaji yang tertuang dalam narasi impresif novel Pulang menjadi utuh
dan sempurna berkat data dan visualisasi film tersebut. Tentu saja
penciptaan kedua karya seni tersebut mempunyai dalihnya
masing-masing. Saya hanya ingin mengatakan, film r.i., adalah
awal bagi saya memasuki dunia Pulang yang ketat, emosional,
serta kaya akan referensi historis. Mengawinkan kedua karya ini akan
membawa pemahaman pembaca dan penikmat film ini menjadi utuh dan
komplit.
Novel
dengan galian tiga peristiwa besar: Jakarta, 30 September 1965;
Paris, Mei 1968; dan Indonesia, Mei 1998, memuat data dan rekaman
gejolak sejarah. Membaca Pulang kita akan berpetualang di
antara gebalau tokoh-tokoh yang berdiri dengan konflik yang
menderanya. Ketegangan demi ketegangan tercipta dari curahan
tokoh-tokoh yang dalam hidupnya merasa diburu, diliputi emosi, serta
dibayangi stigma “kotor” yang melekat padanya.
Dimas
Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam adalah tiga sumbu dari
masing-masing konflik besar. Pilihan dan sikap Dimas Suryo terhadap
pilihan politik di era 60an adalah deskripsi pelik—betapa politik
adalah harga mati. Seorang yang mencoba netral dalam pilihan
berpolitik, akhirnya terseret arus politik yang kacau. Dicap “kotor”
menjadi konsekuensi politis-ideologis atas pilihan sikapnya tidak
“berpihak”. Dimas bukan kanan, bukan pula kiri. Ia adalah orang
yang merangkul kanan dan kiri. Namun, politik bukanlah ihwal
kenetralan sikap. Politik adalah keberpihakan. Berpihak, demi orang
banyak, dan atas kepentingan orang banyak, bukan sebuah
kesalahan—menukil Goenawan Mohamad. Dimas, dengan berteman dekat
dengan Hananto Prawiro, seorang pengikut realisme-sosialis, adalah
kesalahan. Dimas akhirnya terkungkung sebagai eksil. Dimas pun tak
sendirian: ada Nugroho, Risjaf, dan Tjai. Mereka tak sudi disebut
korban. Mereka adalah patron perjuangan para eksil di Perancis,
dengan Empat Pilar Tanah Air yang mereka banggakan. Sebuah restoran
yang tak sekadar restoran. Restoran wadah perjuangan, yang ideologis,
yang nasionalis.
Lintang
Utara, sebagai putra sang eksil, adalah media intelektual penuturan
dan pencarian kebenaran atas masa lalu ayahnya yang bertahun-tahun
tertutup rapat. Lintang yang cerdas, aktraktif, kritis, sanggup
memunculkan wacana sejarah secuil demi secuil hingga tuntas. Lintang
tidak sendirian, ada Vivienne Deveraux, ibunya. Aktivis perempuan
Perancis, yang juga mantan istri ayahnya. Misteri tragedi kehidupan
Dimas Suryo perlahan terkuak. Ketika Lintang memutuskan untuk mencoba
melakukan studi ilmiah tentang tragedi G30S, di sinilah cerita
berkembang menjangkau wilayah konflik Orde Baru era 1998. Orde baru
yang kropos, akhirnya memungkinkan celah penguakan segala kebancian
peristiwa G30S. Melalui tokoh Segara Alam, putra Hananto Prawiro,
petikan narasi ini memberi imaji politik sarat keberpihakan.
Jalinan
cerita yang menjembatani dua tragedi besar di Indonesia ini, tak
pelak membangkitkan emosi pembaca atas malpraktek sejarah, kebobrokan
birokrasi, kebangkrutan ekonomi, hingga tragedi kemanusiaan. Tuntutan
reformasi mahasiwa dan masyarakat luas, merembet pada kisruh politik
yang pernah terjadi di Indonesia. Tuntutan reformasi itu berujung
penembakan, penjarahan, pendiskreditan etnis, serta ambruknya sendi
ekonomi Indonesia saat itu. Kemenangan Segara Alam dkk (mahasiswa),
harus dibayar dengan sedemikian kasus pelanggaran HAM berat. Peluru
angkatan darat meluncur bagai tak bertuan. Novel Pulang
menarasikan sedemikian kisah duka manusia sebagai individu yang
tertutup kabut kekuasaan dan egoisme politik. Novel ini ditutup
dengan sajian penuh haru dan emosi atas “pulangnya” Dimas Suryo
ke Indonesia, tepatnya di Karet. Di tempat yang ia wasiatkan. Ada air
mata yang tiba-tiba meluncur tak tersisa di pipi pembaca. Novel ini
sukses mengurai kesedihan dan emosi pembaca pada wilayah sarat
pergulatan politik, sejarah, dan birokrasi.
3
“Sejarah,
seharusnya ditampilkan dari berbagai versi, dari berbagai sudut
pandang”, tukas A Dananjaya dalam wawancara behind the scene film
r.i.. Begitulah seharusnya sejarah itu dibentuk. Sejarah
selalu menampilkan dua sisi yang berbeda. Tragedi G30S adalah tragedi
sejarah dengan “ribuan mata”. Maka “ribuan mata” itulah
kebenaran sejarah yang sebenarnya. Bukan sepasang, bukan pula dua
pasang. Sudah saatnya melempar dalih “sejarah milik penguasa” ke
tempat sampah. Sejarah harus dikupas dari pelbagai pendekatan,
kesaksian, dan dokumen pendukung. Antara film r.i. dan novel
Pulang, barangkali, berangkat dari pemikiran yang hampir sama:
menampilkan sejarah dari mata yang paling minor dan diminorkan.
Keduanya mencoba memberi perspektif lain agar sejarah tidak bopeng
dan pincang.
Wacana
membuka tabir pemakzulan kebenaran adalah agenda mendesak dan utama.
Bangsa Indonesia sudah terlalu kenyang disumpeli kebohongan dan
kepura-puraan. Kelahiran novel Pulang sepatutnya disambut tak
sebatas kisah. Derai emosionalitas tokoh, serta tema
sejarah yang diungkap melalui jalur literasi ini adalah angin segar
bagi novel berkualitas di Indonesia. Novel yang berpijak pada
keinginan mulia: menampilkan sejarah dengan wajahnya yang utuh dan
komplit.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar