Senin, 26 Agustus 2013

Nilailah Buku dari Sampulnya!


Mustahil bila ketertarikan kita pada buku tidak ditentukan oleh sampul. Sampul kerap merangsang imaji meski persentuhan belum terjadi. Sampul membawa persepsi meski kerap tak sesuai harapan. Aku kerap mendakwa isi buku dari tampilan sampul. Logikaku sederhana: buku yang bermutu tentulah tidak menyepelekan sampul. Perspektifku yang “picik” inilah, barangkali, yang membuatku enggan bersentuhan dengan buku-buku bersampul pop, apalagi porno.

Imaji memang kerap tergoda meraba halaman demi halaman roman-roman populer, namun segera kupungkasi. Ini bisa jadi sebuah kekeliruan. Akibatnya, aku kerap menafikan buku-buku, yang di eranya, laris manis menjual kisah cinta termehek-mehek dengan tampilan sampul aduhai. Buku macam roman Freddy S, Mira W, Marga T, hingga S. Mara Gd, hampir-hampir tak pernah mampir di genggamanku. Begitu saja berlalu. Aku kerap mendakwa buku dari sampulnya. “Kekeliruan”—meski belum sepenuhnya kuyakini—itu ingin segera kupungkasi.

Aku mulai menjamah roman-roman popular, yang aku kira agak lawas meski terbit medio 1990-an. Kabar dari kawan-kawan Solo yang hendak mengingat ketenaran Marga T jadi alasan logis: aku tak mau tertinggal untuk urusan sastra! Kuawali dengan sebuah roman berjudul Sonata Masa Lalu (Gramedia Pustaka Utama, 1991) garapan Marga T. Buku ini kupinjam dari perpustakaan daerah Semarang. Aku memang belum bernafsu memiliki atau mengoleksi buku dengan taburan sampul populer. Barangkali permulaan ini bisa merayuku untuk berhasrat memiliki buku ber-genre populer. Aku membaca dengan sebuah pemakluman. Aku tidak buleh menyepelekan buku dengan alasan apapun. Sabar kuperhatikan lembaran lusuh buku ini hingga khatam dalam semalam. Ah, ada hasrat yang tiba-tiba saja membuhul. Buku ini menggelitik meski konvensional.

Kisah berawal dari sebuah konflik antara Anita, Dr Dawus Rasid, Andi Lumintang alias Andi Barnabi, Charloti alias Loti alias Titi. Anita perempuan aduhai meski terjerat di antara dilema cinta dan perasaan. Ia menjalin cinta dengan Andi hingga berbuah cinta di dalam kandungan. Di lain pihak, ia justru dijodohkan dengan Dawus, intelektual jenius lagi kaya tapi kaku. Andi apatis menilai sebuah keromantisan. Kisah cinta Anita dan Andi mesti putus karena terjerat perjodohan. Kemiskinan jadi dalih tak terbantahkan bagi Anita untuk menerima pinangan Darwus, sosok pemuda yang gagap mencari jodoh sendiri.

Hingga terbongkarlah ketidakperawanan Anita, yang akhirnya diketahui pula oleh Darwus bahwa ia sedang mengandung anak Andi. Darwus merasa bagai manusia pandir di hadapan Anita: ia tidak merasa membenihi tapi dipaksa menanggung akibat hubungan cinta Anita dan Andi. Kehamilan Anita bagai duri dalam daging. Hingga kelak lahir seorang perempuan mungil, Darwus tetap terbakar dalam api kekecewaan. Charloti, si bayi mungil yang tumbuh sebagai gadis intelek bagai tak pernah merasa sentuhan mesra seorang ayah. Anita dan Darwus tak pernah sekalipun mengijinkan Andi hadir dalam riwayat Charloti. Darwus dingin juga acuh pada anak yang bukan anaknya.

Di lain pihak, Andi, sebagai ayah merasa hidupnya suram setelah tak berkesempatan mengakui anak yang diidamkannya. Andi menjelma kriminalis akibat beban psikologis yang berat. Andi pembunuh sekaligus pemerkosa yang menggemparkan seantero Jakarta. Kesedihan seperti apa lagikah yang lebih hebat dari seorang ayah selain tidak diperkenankan mengakui anaknya sendiri? Begitulah kesedihan Andi yang pilu. Hingga Charloti beranjak gadis, misteri siapa ayahnya sebenarnya tak pernah terkuak. Roman ini hidup dengan polemik antara pencarian Charloti tehadap sang ayah; luka hati Anita karena dicap pengkhianat oleh Darwus; serta kekecewaan Darwus atas pernikahannya yang cacat.

Kritik dan Perspektif

Karya sastra, dalam bentuknya yang beraneka ragam, tetap saja menyimpan sebuah nilai. Sastra hadir sebagai sebuah refleksi kehidupan, gagasan, serta pandangan dari sang pengarang. Meski bergelimang konflik keluarga dan percintaan, Marga T tak khilaf menyisipkan pandangan—untuk tidak menyebutnya kritik—tentang kondisi masyarakat Indonesia. Jejak pemikiran itu muncul dari tokoh Darwus. Ada prinsip hidup visioner yang terkandung dalam pribadi Darwus meski dibalut sikap kaku dan berpegang pada dasar kelogisan.

Darwus adalah manusia dengan pengharapan dan keingintahuan yang dahsyat. Ia optimis, visioner, serta memiliki harga diri yang tinggi. Ia mirip para pemikir kebangsaan Indonesia tempo dulu. Dalam hal intelektualisme, ia mengingatkan kita pada optimisme ala Soekarno yang menjunjung tinggi idealisme dan harkat manusia Indonesia. Sebagai seorang dokter yang mengharap lahirnya generasi para periset, penemu. Ia kerap memimbayangkan sanggup menemukan sesuatu yang benar-benar baru: original, hingga pada akhirnya namanya kelak diabadikan di sana. Rasid syndrom! Gagasan Darwus menjadi pencerah roman ini. Darwus mengritik Indonesia atas ketertinggalannya dari bangsa Asia lainnya. Darwus menjuluki Indonesia sebagai “pelosok bumi yang paling santai” (hlm. 134). Kekecewaannya bermuara pada itikad mental Indonesia yang gemar memakai penemuan bangsa asing tanpa berorientasi menemu penemuan secara mandiri.

“Coba, dari kamfer kakus sampai penanak nasi listrik, sampai mainan anak, sampai mobil, sampai seribu satu perabot rumah tangga, semuanya buatan Jepang. Lihat saja nampanmu dan alat-alat minum di atasnya!” (hlm.138).

Kemarahan Darwus adalah kemarahan berdalih nasionalisme meski tak benderang. Intelektual memberi harga diri agar berpegang pada kekuatan diri secara mandiri. Gagasan ini serupa ajakan Soekarno, Trisakti: berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi; bebas dalam politik; berkepribadian dalam kebudayaan. Andai kita hitung segala benda yang kita pakai dan ada di sekitar kita, tentulah kita akan tercengang betapa kita adalah tukang pakai. Kita memang jarang “ditampar” lewat kritik hingga tersadarkan. Indonesia memang merdeka tapi belum lepas dari ketergantungan bangsa lain. Mental terjajah belum sepenuhnya hilang dari pemikiran manusia Indonesia. masyarakat kita kerap pesimis dan mudah putus asa.

Maka keminderan pada harga diri sebagai bangsa Timur, negara kepulauan yang besar, serta kebebalan sebagai inlander musti dibuang jauh-jauh. Marga T mengritik kesantaian masyarakat kita dalam mengejar perkembangan ilmu pengetahuan dunia. “Kita tidak boleh membiarkan orang lain memberi terus. Menerima melulu, pada suatu saat hal itu tidak lagi merupakan sedekah, tapi penghinaan.” (hlm.143). Kita memang harus mulai merasa malu jika terus-menerus menerima pemberian. Globalisasi menyerang tanpa ampun, dan kita terkapar tak berdaya menahan gebrakan tehnologi yang mau tak mau merajai kehidupan kita. Tehnologi kerap menindih intelektualisme. Manusia bukan tambah cerdas ketika terpenuhi kebutuhan ipteknya, malah cenderung pemalas. Ironis. Ada apa dengan kita?

Aku berharap menemukan buku Marga T lainnya meski masih sungkan mengimajinasikan sampul-sampulnya yang, kalau tak salah ingat, mirip poster iklan bioskop sepuluh tahun silam: bernafsu dan menggoda! Memungut percikan gagasan kritis di antara gelimang kisah populer percintaan karangan Marga T, memungkinkan aku menikmati sajian percintaan berbumbu gagasan. Sonata Masa Lalu memang membujukku mengingat kisah-kisah sinetron di televisi. Tapi, percikan perspektif dan percikan gagasan barangkali tak pernah tampil di televisi, apalagi di sinetron. Rasanya aku perlu meminta maaf kepada Marga T atas dugaanku semula pada novel-novelnya, hanya karena sebuah sampul…***  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar