Mustahil bila ketertarikan kita pada buku tidak
ditentukan oleh sampul. Sampul kerap merangsang imaji meski persentuhan belum
terjadi. Sampul membawa persepsi meski kerap tak sesuai harapan. Aku kerap
mendakwa isi buku dari tampilan sampul. Logikaku sederhana: buku yang bermutu
tentulah tidak menyepelekan sampul. Perspektifku yang “picik” inilah,
barangkali, yang membuatku enggan bersentuhan dengan buku-buku bersampul pop,
apalagi porno.
Imaji memang kerap tergoda meraba halaman demi
halaman roman-roman populer, namun segera kupungkasi. Ini bisa jadi sebuah
kekeliruan. Akibatnya, aku kerap menafikan buku-buku, yang di eranya, laris
manis menjual kisah cinta termehek-mehek dengan tampilan sampul aduhai. Buku
macam roman Freddy S, Mira W, Marga T, hingga S. Mara Gd, hampir-hampir tak
pernah mampir di genggamanku. Begitu saja berlalu. Aku kerap mendakwa buku dari
sampulnya. “Kekeliruan”—meski belum sepenuhnya kuyakini—itu ingin segera
kupungkasi.
Aku mulai menjamah roman-roman popular, yang aku
kira agak lawas meski terbit medio 1990-an. Kabar dari kawan-kawan Solo yang
hendak mengingat ketenaran Marga T jadi alasan logis: aku tak mau tertinggal
untuk urusan sastra! Kuawali dengan sebuah roman berjudul Sonata Masa Lalu
(Gramedia Pustaka Utama, 1991) garapan Marga T. Buku ini kupinjam dari
perpustakaan daerah Semarang. Aku memang belum bernafsu memiliki atau
mengoleksi buku dengan taburan sampul populer. Barangkali permulaan ini bisa
merayuku untuk berhasrat memiliki buku ber-genre
populer. Aku membaca dengan sebuah pemakluman. Aku tidak buleh menyepelekan
buku dengan alasan apapun. Sabar kuperhatikan lembaran lusuh buku ini hingga
khatam dalam semalam. Ah, ada hasrat yang tiba-tiba saja membuhul. Buku ini
menggelitik meski konvensional.
Kisah berawal dari sebuah konflik antara Anita,
Dr Dawus Rasid, Andi Lumintang alias Andi Barnabi, Charloti alias Loti alias
Titi. Anita perempuan aduhai meski terjerat di antara dilema cinta dan
perasaan. Ia menjalin cinta dengan Andi hingga berbuah cinta di dalam
kandungan. Di lain pihak, ia justru dijodohkan dengan Dawus, intelektual jenius
lagi kaya tapi kaku. Andi apatis menilai sebuah keromantisan. Kisah cinta Anita
dan Andi mesti putus karena terjerat perjodohan. Kemiskinan jadi dalih tak terbantahkan
bagi Anita untuk menerima pinangan Darwus, sosok pemuda yang gagap mencari
jodoh sendiri.
Hingga terbongkarlah ketidakperawanan Anita,
yang akhirnya diketahui pula oleh Darwus bahwa ia sedang mengandung anak Andi.
Darwus merasa bagai manusia pandir di hadapan Anita: ia tidak merasa membenihi
tapi dipaksa menanggung akibat hubungan cinta Anita dan Andi. Kehamilan Anita
bagai duri dalam daging. Hingga kelak lahir seorang perempuan mungil, Darwus
tetap terbakar dalam api kekecewaan. Charloti, si bayi mungil yang tumbuh
sebagai gadis intelek bagai tak pernah merasa sentuhan mesra seorang ayah. Anita
dan Darwus tak pernah sekalipun mengijinkan Andi hadir dalam riwayat Charloti. Darwus
dingin juga acuh pada anak yang bukan anaknya.
Di lain pihak, Andi, sebagai ayah merasa
hidupnya suram setelah tak berkesempatan mengakui anak yang diidamkannya. Andi
menjelma kriminalis akibat beban psikologis yang berat. Andi pembunuh sekaligus
pemerkosa yang menggemparkan seantero Jakarta. Kesedihan seperti apa lagikah
yang lebih hebat dari seorang ayah selain tidak diperkenankan mengakui anaknya
sendiri? Begitulah kesedihan Andi yang pilu. Hingga Charloti beranjak gadis,
misteri siapa ayahnya sebenarnya tak pernah terkuak. Roman ini hidup dengan
polemik antara pencarian Charloti tehadap sang ayah; luka hati Anita karena
dicap pengkhianat oleh Darwus; serta kekecewaan Darwus atas pernikahannya yang
cacat.
Kritik dan Perspektif
Karya sastra, dalam bentuknya yang beraneka
ragam, tetap saja menyimpan sebuah nilai. Sastra hadir sebagai sebuah refleksi
kehidupan, gagasan, serta pandangan dari sang pengarang. Meski bergelimang
konflik keluarga dan percintaan, Marga T tak khilaf menyisipkan pandangan—untuk
tidak menyebutnya kritik—tentang kondisi masyarakat Indonesia. Jejak pemikiran
itu muncul dari tokoh Darwus. Ada prinsip hidup visioner yang terkandung dalam
pribadi Darwus meski dibalut sikap kaku dan berpegang pada dasar kelogisan.
Darwus adalah manusia dengan pengharapan dan
keingintahuan yang dahsyat. Ia optimis, visioner, serta memiliki harga diri
yang tinggi. Ia mirip para pemikir kebangsaan Indonesia tempo dulu. Dalam hal
intelektualisme, ia mengingatkan kita pada optimisme ala Soekarno yang
menjunjung tinggi idealisme dan harkat manusia Indonesia. Sebagai seorang dokter
yang mengharap lahirnya generasi para periset, penemu. Ia kerap memimbayangkan
sanggup menemukan sesuatu yang benar-benar baru: original, hingga pada akhirnya
namanya kelak diabadikan di sana. Rasid syndrom! Gagasan Darwus menjadi
pencerah roman ini. Darwus mengritik Indonesia atas ketertinggalannya dari
bangsa Asia lainnya. Darwus menjuluki Indonesia sebagai “pelosok bumi yang
paling santai” (hlm. 134). Kekecewaannya bermuara pada itikad mental Indonesia
yang gemar memakai penemuan bangsa asing tanpa berorientasi menemu penemuan
secara mandiri.
“Coba, dari kamfer kakus
sampai penanak nasi listrik, sampai mainan anak, sampai mobil, sampai seribu
satu perabot rumah tangga, semuanya buatan Jepang. Lihat saja nampanmu dan
alat-alat minum di atasnya!” (hlm.138).
Kemarahan Darwus adalah kemarahan berdalih
nasionalisme meski tak benderang. Intelektual memberi harga diri agar berpegang
pada kekuatan diri secara mandiri. Gagasan ini serupa ajakan Soekarno,
Trisakti: berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi; bebas dalam politik;
berkepribadian dalam kebudayaan. Andai kita hitung segala benda yang kita pakai
dan ada di sekitar kita, tentulah kita akan tercengang betapa kita adalah
tukang pakai. Kita memang jarang “ditampar” lewat kritik hingga tersadarkan.
Indonesia memang merdeka tapi belum lepas dari ketergantungan bangsa lain.
Mental terjajah belum sepenuhnya hilang dari pemikiran manusia Indonesia.
masyarakat kita kerap pesimis dan mudah putus asa.
Maka keminderan pada harga diri sebagai bangsa Timur, negara
kepulauan yang besar, serta kebebalan sebagai inlander musti dibuang jauh-jauh.
Marga T mengritik kesantaian masyarakat kita dalam mengejar perkembangan ilmu
pengetahuan dunia. “Kita tidak boleh membiarkan orang lain memberi terus.
Menerima melulu, pada suatu saat hal itu tidak lagi merupakan sedekah, tapi
penghinaan.” (hlm.143). Kita memang harus mulai merasa malu jika terus-menerus
menerima pemberian. Globalisasi menyerang tanpa ampun, dan kita terkapar tak
berdaya menahan gebrakan tehnologi yang mau tak mau merajai kehidupan kita.
Tehnologi kerap menindih intelektualisme. Manusia bukan tambah cerdas ketika
terpenuhi kebutuhan ipteknya, malah cenderung pemalas. Ironis. Ada apa dengan
kita?
Aku berharap menemukan buku Marga T lainnya
meski masih sungkan mengimajinasikan sampul-sampulnya yang, kalau tak salah
ingat, mirip poster iklan bioskop sepuluh tahun silam: bernafsu dan menggoda! Memungut
percikan gagasan kritis di antara gelimang kisah populer percintaan karangan
Marga T, memungkinkan aku menikmati sajian percintaan berbumbu gagasan. Sonata Masa Lalu memang membujukku mengingat
kisah-kisah sinetron di televisi. Tapi, percikan perspektif dan percikan
gagasan barangkali tak pernah tampil di televisi, apalagi di sinetron. Rasanya
aku perlu meminta maaf kepada Marga T atas dugaanku semula pada novel-novelnya,
hanya karena sebuah sampul…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar