“Aku yakin bahwa kita sama-sama mengetahui dan
mengerti bahwa seseorang itu tidak bisa dididik atau dicetak menjadi seniman.” (Nashar)
Jalan kesenimanan adalah
pilihan hidup penuh pertaruhan. Ikhtiar menghidupi kesenian bukan semata karena
tanggung jawab manusia memelihara kebudayaan. Seni, tak lain adalah sebab
mereka menjalani hidup dengan pelbagai kondisi. Seniman mengimani “seni”
sebagai alasan mereka bertahan, bersuara, menikmati kehidupan, serta untuk
terus-menerus berpikir. Seni adalah kemurnian nurani. Seni tentulah bukan
agama. Seni bukan ideologi. Seni bukan wahyu. Tapi, seni kerap bersetubuh
dengan semuanya itu. Agama, politik, ideologi, bahkan wahyu, bermesraan dengan
seni.
Laku hidup penuh pasrah
dan permenungan menuju tingkat berkesenian yang tinggi, dijalani Nashar sebagai
jalan hidup tidak berujung. Nashar, melalui buku Nashar oleh Nashar (2002) menelanjangi diri dalam kobaran seni tak
terpadamkan. Hasrat berkesenian adalah hidup dan nyawa seorang Nashar. Buku bersampul
hijau ini tak ubahnya catatan singkat, kesaksian, permenungan, serta blueprint berkesenian ala Nashar. Ia tak
hanya bercerita, namun, cenderung mengabarkan jati diri kesenimanannya dalam
catatan yang tidak menggebu-gebu, pelan, penuh kesederhanaan. Nashar berbicara
dengan bahasanya yang paling sederhana. Melalui buku ini, pembaca bakal melacak
adab kesenian seorang Nashar yang tenang, penuh pertimbangan, kaya permenungan,
serta kuyub akan upaya “pembebasan”.
“Memoar, memoar,
memoar!” Nashar lantang mengklaim catatan singkatnya ini. Nashar seorang
pelukis sejati. Kesejatiannya melukis menimbulkan gejolak-gejolak tak kunjung
padam. Menulis menjadi pelampiasan atas gejolak proses kreatifnya. Sejak umur
22 tahun, Nashar mulai mencatat, kemudian mengimaninya sebagai upaya dialog
secara intim. Nashar bukan retoris. Ia adalah pemikir dan pelaku kesenian. Hidupnya
semacam mozaik perjalanan menuju kemakrifatan seni. Catatan inipun terlahir di
antara gamang dan galau. Malam yang suntuk dan lelah adalah tingkat di mana
Nashar harus memutuskan untuk sesegara mungkin meluangkan waktunya untuk
menulis. Siang menjadi ritus kepelukisan. Malam adalah jeda demi memuntahkan
sederet ide-argumentasi dunia seni lukis.
Totalitas berkesenian
memerlukan niat, usaha, serta pengorbanan. Keputusannya untuk berbasah-basahan
dengan seni lukis bukan tanpa rintangan. Nashar hidup dalam keluarga minus
kesenian. Ayahnya tak lain adalah penentang pertama niatnya menjadi seniman.
Kondisi politik Indonesia pra-kemerdekaan menjadi dalih kuat bagi ayahnya melarang
Nashar bersekolah. Ia pun jengkel. Ayahnya keras, otoriter, serta penuh aturan.
Kehidupan ini tak pelak membentuk pribadi Nashar yang cenderung diam dan lebih
memilih bergejolak dengan alam pikirannya.
Hasrat melukis Nashar
pada mulanya bukanlah niat pribadi. Taufik, teman sekelasnyalah, yang membuat
Nashar tertarik dunia seni lukis. Dan, babakan baru di kehidupan Nashar adalah
ketika ia memutuskan merguru ke S Sudjojono, yang menurut Trisno Sumarjo adalah
Bapak Seni Lukis Modern Indonesia. Nashar tercekam: S Sudjojono menganggapnya
tidak berbakat! Bagi tertampar seribu petir! Namun, S Sudjojono memperbolehkan
ia terus belajar. Nashar bergeming. Ia makin bernafsu. Impiannya kini satu:
jadi pelukis!
Proses merguru adalah
ritus tidak berkesudahan. Nashar semakin haus dan lapar pada ilmu. Ia sempat
“ngabdi” pada Affandi, pelukis ekspressionisme terkemuka di Indonesia. Melalui
Affandi, Nashar mengilhami ketekunan berkreasi tiada henti. Hari-harinya adalah
kanfas, kuas, imajinasi, tinta. Melukis, melukis, melukis. Affandi menanamkan kerja
praktek terus menerus sebagai upaya pencapaian estetik seorang pelukis. Nashar
manut. Merguru bukan ajang perdebatan.
Hingga akhirnya Nashar
hijrah ke Bali demi menajamkan mata kuasnya, ia tetaplah pribadi hening. Ia
terus saja memilih untuk tetap merenungi segala pemikirannya. Nashar terbentuk
menjadi seniman bergelimang idealisme serta kaya pemikiran. Van Gogh adalah
inspirasi sekaligus model. Catatan harian Van Gogh menjadi acuan kesenimanannya.
Pilihan untuk berada di pinggiran hiruk pikuk perubahan zaman, tak lain
terpengaruh oleh jalan kesenian Van Gogh. Van Gogh pula yang menaungi gebalau
jiwa Nashar saat menemui lapar yang tak tertahan, cercaan dari kawan seniman
yang terideologisasi, serta kondisi yang memaksa Nashar untuk “berlalat-lalat”
menjalani laku kesenimanan.
Nashar melangkah tanpa
goyah. Tegak tanpa merasa terkoyak. Jalan seni adalah jalan menuju
kesempurnaan-kepuasan batin. Kekukuhannya ini tidak melempem meski bergelimang
kemiskinan dan ditinggal istri. Nashar adalah bohemian-seniman tulen. Ia tak
ubahnya Chairil Anwar dengan dunia kepenyairannya. Idealisme dan
intelektualismenya yang kokoh itu membuatnya hidup bagai berpijak di lorong
sunyi. Dunia yang ramai akan imajinasi dan gejolak pemikiran. Enam belas surat
kepada kawan yang “entah” menjadi penanda jalan senyap yang ia imani. Nashar,
barangkali, hidup hanya demi seni. Lain, tidak.
Kesenian adalah tentang
upaya menempatkan seni pada kodrat yang paling bebas. Ia bukanlah alat yang mesti
ditindih kepentingan, ideologi, bahkan ambisi. Seni lukis, bagi Nashar, adalah
permenungan jiwa yang nonkonsep, nonestetik, dan nontehnik. Ia harus lahir dari
jiwa yang paling jujur dan permenungan yang klimaks. Nashar menulis dalam
suratnya kepada kawan yang “entah”: “aku yakin bahwa kita sama-sama mengetahui
dan mengerti bahwa seseorang itu tidak bisa dididik atau dicetak menjadi
seniman.” Untuk tidak menyebutnya kepala batu, Nashar memang seorang
bohemian-seniman-intelektualis-idealis! []
TULISAN YANG BAGUS. tq
BalasHapus