Senin, 26 Agustus 2013

Surat-Surat Sang Bohemian


“Aku yakin bahwa kita sama-sama mengetahui dan mengerti bahwa seseorang itu tidak bisa dididik atau dicetak menjadi seniman.” (Nashar)

Jalan kesenimanan adalah pilihan hidup penuh pertaruhan. Ikhtiar menghidupi kesenian bukan semata karena tanggung jawab manusia memelihara kebudayaan. Seni, tak lain adalah sebab mereka menjalani hidup dengan pelbagai kondisi. Seniman mengimani “seni” sebagai alasan mereka bertahan, bersuara, menikmati kehidupan, serta untuk terus-menerus berpikir. Seni adalah kemurnian nurani. Seni tentulah bukan agama. Seni bukan ideologi. Seni bukan wahyu. Tapi, seni kerap bersetubuh dengan semuanya itu. Agama, politik, ideologi, bahkan wahyu, bermesraan dengan seni.

Laku hidup penuh pasrah dan permenungan menuju tingkat berkesenian yang tinggi, dijalani Nashar sebagai jalan hidup tidak berujung. Nashar, melalui buku Nashar oleh Nashar (2002) menelanjangi diri dalam kobaran seni tak terpadamkan. Hasrat berkesenian adalah hidup dan nyawa seorang Nashar. Buku bersampul hijau ini tak ubahnya catatan singkat, kesaksian, permenungan, serta blueprint berkesenian ala Nashar. Ia tak hanya bercerita, namun, cenderung mengabarkan jati diri kesenimanannya dalam catatan yang tidak menggebu-gebu, pelan, penuh kesederhanaan. Nashar berbicara dengan bahasanya yang paling sederhana. Melalui buku ini, pembaca bakal melacak adab kesenian seorang Nashar yang tenang, penuh pertimbangan, kaya permenungan, serta kuyub akan upaya “pembebasan”.

“Memoar, memoar, memoar!” Nashar lantang mengklaim catatan singkatnya ini. Nashar seorang pelukis sejati. Kesejatiannya melukis menimbulkan gejolak-gejolak tak kunjung padam. Menulis menjadi pelampiasan atas gejolak proses kreatifnya. Sejak umur 22 tahun, Nashar mulai mencatat, kemudian mengimaninya sebagai upaya dialog secara intim. Nashar bukan retoris. Ia adalah pemikir dan pelaku kesenian. Hidupnya semacam mozaik perjalanan menuju kemakrifatan seni. Catatan inipun terlahir di antara gamang dan galau. Malam yang suntuk dan lelah adalah tingkat di mana Nashar harus memutuskan untuk sesegara mungkin meluangkan waktunya untuk menulis. Siang menjadi ritus kepelukisan. Malam adalah jeda demi memuntahkan sederet ide-argumentasi dunia seni lukis.

Totalitas berkesenian memerlukan niat, usaha, serta pengorbanan. Keputusannya untuk berbasah-basahan dengan seni lukis bukan tanpa rintangan. Nashar hidup dalam keluarga minus kesenian. Ayahnya tak lain adalah penentang pertama niatnya menjadi seniman. Kondisi politik Indonesia pra-kemerdekaan menjadi dalih kuat bagi ayahnya melarang Nashar bersekolah. Ia pun jengkel. Ayahnya keras, otoriter, serta penuh aturan. Kehidupan ini tak pelak membentuk pribadi Nashar yang cenderung diam dan lebih memilih bergejolak dengan alam pikirannya.

Hasrat melukis Nashar pada mulanya bukanlah niat pribadi. Taufik, teman sekelasnyalah, yang membuat Nashar tertarik dunia seni lukis. Dan, babakan baru di kehidupan Nashar adalah ketika ia memutuskan merguru ke S Sudjojono, yang menurut Trisno Sumarjo adalah Bapak Seni Lukis Modern Indonesia. Nashar tercekam: S Sudjojono menganggapnya tidak berbakat! Bagi tertampar seribu petir! Namun, S Sudjojono memperbolehkan ia terus belajar. Nashar bergeming. Ia makin bernafsu. Impiannya kini satu: jadi pelukis!

Proses merguru adalah ritus tidak berkesudahan. Nashar semakin haus dan lapar pada ilmu. Ia sempat “ngabdi” pada Affandi, pelukis ekspressionisme terkemuka di Indonesia. Melalui Affandi, Nashar mengilhami ketekunan berkreasi tiada henti. Hari-harinya adalah kanfas, kuas, imajinasi, tinta. Melukis, melukis, melukis. Affandi menanamkan kerja praktek terus menerus sebagai upaya pencapaian estetik seorang pelukis. Nashar manut. Merguru bukan ajang perdebatan.

Hingga akhirnya Nashar hijrah ke Bali demi menajamkan mata kuasnya, ia tetaplah pribadi hening. Ia terus saja memilih untuk tetap merenungi segala pemikirannya. Nashar terbentuk menjadi seniman bergelimang idealisme serta kaya pemikiran. Van Gogh adalah inspirasi sekaligus model. Catatan harian Van Gogh menjadi acuan kesenimanannya. Pilihan untuk berada di pinggiran hiruk pikuk perubahan zaman, tak lain terpengaruh oleh jalan kesenian Van Gogh. Van Gogh pula yang menaungi gebalau jiwa Nashar saat menemui lapar yang tak tertahan, cercaan dari kawan seniman yang terideologisasi, serta kondisi yang memaksa Nashar untuk “berlalat-lalat” menjalani laku kesenimanan.

Nashar melangkah tanpa goyah. Tegak tanpa merasa terkoyak. Jalan seni adalah jalan menuju kesempurnaan-kepuasan batin. Kekukuhannya ini tidak melempem meski bergelimang kemiskinan dan ditinggal istri. Nashar adalah bohemian-seniman tulen. Ia tak ubahnya Chairil Anwar dengan dunia kepenyairannya. Idealisme dan intelektualismenya yang kokoh itu membuatnya hidup bagai berpijak di lorong sunyi. Dunia yang ramai akan imajinasi dan gejolak pemikiran. Enam belas surat kepada kawan yang “entah” menjadi penanda jalan senyap yang ia imani. Nashar, barangkali, hidup hanya demi seni. Lain, tidak. 

Kesenian adalah tentang upaya menempatkan seni pada kodrat yang paling bebas. Ia bukanlah alat yang mesti ditindih kepentingan, ideologi, bahkan ambisi. Seni lukis, bagi Nashar, adalah permenungan jiwa yang nonkonsep, nonestetik, dan nontehnik. Ia harus lahir dari jiwa yang paling jujur dan permenungan yang klimaks. Nashar menulis dalam suratnya kepada kawan yang “entah”: “aku yakin bahwa kita sama-sama mengetahui dan mengerti bahwa seseorang itu tidak bisa dididik atau dicetak menjadi seniman.” Untuk tidak menyebutnya kepala batu, Nashar memang seorang bohemian-seniman-intelektualis-idealis! []


1 komentar: