Senin, 26 Agustus 2013

Seekor Anjing dan Kemanusiaan


Perang adalah perilaku paling purba dari sejarah peradaban manusia. Sederet perang dunia menciptakan konflik tak berkesudahan. Arogansi dan hasrat kekuasaan adalah iming-iming paling menggiurkan sebagai dalih peperangan. Selalu ada yang menindas dan tertindas. Bahkan, hewan yang tidak berurusan dengan ulah manusia tersebut pun, harus menanggung maut. Ia mati dalam kekonyolan.

Antipati perang menjadi lahan topik cerpen bertajuk Seekor Anjing Mati di Bala Murghab—yang juga menjadi judul kumpulan cerpen inikarya penulis sekaligus jurnalis Linda Christanty. Membunuh seekor hewan tanpa dalih yang dibenarkan, apalagi tanpa sebab, bagaimanapun juga adalah pembunuhan. Harus ditentang. Dalam cerpen tersebut, penulis mewartakan kebiadaban yang terjadi di daerah bertikai.

Situasi perang adalah dalih bagi segala peniadaan nilai-nilai akal sehat dan nurani. Kisah ini mengkritik invasi negara Barat di Afganistan dengan sikap intoleran dari kedua pihak yang bertikai. Hegemoni Barat versus konservatisme Timur Tengah. Deskripsi cerita ini begitu memikat: melafalkan situasi perang yang mencekam, dengan balur kritik gender pada kaum konservatif: “Para “pelajar” melarang anak-anak perempuan bersekolah dan mereka  memerkosa perempuan-perempuan muda. Di satu desa, aku bertemu anak perempuan, 14 tahun usianya, yang tak ingin hidup lagi.” Pelarangan pendidikan adalah tindakan melegalkan kebodohan dan ketertindasan.

Mendunia

Buku ini tidak sekadar berkisah tentang perang. Fiksi menjelma pengejawantahan kepedulian manusia untuk memerkarakan perihal kemanusiaan, ketidakadilan, sejarah kelam, konflik batin, gender, serta pertemuan budaya, yang dikonstruksi dengan gaya ringan dan memikat. Penulis, sebagai seorang jurnalis, mafhum atas isu global yang diperkaya dengan wawasannya yang luas.

Barangkali, mobilisasi penulis sebagai seorang jurnalis, membawa dampak atas setting cerita yang “mendunia.” Nalar cerita bukan sebatas waham. Naluri jurnalisnya memengaruhi referensi latar cerpen yang digarapnya. Pembaca akan disuguhi deskripsi Aceh (Zakaria), Jepang (Sihir Musim Dingin), Belanda (Jack dan Bidadari), Jerman (Perpisahan), Turki (Pertemuan Atlantik), dan Afganistan (Seekor Anjing Mati di Bala Murghab).

Ada sedemikian persoalan di masing-masing wilayah yang diangkat. Dalam Zakaria, pembaca diajak mengingat konflik yang pernah berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penulis, sebagai putri daerah setempat, memberi lanskap berbeda atas konflik di daerah yang kerap disebut ladang ganja-nya Indonesia. Cerpen ini mengkritik mitos klenik, bisnis ganja, dan konflik politik. Tokoh Zakaria hidup dalam dilema atas bisnis ganja yang digelutinya dengan kakak perempuannya. Sedangkan, suami dari kakak Zakaria adalah seorang polisi. Politik dan uang menjadi segala yang memungkinkan hal-hal yang tidak mungkin.

Luka sejarah akibat ulah negara ditampilkan dengan tokoh utama sebagai pesakitan dalam Perpisahan. Seteru Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi pemantik cerita. Lagi-lagi, konflik—terutama perang—adalah tragedi yang menjejaki trauma berkepanjangan. Cacat psikologis, barangkali, adalah luka tak terperikan bagi korbannya.

Tembok Berlin yang memisahkan Barat dan Timur itu telah hancur, namun, kenangan kelam tetap tak terhapuskan. Akhirnya, individu yang terluka enggan memberi pemakluman pada negaranya: “Saya sudah pergi ke mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada….” Nasionalisme nihil berkat negara yang tak acuh kepada luka rakyatnya.

Tak lupa, penulis menyoal efek tragedi 1965 di Indonesia. Sejarah yang dimodifikasi demi kepentingan politik akhirnya memberi stigma negatif terhadap orang-orang “berstempel” komunis. Setelah puluhan tahun berlalu, rekonsiliasi, rehabilitasi dan perhatian kepada korban belum terurusi dengan sewajarnya. Pembedaan ini mengingatkan pembaca atas derita kaum “tertuduh” yang belum mendapat hak sebagai warga negara yang sejajar. Meskipun, kebenaran sejarah tragedi 1965 perlahan mulai terungkap.

Banyak masyarakat yang rupanya tak acuh terhadap ketidakadilan ini. Penulis menentukan sikapnya dalam ungkap yang tajam: “Bayangkan, kata Ibu Guru, andai kaum pemberontak itu berkuasa kita tak akan pergi ke masjid, kelenteng, atau gereja dan kehilangan kata “tuhan” dalam kamus. Setelah menyudahi kata terakhir, Ibu guru tiba-tiba memandang sinis ke arahnya.” Penggalan ini merefleksikan keteguhan penulis mengkritik kesalahan sejarah yang akhirnya melukai harkat kemanusiaan.

Gelimang Isu

Cerpen bergelimang isu dan makna. Begitulah cerpen Linda Christanty menyapa pembaca. Penulis yang pernah meraih Human Rights Award for Best Essay pada tahun 1998 atas esai Militerisme dan kekerasan di Timor Leste (1998) ini, dengan kreasi estetiknya, telah menyampaikan sisi kemanusiannya yang paling intim dalam narasi cerpen reflektif. Bahkan, kumpulan cerpennya Kuda Terbang Maria Pinto meraih penghargaan Khtulistiwa Litrary Award di tahun 2004. Penulis suntuk mengurusi perihal tema-tema yang mengedepankan estetika dan kemanusiaan.

Keluasan tema dan lahan cerita yang digarap penulis menjadi sisi intelektual dan bukti, bahwa, dunia sedang memerlukan perhatian lebih. Buku dengan sampul telapak anjing ini ingin mengingatkan kepada khalayak; perdamaian dan kesetaraan. Tragedi perang, penindasan dalam bentuk yang paling kecil, diskriminasi, sampai kapanpun tidak bisa dibenarkan.

Seekor Anjing Mati di Bala Mughrab adalah kabar buruk bagi peradaban manusia hari ini. Tapi, menjadi baik dalam geliat cerpen Indonesia mutakhir. Semoga.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar