Perang adalah perilaku paling purba dari sejarah
peradaban manusia. Sederet perang dunia menciptakan konflik tak berkesudahan.
Arogansi dan hasrat kekuasaan adalah iming-iming paling menggiurkan sebagai
dalih peperangan. Selalu ada yang menindas dan tertindas. Bahkan, hewan yang
tidak berurusan dengan ulah manusia tersebut pun, harus menanggung maut. Ia
mati dalam kekonyolan.
Antipati perang menjadi lahan topik cerpen bertajuk
Seekor Anjing Mati di Bala Murghab—yang
juga menjadi judul kumpulan cerpen
ini—karya penulis sekaligus jurnalis
Linda Christanty. Membunuh seekor hewan tanpa dalih yang dibenarkan, apalagi
tanpa sebab, bagaimanapun juga adalah pembunuhan. Harus ditentang. Dalam cerpen
tersebut, penulis mewartakan kebiadaban yang terjadi di daerah bertikai.
Situasi perang adalah dalih bagi segala peniadaan
nilai-nilai akal sehat dan nurani. Kisah ini mengkritik invasi negara Barat di
Afganistan dengan sikap intoleran dari kedua pihak yang bertikai. Hegemoni
Barat versus konservatisme Timur Tengah. Deskripsi cerita ini begitu memikat:
melafalkan situasi perang yang mencekam, dengan balur kritik gender pada kaum
konservatif: “Para “pelajar” melarang anak-anak perempuan bersekolah dan
mereka memerkosa perempuan-perempuan
muda. Di satu desa, aku bertemu anak perempuan, 14 tahun usianya, yang tak
ingin hidup lagi.” Pelarangan pendidikan adalah tindakan melegalkan kebodohan
dan ketertindasan.
Mendunia
Buku ini tidak sekadar berkisah tentang perang.
Fiksi menjelma pengejawantahan kepedulian manusia untuk memerkarakan perihal
kemanusiaan, ketidakadilan, sejarah kelam, konflik batin, gender, serta pertemuan
budaya, yang dikonstruksi dengan gaya ringan dan memikat. Penulis, sebagai
seorang jurnalis, mafhum atas isu global yang diperkaya dengan wawasannya yang
luas.
Barangkali, mobilisasi penulis sebagai seorang
jurnalis, membawa dampak atas setting
cerita yang “mendunia.” Nalar cerita bukan sebatas waham. Naluri jurnalisnya
memengaruhi referensi latar cerpen yang digarapnya. Pembaca akan disuguhi
deskripsi Aceh (Zakaria), Jepang (Sihir Musim Dingin), Belanda (Jack
dan Bidadari), Jerman (Perpisahan),
Turki (Pertemuan Atlantik), dan
Afganistan (Seekor Anjing Mati di Bala
Murghab).
Ada sedemikian persoalan di masing-masing wilayah
yang diangkat. Dalam Zakaria, pembaca
diajak mengingat konflik yang pernah berkepanjangan antara pemerintah Indonesia
dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penulis, sebagai putri
daerah setempat, memberi lanskap berbeda atas konflik di daerah yang kerap
disebut ladang ganja-nya Indonesia. Cerpen ini mengkritik mitos klenik, bisnis
ganja, dan konflik politik. Tokoh Zakaria hidup dalam dilema atas bisnis ganja
yang digelutinya dengan kakak perempuannya. Sedangkan, suami dari kakak Zakaria
adalah seorang polisi. Politik dan uang menjadi segala yang memungkinkan
hal-hal yang tidak mungkin.
Luka sejarah akibat ulah negara ditampilkan dengan
tokoh utama sebagai pesakitan dalam Perpisahan.
Seteru Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi pemantik cerita. Lagi-lagi,
konflik—terutama perang—adalah tragedi yang menjejaki trauma berkepanjangan.
Cacat psikologis, barangkali, adalah luka tak terperikan bagi korbannya.
Tembok Berlin yang memisahkan Barat dan Timur itu
telah hancur, namun, kenangan kelam tetap tak terhapuskan. Akhirnya, individu
yang terluka enggan memberi pemakluman pada negaranya: “Saya sudah pergi ke
mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya tinggal. Tapi
sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada….” Nasionalisme
nihil berkat negara yang tak acuh kepada luka rakyatnya.
Tak lupa, penulis menyoal efek tragedi 1965 di
Indonesia. Sejarah yang dimodifikasi demi kepentingan politik akhirnya memberi
stigma negatif terhadap orang-orang “berstempel” komunis. Setelah puluhan tahun
berlalu, rekonsiliasi, rehabilitasi dan perhatian kepada korban belum terurusi
dengan sewajarnya. Pembedaan ini mengingatkan pembaca atas derita kaum
“tertuduh” yang belum mendapat hak sebagai warga negara yang sejajar. Meskipun,
kebenaran sejarah tragedi 1965 perlahan mulai terungkap.
Banyak masyarakat yang rupanya tak acuh terhadap
ketidakadilan ini. Penulis menentukan sikapnya dalam ungkap yang tajam:
“Bayangkan, kata Ibu Guru, andai kaum pemberontak itu berkuasa kita tak akan
pergi ke masjid, kelenteng, atau gereja dan kehilangan kata “tuhan” dalam
kamus. Setelah menyudahi kata terakhir, Ibu guru tiba-tiba memandang sinis ke
arahnya.” Penggalan ini merefleksikan keteguhan penulis mengkritik kesalahan
sejarah yang akhirnya melukai harkat kemanusiaan.
Gelimang Isu
Cerpen bergelimang isu dan makna. Begitulah cerpen
Linda Christanty menyapa pembaca. Penulis yang pernah meraih Human Rights Award
for Best Essay pada tahun 1998 atas esai Militerisme
dan kekerasan di Timor Leste (1998) ini, dengan kreasi estetiknya, telah
menyampaikan sisi kemanusiannya yang paling intim dalam narasi cerpen
reflektif. Bahkan, kumpulan cerpennya Kuda
Terbang Maria Pinto meraih
penghargaan Khtulistiwa Litrary Award di tahun 2004. Penulis suntuk mengurusi
perihal tema-tema yang mengedepankan estetika dan kemanusiaan.
Keluasan tema dan lahan cerita yang digarap penulis
menjadi sisi intelektual dan bukti, bahwa, dunia sedang memerlukan perhatian
lebih. Buku dengan sampul telapak anjing ini ingin mengingatkan kepada
khalayak; perdamaian dan kesetaraan. Tragedi perang, penindasan dalam bentuk
yang paling kecil, diskriminasi, sampai kapanpun tidak bisa dibenarkan.
Seekor Anjing
Mati di Bala Mughrab adalah kabar buruk bagi peradaban manusia hari ini. Tapi, menjadi baik
dalam geliat cerpen Indonesia mutakhir. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar