Senin, 26 Agustus 2013

Emak dan Hasrat Intelektualisme


Perempuan belum lunas menuai kesetaraan. Risalah perempuan masih menjadi tema menarik dalam adonan narasi novel sebagai pamrih menyuarakan fakta dan tragedi. Novel Jurai: Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian (2013) garapan Guntur Alam menandai permasalahan perempuan dan pemerataan pendidikan di daerah pinggiran belum beres.

Perempuan dan pendidikan belum usai dikisahkan. Novel ini menyengat nurani pembaca atas perilaku naif masyarakat adat terhadap perempuan yang hendak mengurusi pendidikan, terutama di pedesaan. Eksplorasi kehidupan perempuan terjebak konservatisme, tradisi, dan desakan ekonomi menjadi galian bagi pengarang mewartakan pesan-pesan kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan pendidikan. 

Novel berbicara lirih namun menjamah kesadaran pembaca. Suara itu keluar dari tokoh Emak dan empat anaknya: Catuk, Ivo, Hani, dan Wiwik. Tokoh Emak menampilkan sosok perempuan pinggiran namun bertekad melawan hegemoni adat dan tradisi demi masa depan keempat anaknya. Emak seorang janda. Suaminya mati kecelakaan, ditabrak sepeda motor yang dikendarai anak sang majikan. Buta huruf membuat Emak takluk pada kepicikan sang majikan. Rayu uang sebagai kompensasi kematian suami ditolak sebagai dalih harga diri dan kehormatan:”Aku tak menjual nyawa lelakiku demi uang ini.”(hlm.111). Emak teguh mempertahankan kehormatan meski miskin. 

Emak hidup di lingkungan masyarakat Tanah Abang, Sumatera Selatan, yang memiliki kepercayaan atas keterkaitan nasib orang tua dengan anak-anaknya (Jurai). Emak memiliki jurai buruk karena anak bujang-nya (laki-laki) begitu mirip dengan Ebaknya (ayah). Padahal, Ebak seharusnya mirip dengan anak-anak perempuannya. Kematian suami Emak diyakini sebagai jurai yang harus diterima. Keyakinan adat memusnahkan ambisi menuntut balas kematian suami. Emak pasrah dan ikhlas meski terluka seumur hidup.

Demi Pendidikan

Kehormatan adalah harta satu-satunya bagi Emak dan anak-anaknya. Pengarang memberi acuan harga diri pada tokoh Emak melalui kerelaan mengurusi beban keluarga seorang diri ketimbang mengorbankan pendidikan sang anak. Kesadaran pada pendidikan menjadi “barang antik” di antara kepungan masyarakat patriarki-konservatif di desanya. Perempuan dianggap berhasil jika sukses dalam urusan “kasur, dapur, dan sumur.” Keyakinan itu tidak berlaku bagi Emak. Menyekolahkan anak-anak adalah satu-satunya cara menyelamatkan keluarga dari kebobrokanl.

Catuk, bujang satu-satunya, tidak dibiarkan takluk pada aturan adat yang mengharuskannya jadi pengganti peran bapak. Tiga anak perempuan Emak: Wiwik, Ivo, dan Heni, pantang tunduk pada aturan adat. Mereka takzim pada pemikiran Emak—pantang menikah sebelum menunaikan pendidikan. Pendidikan adalah harapan demi perubahan nasib dan meninggikan martabat keluarga meski ditebus kerja keras berjualan sayur.”Tugas Emak adalah mendidik kalian. Ingat! Kalian tak boleh buta huruf. Kalian tak boleh bodoh. Sekolah yang tinggi biar tidak ditipu,” (hlm.152). Emak menegaskan laku dan ajaran bagi anak-anaknya.

Pengarang kentara ingin menampilkan sosok perempuan visioner lewat dialog dan sikap Emak dan keluarganya. Melalui tokoh-tokoh anak perempuan Emak, pengarang mencubit ingatan publik atas diskriminasi perempuan di masa silam. Miskin bukan alasan untuk tidak berpihak pada pendidikan. Wejangan Emak kepada ketiga putrinya adalah representasi pengalaman pribadinya yang pernah ditipu gara-gara buta huruf. Buta huruf pula yang membuat Emak tidak menyadari bahwa sang suami menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Masa lalu memberi kesadaran bagi Emak atas pentingnya kecerdasan bagi anak-anaknya.
  
Pilihan untuk menentang tembok tradisi bukan tanpa resiko. Perempuan berpendidikan, bagi masyarakat Tanah Abang, sebagaimana diceritakan dalam novel ini, tak lain menyalahi tradisi dan keyakinan adat. Hujatan diterima dengan pasrah. Emak didakwa membangkang. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Emak sebagai ganjaran atas keputusannya hijrah ke kota demi menyekolahkan anak-anaknya. Pengarang berhasil menampilkan kontradiksi dari setiap upaya manusia, yang berorientasi pada perubahan dan masa depan, secara detil dan penuh haru. Drama penentangan dan cemooh atas keputusan Emak menjadi satire tajam nan menusuk atas jerat kaum adat yang kukuh melakoni penindasan dan peminggiran hak-hak perempuan.

Emak, sosok ibu yang teguh pendirian, humanis, begitu terpikat pada pendidikan. Pengarang mengakhiri narasi cerita dengan sebait optimisme lewat tokoh Catuk:”Kami bisa membuktikan pada orang-orang Tanah Abang, kalau kami tak salah memilih jalan! Itu saja, Agar mereka tahu, Emak tak salah menyamakan posisi anak bujang dengan anak perempuan dalam menyiapkan hidup mereka di depan sana,”(hlm.298). Kisah Emak dan anak-anaknya menjadi refleksi bagi manusia modern untuk tidak bosan mengurusi pendidikan, kesetaraan, dan kemartabatan manusia.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar