Kamis, 29 Agustus 2013

Langit-Langit yang Menumpahkan Sejarah dan Rahasia


Seorang lelaki menumpahkan potongan sejarah hidupnya dalam sebuah artikel, dengan gaya penulisan sarat emosi, juga fakta mencengangkan. Ia menulis dengan ingatan dan kegetiran hidup yang hampir-hampir menjebol seluruh jerat masa lalunya yang gosong. Adalah Martin Aleida yang tak sanggup menahan gerah di hatinya. Upaya Frans Magnis Suseno SJ mendukung rencana Presiden SBY untuk meminta maaf kepada korban pasca-G30S (Kompas, 24 Maret 2012), ditampik secara telak oleh Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1963-1966, seminggu kemudian di harian yang sama.

Luka lama itu seolah kembali berdarah. Trauma atas masa lalu yang belum terobati, terungkap secara dramatis dalam sebuah tulisan tanggapan. Ia kecewa atas artikel dari pihak yang tak menghendaki pembersihan stigma negatif yang melekat pada korban pasca-G30S. Tulisan berjudul Antara Romo dan Sulastomo (h.207) dikirim ke harian yang sama sebagai penjelas antara dua jenis tulisan “yang berdiri di tebing yang berseberangan.” Pembelaan penulis kandas setelah tulisannya dianggap “agak sensitif.” Dan, yang kemudian menjadi menarik adalah, saat dibukukan dalam Langit Pertama, Langit Kedua (2013), tulisan tersebut hadir bersanding dengan beberapa komentar dari tokoh seperti Goenawan Mohamad, Ignas Kleden, dan Atmakusumah Astraatmadja—untuk menyebut beberapa nama. Tulisan tersebut, oleh penulis, dikirim ke beberapa kolega. Hasilnya? Komentar tajam-kritis muncul bukan sebagai apologi, namun memberi semacam ajang pertukaran gagasan secara demokratis.  

Kegalauan hati penulis muncul pula dalam surat-suratnya kepada Salim Said, bekas atasannya di majalah Tempo. Bermula dari resensi buku Wars Within (2005) karya Janet Steele di majalah Gatra (12 September 2007), yang mengupas perihal petilan sejarah majalah Tempo. Debat sengit pun terjadi antara keduanya. Dalam catatan berjudul Suara dari Kubur, Said, seperti dikutip penulis, mencatat: ”Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu anak muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama anak Medan menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan Mohamad (GM) kepada saya dulu.” (h.232). Penulis tidak serta merta percaya. Penulis justru menduga GM sengaja menjawab demikian karena “tahu orang yang dihadapi adalah Salim, wartawan “Angkatan Bersenjata” yang kecenderungan pikirannya tidak akan menjamin bahwa kalau Martin diceritakan sejujurnya siapa dia, apakah nyawanya akan selamat di tangan orang yang diajak bicara tersebut.” (h. 232). 

Pasca-G30S, menjadi manusia yang dituduh ataupun berteman dengan seorang komunis, adalah satu alasan yang cukup bagi seseorang boleh dimatikan. Stigma “kiri” tumbuh dan bermekaran memenuhi kebencian masyarakat. Wajar bila penulis mencatat:”Memang, semasa menjadi wartawan majalah Tempo, saya menyembunyikan diri bahwa saya pernah bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat dan anggota redaksi majalah Lembaga Kebudayaan Rakyat, Zaman Baru, dalam usia yang baru 20 tahun” (hlm. 215). Buku ini barangkali tidak akan pernah ada jika saat itu penulis mengungkap siapa dirinya sebenarnya.

Permasalahan ideologis memang kerap menyulut api curiga, awas, dan rasa tidak percaya. Beruntunglah manusia yang berhasil mengendalikan ideologi, dan bukan sebaliknya. Berkat sikap “setengah nabi” GM-lah, penulis merasa terselamatkan dari tali gantungan. “GM, di mata saya adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya bekerja, untuk melepaskan saya dari jerat pengangguran, untuk mengembalikan saya ke dunia saya (penulisan),” (h.233). Penulis menuntaskan rasa syukur dengan puja hormat kepada sang senior yang telah menyelamatkan hidupnya dari petaka politis-ideologis tersebut. 

Demokrasi

Sajian beberapa surat-surat sarat perdebatan, esei, kritik, catatan perjalanan, menjadi hidangan komplit dengan beberapa cerita pendek yang pernah dipublikasikan di media massa. Penulis nampaknya hendak menampilkan suguhan tulisan kepada sidang pembaca sedemokrasi mungkin. Komentator bukan muncul semata sebagai bagian dari endorsement di sampul belakang buku, yang pada galibnya ditulis oleh orang-orang berkompeten. Dari delapan cerita pendek yang ada, enam diantaranya ramai oleh tanggapan dari pelbagai tokoh lintas profesi. Wartawan, anggota parlemen, cerpenis, pelukis, aktivis, sejarawan, peneliti, hingga komponis andil dalam memberi komentar.

Kebebasan berkomentar-berapresiasi menjadi unik ketika tanggapan berhasil menampilkan gagasan kreatif. Seorang cerpenis yang mukim di Jerman, Soeprijadi Tomodiharjo, menanggapi cerita pendek berjudul Tiada Darah di Lamalera (h.85) dengan merekontruksinya ke dalam bentuk puisi. Komentator menganggap cerpen ini “cukup memusingkan bukan saja bagi pembaca awam tapi juga bagi sejumlah penggemar sastra.” Protes sempat dilayangkan kepada penulis langsung melalui pesan singkat:“Ini bukan cerpen bung! Puisi!” Dan apa jawab dia? … Cerpen ini hanya untuk dinikmati, bukan untuk dipahami….”(h.98). Pada puncaknya disulaplah cerita pendek tersebut menjadi sebuah sajak panjang berjudul Ada Darah di Lamalera, tentunya dengan siizin penulis. 

Penulis akhirnya berhasil menempatkan kebebasan berpendapat bagi pembaca karyanya tanpa hasrat untuk membela. Dalam bukunya terdahulu, Malam Kelabu, Ilyana dan Aku (1998), penulis berkeyakinan:“Saya kira kesusastraan adalah kejujuran. Apakah kekuatannya itu memerlukan dukungan?”(hlm.vii). Keyakinan itu pulalah, yang barangkali, memberi ilham bagi penulis untuk menerbitkan buku dengan menyertakan komentar pembaca sekaligus. Meski tidak menyajikan teks-teks yang sama sekali baru,—mayoritas tulisan pernah dipublikasikan di media massa—buku ini membeberkan rahasia, sejarah diri, dan apresiasi teks sastra dari pembaca. “Saya bantu karena karya-karyamu HARUS diterbitkan,” kata sastrawan kawakan Arswendo Atmowiloto menegaskan kepada penulis buku ini.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar