Seorang lelaki
menumpahkan potongan sejarah hidupnya dalam sebuah artikel, dengan gaya
penulisan sarat emosi, juga fakta mencengangkan. Ia menulis dengan ingatan dan
kegetiran hidup yang hampir-hampir menjebol seluruh jerat masa lalunya yang
gosong. Adalah Martin Aleida yang tak sanggup menahan gerah di hatinya. Upaya
Frans Magnis Suseno SJ mendukung rencana Presiden SBY untuk meminta maaf kepada
korban pasca-G30S (Kompas, 24 Maret
2012), ditampik secara telak oleh Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa
Islam tahun 1963-1966, seminggu kemudian di harian yang sama.
Luka lama itu seolah
kembali berdarah. Trauma atas masa lalu yang belum terobati, terungkap secara
dramatis dalam sebuah tulisan tanggapan. Ia kecewa atas artikel dari pihak yang
tak menghendaki pembersihan stigma negatif yang melekat pada korban pasca-G30S.
Tulisan berjudul Antara Romo dan
Sulastomo (h.207) dikirim ke harian yang sama sebagai penjelas antara dua jenis
tulisan “yang berdiri di tebing yang berseberangan.” Pembelaan penulis kandas
setelah tulisannya dianggap “agak sensitif.” Dan, yang kemudian menjadi menarik
adalah, saat dibukukan dalam Langit
Pertama, Langit Kedua (2013), tulisan tersebut hadir bersanding dengan
beberapa komentar dari tokoh seperti Goenawan Mohamad, Ignas Kleden, dan
Atmakusumah Astraatmadja—untuk menyebut beberapa nama. Tulisan tersebut, oleh
penulis, dikirim ke beberapa kolega. Hasilnya? Komentar tajam-kritis muncul
bukan sebagai apologi, namun memberi semacam ajang pertukaran gagasan secara
demokratis.
Kegalauan hati penulis muncul
pula dalam surat-suratnya kepada Salim Said, bekas atasannya di majalah Tempo. Bermula dari resensi buku Wars Within (2005) karya Janet Steele di
majalah Gatra (12 September 2007),
yang mengupas perihal petilan sejarah majalah Tempo. Debat sengit pun terjadi antara keduanya. Dalam catatan
berjudul Suara dari Kubur, Said,
seperti dikutip penulis, mencatat: ”Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu
anak muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama
anak Medan menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan
Mohamad (GM) kepada saya dulu.” (h.232). Penulis tidak serta merta percaya. Penulis
justru menduga GM sengaja menjawab demikian karena “tahu orang yang dihadapi
adalah Salim, wartawan “Angkatan Bersenjata” yang kecenderungan pikirannya
tidak akan menjamin bahwa kalau Martin diceritakan sejujurnya siapa dia, apakah
nyawanya akan selamat di tangan orang yang diajak bicara tersebut.” (h. 232).
Pasca-G30S, menjadi
manusia yang dituduh ataupun berteman dengan seorang komunis, adalah satu
alasan yang cukup bagi seseorang boleh dimatikan. Stigma “kiri” tumbuh dan
bermekaran memenuhi kebencian masyarakat. Wajar bila penulis mencatat:”Memang,
semasa menjadi wartawan majalah Tempo,
saya menyembunyikan diri bahwa saya pernah bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat dan anggota redaksi
majalah Lembaga Kebudayaan Rakyat, Zaman
Baru, dalam usia yang baru 20 tahun”
(hlm. 215). Buku ini barangkali tidak akan pernah ada jika saat itu penulis
mengungkap siapa dirinya sebenarnya.
Permasalahan ideologis
memang kerap menyulut api curiga, awas, dan rasa tidak percaya. Beruntunglah
manusia yang berhasil mengendalikan ideologi, dan bukan sebaliknya. Berkat sikap
“setengah nabi” GM-lah, penulis merasa terselamatkan dari tali gantungan. “GM,
di mata saya adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya bekerja, untuk
melepaskan saya dari jerat pengangguran, untuk mengembalikan saya ke dunia saya
(penulisan),” (h.233). Penulis menuntaskan rasa syukur dengan puja hormat
kepada sang senior yang telah menyelamatkan hidupnya dari petaka politis-ideologis
tersebut.
Demokrasi
Sajian beberapa
surat-surat sarat perdebatan, esei, kritik, catatan perjalanan, menjadi hidangan
komplit dengan beberapa cerita pendek yang pernah dipublikasikan di media massa.
Penulis nampaknya hendak menampilkan suguhan tulisan kepada sidang pembaca sedemokrasi
mungkin. Komentator bukan muncul semata sebagai bagian dari endorsement di sampul belakang buku,
yang pada galibnya ditulis oleh orang-orang berkompeten. Dari delapan cerita
pendek yang ada, enam diantaranya ramai oleh tanggapan dari pelbagai tokoh
lintas profesi. Wartawan, anggota parlemen, cerpenis, pelukis, aktivis,
sejarawan, peneliti, hingga komponis andil dalam memberi komentar.
Kebebasan berkomentar-berapresiasi
menjadi unik ketika tanggapan berhasil menampilkan gagasan kreatif. Seorang
cerpenis yang mukim di Jerman, Soeprijadi Tomodiharjo, menanggapi cerita pendek
berjudul Tiada Darah di Lamalera
(h.85) dengan merekontruksinya ke dalam bentuk puisi. Komentator menganggap
cerpen ini “cukup memusingkan bukan saja bagi pembaca awam tapi juga bagi
sejumlah penggemar sastra.” Protes sempat dilayangkan kepada penulis langsung
melalui pesan singkat:“Ini bukan cerpen bung! Puisi!” Dan apa jawab dia? …
Cerpen ini hanya untuk dinikmati, bukan untuk dipahami….”(h.98). Pada puncaknya
disulaplah cerita pendek tersebut menjadi sebuah sajak panjang berjudul Ada Darah di Lamalera, tentunya dengan siizin
penulis.
Penulis akhirnya berhasil
menempatkan kebebasan berpendapat bagi pembaca karyanya tanpa hasrat untuk membela.
Dalam bukunya terdahulu, Malam Kelabu,
Ilyana dan Aku (1998), penulis berkeyakinan:“Saya kira kesusastraan adalah
kejujuran. Apakah kekuatannya itu memerlukan dukungan?”(hlm.vii). Keyakinan itu
pulalah, yang barangkali, memberi ilham bagi penulis untuk menerbitkan buku
dengan menyertakan komentar pembaca sekaligus. Meski tidak menyajikan teks-teks
yang sama sekali baru,—mayoritas tulisan pernah dipublikasikan di media massa—buku
ini membeberkan rahasia, sejarah diri, dan apresiasi teks sastra dari pembaca. “Saya
bantu karena karya-karyamu HARUS diterbitkan,” kata sastrawan kawakan Arswendo
Atmowiloto menegaskan kepada penulis buku ini.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar