Kamis, 06 Agustus 2015

Buku Bacaan Anak dan Nasionalisme

 Satu di antara sekian poin tujuan gerakan penumbuhan budi pekerti ala Menteri Anies R. Baswedan adalah terbentuknya watak kebangsaan dan nasionalisme pada anak didik. Pembentukan karakter itu diwujudkan dengan upacara bendera dan menyanyikan lagu nasional bertema patriotik sebelum dan sesudah memulai pelajaran. Nasionalisme mesti ditanamkan sejak anak-anak agar mengakar dan menyatu pada kepribadian anak.  
Pembentukan nasionalisme pada anak-anak pernah jadi tema utama penggarapan buku bacaan anak di Indonesia semasa era Orde Baru. Buku dicetak melimpah, beredar gratis di Sekolah Dasar. Buku bacaan tak berpenampilan mewah, berilustrasi sederhana dan tak terlalu tebal. Buku berlabel “bacaan anak” di halaman sampul serta memuat keterangan: “Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tidak Diperdagangkan, Inpres Nomor...” Buku-buku terbit sejak kisaran tahun1970an hingga 1990an.
Proyek buku bacaan anak jadi siasat menampilkan ideologi, pandangan politik, serta nasionalisme ala Orde Baru. Kita bisa melacak bagaimana buku-buku berkisah lewat sejumlah tema dan cerita. Cerita dikemas dalam balutan semangat kebersekolahan, nasionalisme, keberpihakan pada pemerintah, dan pengamalan Pancasila. Buku dikarang demi pembentukan imajinasi anak-anak menurut negara.
Desa
Lakon anak dalam buku berlabel “bacaan anak” ini tak pernah jauh dari pengisahan desa. Imajinasi desa dimaksudkan sebagai asal lahirnya bocah-bocah berprestasi. Kita belum lupa, Presiden Soeharto pernah mengikrarkan diri sebagai bocah desa. Identitas kedesaan ditampilkan dalam sekian cerita sebagai pengesahan peran desa dalam melahirkan orang-orang besar. Desa jadi tema politis. Desa ikut mengantar perjalanan hidup Soeharto jadi presiden.
Buku Desa, Sekolah, dan Benderaku (1984) karangan Ninin Kurniasih dkk merangkum sejumlah kisah dan kesaksian para bocah desa penyandang tunanetra. Mereka mengisahkan desa dalam esai-esai sederhana. Esai berisi harapan tentang desa di masa depan. Ninin Kurniasih menulis:”Aku bercita-cita memajukan desaku kelak sesudah aku tamat sekolah. Aku ingin mengajar orang-orang yang belum berpengetahuan”.
Pandangan publik kerap menempatkan desa identik dengan orang tak berpengetahuan. Namun, dari desalah lahir bocah dengan pelbagai cita-cita mulia. Tokoh Ninin berniat membangun desa meski dalam kondisi kekurangan. Bocah dihadirkan sebagai agen pembangunan negara. Pola pikir pembangunan diajarkan ke anak-anak, selaras dengan pilihan politik Soeharto.
Cerita anak juga menampilkan lakon bocah desa sebagai penggembala, anak petani, anak orang miskin, pembelajar. Bocah di desa lekat dengan laku menanam, memanen padi di sawah, bermain di sungai, berlari-lari di kebun, atau memanjat pohon. Pengalaman bocah di desa merangsang pembaca anak-anak menginsyafi desa sebagai bagian dari negara yang mesti diperjuangkan.
Riwayat bocah penggembala dinarasikan secara apik dan lugu dalam buku Di Relung Gunung (1983) karya Hudoyo MZ. Bocah penggembala sebagai pusat penceritaan. Di desa memang banyak penggembala kambing, sapi, kerbau, dan hewan ternak lain. Menggembala tentu pekerjaan biasa tapi mengandung kearifan dan amalan tradisi. Tokoh Lano, seorang penggembala, tak berkemampuan untuk bersekolah tapi berkepribadian baik dan pandai. Lano punya kebiasaan meminjam buku teman-temannya yang bersekolah agar tak terlena dengan keasikan bermain.
Imajinasi bocah desa dalam bacaan anak mengisyaratkan anjuran-anjuran tentang ketekunan, optimisme, dan kecintaan pada negara. Idealitas tokoh anak desa debagai generasi bangsa sengaja dibentuk dalam buku bacaan agar ditiru para pembaca anak-anak.
Cita-Cita
Kisah dalam buku anak pun tak luput dari agenda bercita-cita. Sekian cita-cita dikisahkan dengan memikat demi merangsang semangat belajar anak-anak. Novelis gaek Remy Sylado dalam buku Ketua Kelas Kita (1985) ikut berpetuah perihal cita-cita lewat pesan tokoh ibu guru. Remy Sylado menulis:“Pesan ibu kepada kalian semua, janganlah patah semangat. Cita-cita tidak selamanya ditempuh mudah. Kalau cita-cita mudah kalian raih, tentu cita-cita bukanlah lagi bernama cita-cita.” Penjelasan Remy Sylado memberi seruan sekaligus motivasi. Cita-cita jauh di ujung jangkauan tapi bukan berarti tak bisa diraih.  
Sedangkan buku Cintailah Bumi di Negerimu (1983) karya Manto justru secara eksplisit menyebut cita-cita ideal bagi anak. Simaklah:“Ada yang ingin menjadi anggota ABRI, dokter, insinyur, pegawai negeri, pedagang, petani, peternak dan sebagainya. Kesemuanya itu pada umumnya bertujuan sama, yaitu agar hidupnya berguna bagi dirinya, bangsa dan negaranya serta agamanya.” Saat Orde Baru, cita-cita anak mesti bersejalan dengan ikhtiar mendermakan diri kepada negara. Propaganda itu pun berhasil. Sampai hari ini, pegawai negeri masih jadi dambaan kaum sarjana berdalih hidup santai tapi bergaji besar.
Membuka kembali tumpukan buku berlabel “Inpres” dan “bacaan anak”, kita bisa melacak bagaimana pembentukan pola pikir “menjadi Indonesia” era Orde Baru saat itu. Indoktrinasi nasionalisme dilakukan secara besar-besaran tapi sedikit saja menghasilkan generasi kritis dan berkepribadian. Yang ada justru generasi tak acuh dan kurang peka karena campur tangan politik yang berlebihan. Tema dan isi buku pada bacaan anak cenderung menjurus pada legitimasi kekuasaan dan pencitraan Presiden Soeharto.
Kecerobohan kebijakan era Orde Baru tak boleh terulang lagi. Menteri Anies mesti belajar banyak dari kekeliruan Orde Baru di masa lalu. Penumbuhan nasionalisme dan watak kebangsaan pantas mendapat dukungan publik, tak boleh berakhir di Permendikbud dan surat edaran menteri saja.[]


Dimuat Suara Merdeka, 5 Agustus 2015