Minggu, 20 Desember 2015

Kisah Para Pejuang Menentang Kekuasaan

Persinggungan dengan kekuasaan memang kerap memicu konsekuensi rawan. Mereka yang memilih menentang kekuasaan mesti sadar atas risiko tersebut. Kedigdayaan kekuasaan ibarat amuk badai. Para penentang itu mesti siap jika suatu saat dihempas badai kekuasaan sebagai konsekuensi perlawanan. Kekuasaan sanggup menghilangkan jejak dan ingatan, melempar para penentangnya ke pingggiran zaman, ke sudut-sudut mematikan.
Dalam konteks inilah, buku Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran Soe Hok Gie sampai Putra Sang Fajar Bung Karno (2015) karangan Daniel Dhakidae menghadirkan lacakannya terkait peran yang dimainkan oleh tokoh-tokoh yang dalam hidupnya berkeputusan untuk berhadapan dengan kekuasaan. Daniel “menangkap momen hidup seseorang, melihat mengapa momen itu penting bagi dirinya”. Dalam artian, “sekiranya tiada momen itu dalam seluruh konteks historisnya, seorang akan melalui jalur yang normal saja”. Daniel pun merunut faktor “apa yang mengubah jalur itu” (hal.xi).
Untuk menjelaskannya, Daniel membagi buku ini dalam tiga kerangka besar. Pertama, keberkuasaan mereka yang tak berdaya, powerfullnes of the powerless. Daniel memberi perhatian kepada tokoh-tokoh yang dalam ketidakberdayaannya justru sanggup menggetarkan dunia sekitar dan pusat kekuasaan. Adalah Soe Hok Gie, pemuda idealis penyeru kritik atas kekuasaan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin. Kita mengenal Gie sebagai pemuda tukang protes, moralis, serta pembaca buku yang ambisius.
Gie tentu saja tak memenuhi syarat untuk disebut sebagai individu yang berkuasa. Namun, Gie berani menulis kritik dan makian, tertuju pada penguasa. Ia turun ke jalan demi menggerakkan demonstrasi mahasiswa, menuntut penggulingan Sukarno dari ranjang kekuasaan. Sikapnya itu, dalam istilah Daniel, semacam praktik sadisme intelektual.
Di sisi lain, bagi Daniel “kekuasaan” yang dimiliki Gie, dalam kapasitasnya sebagai pengkritik dan pemantik sumbu perlawanan di kalangan mahasiswa, sangatlah ironik. Gie ibarat dilema bagi zamannya. Ia “senantiasa dikagumi, dipuja dan dipuji, tetapi dalam dirinya dia sebenarnya orang yang ditolak dalam setiap lingkungan yang dia masuki”(hal.96). Gie sanggup menyerang jantung kekuasaan, yang oleh karenanya dibanggakan oleh kawan seperjuangan namun sekaligus ditolak karena sikap kritisnya yang tak pandang pihak.
Kedua, keberkuasaan kaum yang terbuang, power of the outcasts. Keberkuasaan tokoh-tokoh yang oleh negara dicap sebagai penjahat, kaum durjana, dan juru kriminal. Dalam pembahasan ini, Daniel mengajak pembaca bertamasya ke masa silam, membuka kembali catatan dan berita di masa lalu. Daniel mengisahkan sosok Kusni Kasdut yang sangat mungkin saat ini sudah hilang dari ingatan publik.
Kasdut dikenal sebagai pejuang di era kemerdekaan namun bernasib apes. Bertahun-tahun melakoni hidup sebagai pembela Republik, Kasdut justru tak diakui sebagai tentara Indonesia. Sejak itu, Kasdut “memutuskan untuk membalas dendam kepada negara yang “mengkhianati” dirinya dan memilih tempat “bersebarangan” dengan negara yaitu dengan menjadi penjahat” (hal.223).
 Kekecewaan itu termanifestasikan lewat serangkaian aksi pemberontakan dan perampokan. Lakon pejuang apes itu pun berakhir dalam petaka. Tahun 1980, Kasdut dieksekusi mati. Daniel menyebut perjumpaan Kasdut dengan kekuasaan “membawanya ke dunia hitam, dan karena menerjang badai menemui ajalnya” (hal.235).
Ketiga, ketidakberdayaan mereka yang mampu, powerless of the powerfull. Mereka yang memiliki daya, berilmu tinggi, dan banyak pendukung, belum tentu tangguh di hadapan kekuasaan. Kisah tragis itu menimpa Sukarno. Hidup sebagai aktivis-nasionalis di era kolonial tentu menanggung risiko tak sederhana, dari penangkapan, pemenjaraan, hingga pembuangan. Sukarno mungkin sadar atas risiko menjadi aktivis kemerdekaan meski tak menyangka bakal tak kuasa menahan serangkaian teror dan intimidasi dari pihak kolonial.
Pada 31 Juli 1933, pasca pembacaan pledoi Indonesia Menggugat, untuk kedua kalinya, Sukarno kembali dipenjara. Belanda sukses meruntuhkan keteguhan Sukarno karena tak bisa membela diri lagi, dan semua itu dihadapinya sendiri tanpa dukungan pembela-pembelanya. Sukarno pun dibuang ke pengasingan di Ende, Flores. Peristiwa ini telah membuat Sukarno “menjadi jinak, bisa dikendalikan ke mana saja para penguasa mau, dan takluk. Karena itu tekanan-tekanan yang diperoleh dalam interogasi menghancurkan perlawanan Sukarno”(h.381).
Selain ketiga tokoh di atas, Daniel juga membahas tokoh-tokoh lain yang dalam hidupnya pernah mengambil sikap berbeda terhadap kekuasaan, seperti Pramoedya Ananta Toer, Frans Seda, Mohammad Hatta, Sam Ratulangi, hingga Gus Dur. Meski pada mulanya naskah asli buku ini ditulis bukan demi satu kepentingan yang sama, Daniel sanggup merangkainya ke dalam satu kerangka teori yang kokoh.
Dalam uraiannya, terbaca jelas keterpengaruhan Daniel pada pemikiran Michel Foucault, yaitu dari tulisannya yang berjudul The Infamous Men, dan Pierre Bourdieu, terkait relasi-relasi dalam proses produkasi dan hal-hal di luar proses kreatif (The Field of Power, Literary Field, dan Genesis of the Producers Habitus).

Penjelajahan Daniel menelusuri saling kait antara sejarah, biografi, dan konteks sosial, berhasil membeberkan keputusan dan peran yang dimainkan oleh para tokoh dalam konfrontasinya dengan kekuasaan. Rentang waktu tiga puluh tahun penulisan naskah buku ini membuktikan keseriusan dan ketekunan Daniel dalam menyuntuki wacana kekuasaan di Indonesia, bereferensi ketokohan para penentang kekuasaan.[]

Dimuat Koran Jakarta, 21 Desember 2015