Senin, 25 April 2016

Samadikun, Foto dan Diskriminasi

Sumber foto: www.tribunnews.com/
Foto penangkapan buron kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Samadikun Hartono, yang diberitakan beberapa koran, membuktikan bahwa tulisan pemerhati foto Tubagus P. Svarajati dalam buku Photagogos: Terang-Gelap Foto Indonesia (2013) tidak keliru. Dikatakannya gambar atau citraan foto adalah representasi realitas empirik, bukan berasal dari imajinasi fotografer belaka.
Tak berlebihan bila kita menganggap sebuah foto memang bisa bercerita. Foto sanggup menyampaikan pesan, dengan atau tanpa teks yang mendampinginya. Atau, seumpama foto memang diharuskan tampil bersama teks, seperti halnya di koran-koran, tak jarang makna yang disampaikan foto bisa melebihi apa yang bisa dan hendak dijelaskan oleh sebuah teks.
Foto penangkapan Samadikun itu, bisa berbicara melebihi apa yang sekadar tampak dalam foto. Berita di Tribun Jateng, 22 April 2016, halaman 8, berjudul Samadikun Akhirnya Pulang. Berita tampil bersama foto, dengan sub judul Dijemput Kepala Bin dan Jaksa. Pengambilan foto dilakukan dari arah muka, atau persis di hadapan.
Di dalam foto tampak Kepala BIN Sutiyoso berjalan bersanding dengan buron Samadikun. Meski memuat foto penangkapan buron, yang diperkuat dengan keterangan teks, kita justru curiga dengan penangkapan itu. Sang buron tak diborgol. Tak pula digandeng aparat. Bahkan raut wajah Samadikun tak sedikitpun mengisyaratkan bahwa ia seorang pesakitan yang hendak masuk bui.
Memperhatikan foto itu dengan seksama, kita menangkap kesan antara sang buron dan penangkap tak ada jarak yang membedakan status di antara keduanya. Mereka seolah sejajar. Melihat foto itu saya teringat beberapa adegan dalam film Hongkong Young and Dangerious yang kerap menampilkan sekelompok laki-laki preman tengah berjalan berjejer sebelum memulai perkelahian antar geng.
Kita juga bakal menemukan “keanehan” saat menatap halaman sampul Media Indonesia, 22 April 2016. Di atas berita berjudul Tiada Tempat Aman buat Koruptor, terpampang foto penangkapan Samadikun yang diberi sub judul “Tiba di Jakarta”. Foto ini hampir-hampir mengaburkan apa yang sebenarnya terjadi.
Di dalam foto tampak Sutiyoso di sebelah kiri sambil melambaikan tangan (sepertinya mengarah pada para wartawan). Sedangkan Jaksa Agung HM Prasetyo, dan ini puncaknya, terlihat tengah menyilakan Samadikun seolah-olah ia bukan seorang buron tapi pejabat teras negeri.
Kesan tersebut kian dipertegas saat kita menengok halaman sampul harian Kompas, 22 April 2016. Dalam foto ini Sutiyoso tampak sedang berjalan sembari mengacungkan tangan. Tentunya dengan raut wajah yang sumringah. Sedangkan Samadikun, meski agak tegang, tetap tak menunjukan sewajarnya seorang terpidana yang hendak masuk bui.
Singkatnya, foto penangkapan Samadikun yang beredar di koran-koran mengesankan bukan penangkapan biasa. Maka benar apa yang disentilkan oleh peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, “perlakuan itu mengesankan pemerintah membentangkan karpet merah untuk buron BLBI. Pengemplang uang negara milyaran rupiah itu disambut ibarat tamu negara. Ia tidak diborgol layaknya buron kelas salmon.
 Menangkap ketidakberesan itu, beberapa tajuk dan editorial di koran-koran lekas menyoroti kejanggalan tersebut. Ada yang menyebut terjadi perbedaan perlakuan. Ada pula yang menuduh memberi perlakuan istimewa.  
Kita bisa mengajukan pembuktian sederhana dengan cara membandingkan foto-foto penangkapan Samadikun dengan koruptor Century Hartawan Aluwi. Kita ambil beberapa contoh foto yang ditampilkan oleh beberapa koran.
Di halaman depan koran Media Indonesia (23 April 2016) tampak Hartawan berbaju  hitam, diborgol, sekaligus diapit polisi bersenjata. Begitu pula di Kompas dan Tribun Jateng (23 April 2016) dimunculkan foto Hartawan berbaju tahanan, kepala merunduk, dengan raut wajah penuh pesakitan. Ketiga foto ini, menjelaskan bagaimana sepatutnya adegan sebuah penangkapan pelaku kejahatan.
Dari perbandingan foto-foto dia atas, siapa pun bisa dengan mudah menyimpulkan bagaimana, dalam hal ini pemerintah, memperlakukan tiap-tiap tersangka. Jelas sekali, ada diskriminasi. Setidaknya dalam hal perlakuan penangkapan. Samadikun mendapat perlakuan layaknya tamu kehormatan. Berbeda dengan Hartawan.
Atau, kalau kita ingat kasus penangkapan terduga teroris Siyono oleh Densus 88 beberapa pekan silam. Perlakuan keduanya justru kontradiktif dengan Samadikun. Bahkan, Siyono mesti meregang nyawa akibat kesalahan prosedur—berdasarkan pengakuan pihak otoritas. Belum lagi kisah-kisah penangkapan yang kerap disertai pemukulan, penembakan, dan perlakuan kasar lainnya yang menimpa pelaku kejahatan yang hanya berstatus wong cilik atau kaum tak berpunya. Perlakuannya sama sekali berkebalikan.
Kita tentu tak ingin tergesa-gesa menuduh bahwa pemerintah memang memberlakukan perbedaan perlakuan dalam penangkapan, bergantung jenis kejahatan dan ketokohan sang tersangka. Kita hanya berharap, pemerintah “adil sedari dalam pikiran” dalam menerapkan hukum di Indonesia.
Pemerintah bisa saja mengelak asumsi publik terkait perbedaan perlakuan tersebut. Tapi, mereka mesti ingat: kelakuan mereka terabadikan dalam sebuah foto. Foto memang sanggup mengabarkan apa yang tersembunyi dari sebuah fakta. Seperti halnya tulisan ini: bermula dari foto, berakhir pada sebuah kecurigaan. []


Dimuat Tribun Jateng, 26 April 2016