Selasa, 04 Agustus 2015

Diletantisme, Suatu Ancaman Serius

(Tanggapan atas esai Autogami (24 Mei 2015) dan Euforia Sastra Koran dan Masa Depan Sastra Indonesia (31 Mei 2015) di rubrik ini.)

Dua Minggu berturut-turut, sastra koran disinggung dalam esai yang terbit di kolom ini. Radna Tegar Zakaria dalam esai berjudul Autogami (24 Mei 2015) mengajukan sebuah risalah perihal para penulis sastra yang menjadikan koran sebagai acuan eksistensi. Esai diawali kutipan obrolan dengan redaktur majalah Horison (tak dicantumkan namanya), yang dianggapnya sebagai sastrawan senior.“Apakah tidak lagi disebut sastrawan atau cerpenis kalau absen menulis di media massa?”
Diceritakannya kemudian, sastrawan tersebut kini tak lagi “menerbitkan buku dan cerpen baru di media massa.” Jawaban dari sang sastrawan kemudian dijadikan pondasi awal guna menilik geliat sastra koran di Indonesia. Selanjutnya, ia menulis: “Kemunculan nama dan karya mulai diartikan sebagai kerja narsistik dan pendulang popularitas di jagat susastra (sangat berkebalikan dengan senior yang saya sebut di bagian awal tulisan ini).”
Tema sastra koran berlanjut dalam pengisahan Mohammad Ali Tsabit lewat esai berjudul Euforia Sastra Koran dan Masa Depan Sastra Indonesia (31 Mei 2015). Menurutnya, ada ketidakberesan dalam dunia sastra karena banyak penulis mulai menjadikan sastra koran sebagai kiblat. Pengalaman mengikuti diskusi sastra, di mana pembicara melulu membicarakan honor di koran-koran, ikut mengimbuhi dugaan Mohammad Ali Tsabit bahwa penulis koran mulai terjangkit “mental materialistis”. Apabila hal itu diteruskan, sang esais cemas, masa depan sastra Indonesia bakal suram.
Dari pelbagai dugaan yang diajukan dua esai tersebut, saya justru menangkap ada semacam ketergesaan dan kekeliruan logika berpikir dari sang esais. Pertama, esai Radna Tegar Zakaria kentara ceroboh mengajukan landasan argumen dalam tulisannya. Mari kita cermati ucapan redaktur Horison yang dikutip Radna:“Apakah tidak lagi disebut sastrawan atau cerpenis kalau absen menulis di media massa?”
Pertanyaannya kemudian, apa patokan seseorang untuk dianggap penulis sastra (sastrawan)? Mari sejenak kita buang konvensi koran sebagai pertanda eksistensi penulis. Kita jadikan kerja menulis sebagai ukuran. Tepatnya, eksistensi penulis diukur dari kerja kepenulisan yang terus-menerus ia lakoni. Karena, mereka yang menulis dan berkibar di masa lalu, dan tak lagi menulis di masa kini, sepantasnya ditahbiskan sebagai pensiunan penulis.
Seandainya tak lagi menulis di media massa, jurnal, blog pribadi, juga tak lagi menerbitkan buku baru, lantas bagaimana kita tahu etos kepenulisan seseorang masih menyala? Bukankah dari amatan Radna Tegar Zakaria, sastrawan tersebut kini tak lagi “menerbitkan buku dan cerpen baru di media massa.” Keputusan untuk mengutip sang redaktur Horison tersebut ke dalam esainya, menurut saya, merupakan kekeliruan prematur. Saya bayangkan jawaban sastrawan tersebut adalah:”Saya masih tetap menulis, tapi tidak, atau tepatnya, belum ingin memublikasikan tulisan tersebut”.
Kedua, jika Radna Tegar Zakaria beranggapan majalah Horison dipandang sebagai salah satu pusat legitimasi sastrawan, seperti di era kejayaan tahun 1990-an, sehingga menganggap kontribusi sang redaktur lebih penting ketimbang munculnya para penulis koran lainnya, saya menduga Radna Tegar Zakaria masih menganut pola pikir dikotomis antara pusat dan yang bukan pusat dalam kesusastraan.

Tak ada lagi pusat (media atau kelompok) yang berhak mengaku sebagai legitimator seseorang menjadi sastrawan. Siapa saja yang mengikuti perkembangan informasi dan referensi buku sastra, melakoni etos menulis terus-menerus, merekalah yang bakal mendapat legitimasi sastrawan secara otomatis oleh publik. Di era kekinian, pemahaman yang komprehensif tentang sastra, dan produktifitas dalam menulis, sepantasnya diajukan sebagai takaran untuk menilai layak tidaknya seseorang sebagai sastrawan.
Ada pun popularitas sastrawan, saya kira bukan representasi dari kualitas karyanya. Dalam hal ini, kekhawatiran Radna saya kira beralasan. Publik pembaca sastra di Indonesia memang masih perlu berbenah. Banyak karya bermutu justru kurang populer. Tetapi, menggeneralisir penulis koran atas dugaan kerja narsistik karena menampilkan tulisannya di jejaring sosial adalah pernyataan yang gegabah. Tak sedikit komunitas literasi yang menjadikan koran hanya sebagai saluran kecil atas pergulatan intelektual yang mereka tekuni. Pemutakhiran pengetahuan dan dialektika justru jadi urusan utama.     
Ketiga, untuk urusan honor, saya persilakan Mohammad Ali Tsabit untuk hitung-hitungan di atas kertas. Dari 35 provinsi di Indonesia, mari hitung jumlah media yang berikhtiar memberi penghormatan secara pantas kepada penulis lewat honor. Sangat sedikit, bisa dihitung dengan sebelah tangan.
Tetapi, penulis memang orang yang berkepala batu. Misi mengabarkan buah pikiran berupa tulisan ke hadapan pembaca lebih mendesak diajukan ketimbang misi berhonor. Karenanya, kekhawatiran Mohammad Ali Tsabit perihal masa depan sastra Indonesia yang suram tentu berlebihan. Mengirim tulisan ke koran, bagi saya, adalah upaya memartabatkan tulisan. Tulisan bakal memiliki publik pembaca yang luas, serta mampu bertarung secara terhormat dan terbuka.
Dari argumen dan data yang diajukan dalam dua esai tersebut, saya justru khawatir atas kecenderungan banyak penulis untuk melihat sesuatu, terutama terkait seni dan pengetahuan, secara dangkal: diletantis. Gejala diletantisme adalah ancaman bagi kita sebagai publik sastra. Diletantisme bisa dipahami sebagai pengetahuan yang dangkal dalam ilmu atau seni karena sikap yang salah, dalam berbagai gejala dan bentuk manifestasinya (A. Mangunhardjana, 1997). Diletantisme bisa dipicu lingkungan yang manja, perasaan cukup diri, dan kemalasan
Keberlimpahan informasi, buku-buku, hingga ketersediaan informasi media daring, tanpa adanya sikap dan tuntutan untuk menempa diri menjadi berkualitas lewat kompetisi, pada akhirnya hanya akan melahirkan individu dengan kemampuan yang dangkal. Ketergesaan menyusun pondasi argumen, perspektif yang menggeneralisir, serta sikap-sikap yang gemar memberi simpulan tanpa lacakan yang mendalam, merupakan bagian dari gejala diletantisme.
Pun dengan perasaan cukup diri dari seorang sastrawan ataupun intelektual; merasa sudah menjadi redaktur, dosen, atau akademisi sastra, misalnya, sehingga ia merasa tak perlu lagi melakukan pemutakhiran kualitas teksnya (dan bacaannya); merasa pernah membuat karya yang berkualitas di masa lalu, hingga merasa “selesai” dalam kemampuan menulis.
Orang yang sadar atas ancaman diletantisme tentu tak akan gegabah mengajukan sejumlah tuduhan dan ramalan tanpa adanya lacakan dan pendalaman yang memadai. Apalagi hingga memberi semacam justifikasi secara umum terhadap laju kesusastraan kontemporer hanya berdasarkan ulah sejumlah orang di jejaring sosial. Pada titik ini, saya pun merasa khawatir, jangan-jangan saya juga terjangkit diletantisme gara-gara menanggapi dua esai yang diletantis itu….[]

*Tulisan ini sengaja dibuat untuk dikirim ke Suara Merdeka, hanya agar redaktur, Saroni Asikin, membaca pandangan saya tentang posisi penulis koran hari ini. Dan, tentu saja, tidak dimuat karena kolom yang tersedia hanya cukup untuk 5000 karakter. Sedangkan tulisan ini hampir berjumlah 7500 karakter.