Kamis, 17 Juli 2014

Sepuluh Panduan Membangun Perkotaan yang Manusiawi

Indonesia bergerak menuju negara dengan pertumbuhan kota yang pesat. Kota menjadi lahan subur pemekaran modernitas, pembangunanisme,  teknologi, dan  pertarungan ekonomi. Para pemodal berbondong-bondong  ke kota demi meraup keuntungan. Pembangunan merebak di segala sektor. Kota menjadi obesitas dan kurang terjaga kesehatannya.

Buku Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi “Human Zoo” (2014) menilai  pembangunan kota di Indonesia abai terhadap “kesehatan”’ penghuninya karena berlebihan. Perencanaan kota tanpa  visi misi. Pembangunan tak  menggarap potensi unggulan. Apalagi, semasa Orde Baru, pembangunan seolah-olah dirancang serbaseragam. 

Akibatnya, pembangunan kota bersifat sporadis dan takluk pada kepentingan pemodal. Siapa saja boleh mendirikan bangunan di kota asal punya uang, tanpa  mengacu pada rencana umum tata ruang. Pembangunan yang serampangan, lambat laun membentuk kota mirip human zoo. Warganya berkelakuan mirip binatang: buas dan beringas (hlm 1-4). Satu per satu kota-kota dipenuhi luka akibat paku bumi, bencana, dan punahnya lahan terbuka hijau.


Banyak ambisi  yang hendak mengorbankan gedung-gedung bersejarah demi pamrih ekonomistik. Wacana pembangunan mal di dalam Benteng Vastenburg di Solo dan  mal di areal Pasar Johar Semarang,  dua dari sekian contoh.

Maka, 31  tulisan  Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dalam buku ini mencoba  menangkal pembentukan  human zoo di Indonesia. Seruan keras dilontarkan  kepada anggota dewan saat mau merenovasi gedung MPR/DPR. Ide renovasi  terlalu ambisius karena menelan dana mahabanyak, waktu pembangunan dinilai kurang tepat karena rakyat  masih dilanda kemiskinan.

“Gedung MPR/DPR bisa disebut pengejawantahan jati diri regresif masa silam. Bila tidak dilakukan dengan hati-hati, renovasi atau penambahan bangunan MPR/DPR berpotensi merusak citra, kekhasan, dan keunikan,”(hlm 12). Pengarang juga menyelipkan kutipan  puisi sebagai pencerahan dan  sindiran (hlm 159).

Kota memerlukan konsep nilai agar pembangunan tak melulu memuaskan hasrat modernitas. Tekanan global memang kerap merangsang pengiblatan negara-negara modern sebagai acuan membentuk sebuah kota. Alhasil, kota kerap tumbuh sebagai ruang tak bertata nilai, kering, dan kaku. Nilai-nilai budaya terpinggirkan. Kota perlahan tak lagi sanggup memanusiakan manusia. Dia  bergerak dari metropolis menjadi miseropolis, megapolis menjadi megapolost.

Ruang-ruang publik jadi  sumpek. Penghuninya tidak peduli  lingkungan dan  berpotensi menciptakan manusia-manusia temperamental, liar, serta intoleran. Keseluruhan gejala tersebut jadi satu indikasi nyata terbentuknya human zoo bila tidak segera direvisi.

Ada 10  konsep pembangunan berkelanjutan prokaum miskin guna menangkal human zoo. Sederet referensi diajukan guna memberi landasan memutuskan solusi. Kita bakal diajak menelusuri berbagai referensi  para pemikir perkotaan kontemporer.

Sepuluh gagasan pembangunan berkelanjutan menekankan kesetaraan, keseimbangan ekologis, lapangan kerja, pemberdayaan, dan pelibatan  swasta. Kemudian, juga ada  penegakan hukum, rasa nyaman, ramah lingkungan, beretika, dan estetis  (hlm 186). Buku ini pantas jadi acuan para pembangun perkotaan abad XXI dan  sandaran menyikapi gelombang modernitas  yang  menyerbu kota-kota  Indonesia.[]

Dimuat di Koran Jakarta, 2 Juli 2014

Selasa, 01 Juli 2014

Tantangan Gedung Tan Malaka

Gedung Sekolah Tan Malaka di Semarang akhirnya resmi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Semarang. Bangunan yang kini reot dan mencemaskan itu, adalah saksi kesejarahan Tan Malaka dalam mengurusi pendidikan kaum bumiputera. Pemerintah secepatnya perlu memberikan perhatian dan tindakan kepada sekolah yang pernah dijuluki Gedung Rakyat Indonesia tersebut.

yunantyoadi.files.wordpress.com
Informasi perihal penemuan sekolah Tan Malaka memang kurang mengemuka, namun sempat mendapat sorotan dari beberapa media nasional. Wajar saja, Tan Malaka adalah salah satu tokoh yang pernah dibenamkan namanya dalam sejarah Indonesia semasa Orde Baru. Namun, jika kita menilik otobiografi Tan Malaka yang berjudul Dari Penjara Ke Penjara (2008), asal mula keberadaan sekolah tersebut diceritakannya secara runtut.

Keinginan mendirikan sebuah perguruan muncul sejak Tan Malaka singgah di Semarang. Tan mengaku bertekad mendirikan perguruan yang cocok dengan keperluan dan jiwa rakyat masa itu. Pendidikan Belanda memang sekadar mengajarkan bumiputera sebagai juru tulis bagi kepentingan kolonialisme. Karena itu Tan berniat mendirikan perguruan demi mendidik bumiputera, agar minimal, sanggup menafkahi diri sendiri, serta mampu menyokong pergerakan. 

Niatan tersebut kemudian Tan sampaikan kepada teman-teman seperjuangannya, termasuk kepada Semaun, tokoh Sarekat Islam Semarang. Berkat pengaruh Semaun di organisasi itulah, ruang rapat kantor Sarekat Islam disulap menjadi ruang perguruan.  

Dalam sehari-dua, sekitar 50 anak dari kaum jelata mendaftar menjadi murid. Bahkan, kerja keras Tan Malaka mengurusi perguruan ini berhasil merangsang pendirian sekolah serupa di luar kota, salah satunya di Bandung. Tetapi sayang sekali, ketenaran perguruan tersebut tak sempat Tan nikmati karena lebih dulu ditangkap dan dibuang oleh Belanda. Dari masa ke masa, gedung tersebut sempat mengalami perpindahan hak pengelolaan, hingga akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya.  

Tantangan ke depan

Pasca-penetapan status tersebut, otomatis pemerintah berkewajiban melakukan pemugaran dan penyelamatan gedung. Tantangan yang pertama, dan saya kira ini masalah serius, bukan perihal regulasi pendanaan, namun bagiamana meluruskan stereotip publik perihal tokoh di balik gedung tersebut: Tan Malaka. Kita belum lupa insiden upaya penggagalan diskusi buku Tan Malaka oleh sejumlah ormas di Semarang, beberapa bulan silam.  

Warisan stereotip Orde Baru itulah yang kiranya bakal menghambat perkembangan pemanfaatan gedung. Kita bisa membayangkan seandainya kelak, gedung tersebut direnovasi dan dimanfaatkan sebagai objek wisata, tapi publik enggan mengunjungi karena masih terbebani pandangan yang keliru, juga adanya kemungkinan tindakan intimidasi dari sejumlah ormas. Kemungkinan tersebut bukan hal yang mustahil. Demokrasi di negara ini memang belum menjamin warganya untuk bebas berpikir dan berpendapat.

Tantangan berikutnya adalah perihal pemanfaatan gedung. Kita kerap mendengar berita tentang gedung-gedung bersejarah yang tidak terurus. Selain karena tidak adanya terobosan pemanfaatan gedung agar menarik perhatian publik, gedung bersejarah kerap dipandang susah menarik pendapatan secara ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan banyak gedung bersejarah kurang mendapat perhatian pemerintah.  

Eko Budihardjo dalam buku terbarunya Reformasi Perkotaan (2014) mengusulkan agar penyelamatan bangunan kuno tidak semata berpijak pada pemugaran semata, tetapi juga menciptakan ‘suntikan’ fungsi baru. Gedung kuno tak melulu dibiarkan utuh apa adanya. Pembangunan bangunan baru di sekitar gedung kuno memungkinkan adanya pemanfaatan dan pendayagunaan bangunan kuno. Semarang memiliki banyak sekali bangunan kuno, tapi hanya sedikit saja yang berhasil diberi suntikan fungsi baru. Galeri Semarang, semisal. 

Pemanfaatan gedung sekolah Tan Malaka mendesak untuk dipikirkan mengingat besarnya peran bangunan tersebut di masa lalu. Publik harus sadar, di Semarang pernah berkobar semangat mengurusi pendidikan bumiputera yang diperjuangkan oleh Tan Malaka. Di sinilah semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat mesti berupaya menjaga identitas kesejarahan kotanya tetap utuh. “Kota yang baik adalah kota yang bisa menyuguhkan sejarah kota dari waktu ke waktu yang kasatmata, fisik dan visual” (Budihardjo, 2014:104).  

Nilai kesejarahan yang agung pada setiap bangunan kuno akan hancur bukan oleh hujan, panas matahari, ataupun gempa bumi. Nilai kesejarahan justru akan sirna oleh masyarakat yang lupa. Penetapan status cagar budaya kepada gedung sekolah Tan Malaka adalah jalan bagi kita menjaga ingatan terhadap peran tokoh-tokoh di masa lalu. Sedangkan, pemanfaatan gedung agar tetap terawat dan mendapat perhatian publik adalah jalan menyuguhkan sejarah kota yang ‘kasatmata, fisik dan visual’. []

26 Juni 2014