Rabu, 28 September 2011

Puasa dan Sindrom Konsumerisme¹

Oleh: Widyanuari Eko Putra²
Bulan puasa adalah selebrasi atas ibadah suci bagi umat Islam. Puasa menjadi semacam momentum yang mempunyai ekses ke beberapa bidang lain. Puasa menjadi penantian atas semacam ajang pencucian dosa. Masyarakat muslim, dimanjakan untuk beribadah secara intens dengan pamrih atas kesucian di hari raya Idul fitri.

Bulan puasa bagi masyarakat secara umum—muslim atau bukan—memberi harapan lebih atas kemungkinan mendapatkan keuntungan berlebih atas aspek perekonomian. Penjual makanan, pengusaha, juga pedagang dadakan yang bermunculan, turut serta mengais rejeki di bulan ramadan.

Menyambut bulan puasa era kekinian adalah sebuah momentum mengabsahkan tradisi “membeli”. Ramadan memberi pelbagai alasan yang tepat untuk sekedar membarui diri, semisal membeli keperluan sandang, papan, dan pangan sebagai uforia atas ramadan dan Idul Fitri.

Kehebatan ramadan nampaknya menjadi fenomena atas perayaan ibadah pada Tuhan yang serta merta menjanjikan gempita dan sukacita. Penyambutan hari raya yang bersifat masif menjadikan nilai ibadah yang terkandung dalam puasa menjadi samar dan terpinggirkan. Belum lagi tradisi mudik—pulang ke kampung halaman setelah merantau—menjadi magnet yang justru kerap menafikan makna puasa sejati.

Puasa di siang hari menjadi ujian atas manusia yang menjalankan, dan menuntaskan ajang balas dendam di sore hari. Tentunya dengan memuaskan menu berbuka puasa. Rasa lapar yang sedari pagi, dimaklumkan sebagai ajang konsumsi yang menuntut pembenaran. Rasanya, tidak ada salahnya memuaskan diri di saat berbuka puasa. Konsumsi adalah jalan pelampiasan atas penangguhan rasa lapar yang larut.

Masyarakat muslim perlahan “terinfeksi” sindrom konsumsi demi persembahan atas perut di saat berbuka puasa. Misal, takjil sebelum buka puasa yang berlebih, menu yang cenderung lebih bermakna boros tinimbang manfaat. Lihatlah, di mana-mana orang berbondong berburu kuliner, sedangkan demi ibadah wajib seperti halnya sholat yang jelas-jelas musti ditunaikan, masyarakat cenderung hanya ingat di awal bulan saja. Shof sholat hanya minggu awal saja yang nampak penuh. Selanjutnya mesjid atau mushola seperti bertambah luas.

Pada dasarnya puasa atau dalam bahasa arab disebut saumu, menahan diri dari segala sesuatu atau secara istilah adalah menahan lapar dan hawa nafsu sedari matahari terbit hingga terbenam matahari. Di dalam Al’ Quran disebutkan dalam surat [Q.S, Al baqoroh: 183-184]. Intisari ayat tersebut mengarah pada usaha untuk menahan diri dari nafsu diri. Puasa digunakan sebagai ajang, penebusan atas segala dosa umat manusia yang telah dilakukan.

Fase puasa yang dengan jelas menjamin kesucian di akhir bulan, yaitu dengan perayaan Idul Fitri: kembali kepada kesucian, memberi pencerahan dan kebahagiaan yang tak terbendung. Meski proses ini tak lebih dari ibadah yang sama halnya dengan ibadah lain, namun pamrih bebas dosa dari Allah S.W.T menjadi kabar yang memberi harapan, semangat, dan sukacita.

Masyarakat islam pada umumnya dan kaum urban perlahan-lahan kaprah dalam memaknai ramadan. Yang ada, sindrom konsumerisme-lah yang merebak—masyarakat cenderung mempunyai hasrat untuk lebih memfasilitasi hal yang bersifat materiil, jauh dari kesan dan makna ramadan sejatinya.

Puasa adalah konsepsi atas kesadaran dalam menahan segala keinginan. Realita kekinian menunjukan grafik terbalik. Intensitas atas keinginan untuk membeli, entah itu untuk kebutuhan berbuka puasa, ataupun demi menyambut Idul Fitri, justru menafikan makna puasa dan ramadan yang senantiasa mengajak umat untuk menahan keinginan. Orang berbondong-bondong membeli pakaian baru, papan dan pangan yang turut serta ikut dibaru-barukan. Hal ini nampak pada peningkatan transaksi jual di pelbagai sektor perdagangan. Keinginan tak terbendung. Puasa menjadi muasal alasan atas pembenaran konsumsi berlebih.

Kaum miskin kian termarjinalkan, adanya bulan puasa tidak mempunyai peran yang terlalu penting. Masih banyak orang-orang yang puasa tidak hanya di bulan puasa, akan tetapi hampir setiap hari—yang memang karena ketidakcukupan biaya untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Puasa dan gelora cahaya berkah seolah mati dari makna yang sejati.

Sebagai umat islam di era mutakhir yang terjepit gejolak kehidupan modern, tak ada salahnya mulai kini mengendalikan diri. Puasa adalah momen menahan diri, mempertajam kepedulian, serta ikut merasa penderitaan sesama. Pemenuhan hajat hidup atas penghormatan pada bulan ramadan tak lebih dari upaya penyemangat, serta luapan kebahagian atas terhapusnya dosa.

Tidak ada yang salah dengan hasrat memperindah hidup di bulan puasa, serta menjelang hari raya. Memakai baju baru, boleh-boleh saja. Namun, utamanya menjadi diri, jiwa, iman yang baru, serta kembali pada yang fitrah. Islam pun juga mewajibkan atas mereka yang mampu agar berzakat: zakat fitrah.

Permenungan atas makna dan penghayatan puasa adalah utama, tinimbang memedulikan selebrasi atas material semata. Masih banyak sesama yang merindukan kepedulian. Bagaimanapun konsumerisme tak boleh dibiarkan membuncah tanpa katup pengendalian diri. Puasa harus kembali pada makna dan manfaat yang kiranya bisa meredam gejolak konsumerisme. Dan puasa adalah solusi tepat, selama sesuai dengan ajaran dan kaidah agama islam. Amin.

Jerakah, 10 agustus 2011

Note:
1. Artikel ini disusun guna mengikuti lomba menulis Moslem Creative Writing oleh UKKI IKIP PGRI Semarang.
2. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, semester 8. NPM: 07420609. Bergiat di UKM KIAS, serta merangkap menjadi Koordinator LKM.
3. Cp: 085225036797

Minggu, 25 September 2011

Sekali Peristiwa Di Banten Selatan: Perlawanan Petani




Seorang kecil pun, bukan berarti tak bisa melawan. Sekali ia melawan, sebesar apapun musuh bisa diummbangkan.
Seorang petani desa bernama Ranta, menjadi korban ketidakadilan seorang juragan tanah bernama Musa. Seorang lurah di sebuah daerah terpencil di sekitaran Bannten Selatan.
Ranta bersama istrinya—Ireng—dioeralat oleh Juragan Musa. Selain diperlakukan sewenang-wenang, Ranta ternyata juga dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak sewajarnya. Suatu ketika Ranta ditemui oleh juragan Musa. Ranta di tugasi untuk mencuri bibit pohon teh milik pihak DI: Darul Islam. Salah satu pergerakan Islam radikal yang ternyata tidak membela rakyat, malah justru ikiut-ikutan merampas hak rakyat.
Menjelang malam pekat, Ranta bergegas menuju hutan untuk melaksanakan tugas dari juragan Musa. Tidak ada pilihan lain. Kalau Ranta tidak mau, siap saja ia mendapatkan penganiayaan dari Juragan Musa. Lurah yang seharusnya melindungi rakyatnya, ternyata juga sama saja menindas rakyat. Misi pun berhasil. Ranta bergegas menemui Juragan Musa dengan hasil curian. Bukan upah yang Ranta terima, malah justru pemukulan. Rupa-rupanya Juragan Musa tidak berkenan membayar upah bagi Ranta. Pulanglah Ranta dengan luka di tangan kirinya.
Bagaimanapun kesabaran manusia selalu terbatas. Kemudian hari, Juragan Musa datang lagi ke gubuk Ranta. Kali ini, Ranta sudah tidak mau lgi tinggal diam. Dengan segenap amarah yang tertumpuk, Ranta menemui Juragan Musa dengan semangat perlawanan. Ranta telah bosan dengan takut dan keputusasaan. Berbeda dari biasanya, di mana Ranta harus kerap selalu mengapurancang ketika bertemu Juragan Musa, kali ini Ranta berdiri tegak dengan tatapan igin menerkam. Ranta melawan dengan sebuah sikap, tidak dengan kekerasan. Dan meskipun baru demikian, Juragan tidak nyali untuk melawan Ranta. Juragan lari tunggang langgang. Tas dan tongkatnya luput terbawa. Dari sini awal kehancuran Juragan Musa, yang ternyata juga merupakan anggota komplotan Darul Islam yang kerap membrontak dan menjajah masyarakat.
Dengan sebuah keyakinan, Ranta melaporkan tas Juragan Musa kepada Komandan militer setempat. Isi tas pun digeledah. Nyatalah keterlibatan Juragan Musa dengan Darul Islam. Juragan Musa pun ditangkap. Seorang lurah yang ternyata pengkhianat negara.
Penangkapan atas Juragan Musa ternyata bukan kabar aman untuk waktu yang cukup lama. Karena Darul Islam pun tidak tinggal diam. Mau tidak mau, masyarakat sekitar harus berani melawan. Mengandalkan tentara militer setempat nampaknya hal yang musykil. Rakyat dilanda keragu-raguan atas keputusan tersebut. Rakyat belum siap untuk perang dan melawan Darul Islam.
Kekosongan kekuasaan lurah yang semula dipimpin Juragan Musa menjadi celah bagi Komandan untuk menunjuk Ranta menjadi lurah baru sementara, sekaligus sebagai komando perlawanan rakyat melawan Darul Islam. Di antara keraguraguan rakyat, serta ketidaklengkapan senjata, Ranta mesti bergulat meyakinkan mental rakyat, serta meyakinkan mereka. Apakah Ranta berhasil meyakinkan masyarakat untuk melawan gerombolan Darul Islam? Apakah perang benar-benar terjadi? Pembaca bisa mendapat jawabannya di sini.
Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan adalah novel singkat yang ditulis Pramudya Ananta Toer pada pertengahan 1958. Sebuah masa di mana konflik masih bertebaran, dan pemberontakan masih kerap terjadi. Di antaranya adalah Darul Islam. Sebuah kelompok pemberontakan yang berencana berdiri sendiri di atas tanah Indonesia. Novel ini adalah sebuah ulasan singkat tentang Reportase Pramudya saat mengunjungi Banten Selatan. Dari novel ini Pram ingin memotret sebuah kondisi di wilayah Banten Selatan yang masih kerap mengalami kekacauan, yang intinya merupakan efek gerakan Darul Islam. Namun, dari konflik ini juga Pram ingin memberi semacam pengukuhan atas pentingnya gotong-royong dan kerja sama. Bahwasanya gotong royong dan kerjasama adalah modal utama bangasa Indonesia untuk lepas dari jeratan penindasan kaum pemverontak. Seperti halnya Ranta yang begitu yakin: kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.***[Wid]

Tentang Midah Simanis Bergigi Emas




Melawan nampaknya menjadi sebuah khas dari karya-karya Pramudya Ananta Toer. Seperti halnya Midah Simanis Bergigi Emas.
Midah, sebagai anak dari pedagang kaya dari Desa Cibatok, adalah korban dari gengsi dan citra. Midah lahir dan tumbuh—hingga usia 9 tahun—dalam buaian kasih sayang mesra dari sang orang tua. Bapaknya, Hadji Abdoel, seorang yang taat terhadap ajaran Tuhan. Ia berhasil membawa citra keluarga pada tahap kehormatan. Begitu pula Midah. Ia lahir dalam kondisi kecukupan dan penuh kasih. Minimal sebelum adik-adiknya lahir. Ya, untuk sementara Midah anak tunggal.
Hidup sepertihalnya detak jam yang tak lelah berdetik. Kali ini Midah untuk kali pertama dinomorduakan. Ya. Ibunya melahirkan lagi. Midah sekarang punya adik. Hari-hari yang penuh kasih sayang dari orang tua perlaan dan pasti bergulir untuk adiknya. Apalagi, keinginan sang ayah untuk punya anak laki-laki begitu kuat. Dan terkaullah doa ayah. Sepasang anak kembar laki-laki yang sehat. Sekaligus pembuka nestapa bagi Midah. Hilang semua kasih sayang ayah-ibu. Mereka terlalu brlebihan menyayangi adik-adik Midah. Midah pun terpinggirkan. Segala urusan dan gerak-geriknya tiada lagi dipedulikan orang tuanya. Hidup menjelma asing, asing sekali.
Keasingan Midah di rumah sedikit cair ketika Ia berkenalan dengan Keroncong. Ya, musik keroncong. Midah begitu terlena oleh alunan musik kerncong. Beberapa judul pun berhasil Ia hapalkan dalam sehari. Midah yang manis pun menjelma gadis yang keranjingan alunan kroncong. Jauh berbeda dengan alunan musik yang biasa disetel oleh orang tuanya. Musik arab ala Umi Kulsum. Ayahnya yang taat beragama, membuatnya akrab dengan aulnan musik arab itu.
Seperti sebuah kematian yang pasti, Midah tak pelak begitu sering memutar piringan hitam yang tentunya berisi alunan keroncong di rumah. Ibunya acuh saja mendapati Midah tenggelam dalam alunan keroncong. Midah pun kerap menonton gerombolan pengamen keroncong. Dari jauh pula Ia mengagumi. Dan sangat berbeda dengan ayah tentunya. Ya, ayahnya naik pitam ketika menemukan Midah tengah asik bergoyang di hadapan alunan keroncong. Piringan hitam dilepas dengan paksa. Terjun bebas ke lantai hing pecah belah tak tersusun. Sebuah tamparan dari kekolotan mendarat di pipi Midah si manis. Rasanya bukan sebuah tamparan saja yang kini merenggut ketenagan hati Midah. Ya, elusan ayah sewaktu Midah kecil, kini remu sudah. Hilang sosok ayah yang mengerti anaknya. Hilang pula kepercayaan Midah pada ayahnya. Mdah menangis sebisanya. Dalam hatinya kini tersimpan benih perlawanan. Perilaku kasar di balik sosok ayah yang taat pada tuhan.
Belum lagi jemuran kering, hujan datang lagi dengan rintiknya. Belum selesai sakit batin Midah karena kelakuan ayahnya yang sepihak,Midah kembali didudukan sebagai pesakitan. Ayahnya menerima lamaran seorang kaya dari Cibatok. Haji Trebus namanya. Dan sebagaimana pesakitan, Hadji Trebus tidaklah sebaik imannya. Hadji Trebus tak lain seorang hadji beristri banyak. Dan Midah adalah yang ke-... Kenyataan seperti bukan kenyataan. Midah amat terpukul. Pasangan hidup pilihan ayahnya menjadi muara kebencian dan penderitaan. Rasa tidak terima sebagai perempuan baik-baik, ternyata hanya menjadi luapan kawin hadji kaya tersebut, menjadi sakit yang teramat. Midah pun minggat. Meski di perutnya tergeletak jabang bayi dari si Hadji Trebus. Tiga bulan umur jabang bayi. Kekecewaannya menjadi semangat. Midah pergi meninggalkan rumah dengan semangat. Dengan keteguhan hati dan keyakinan.
Kegemaran Midah pada keroncong mengantarnya tergabung dalam gerombolan keroncong jalanan. Kelompok musik yang muncul dalam citra kehinaan yang lekat. Dalam kelompok ini, Midah bukannya mendapat suasana yang nyaman, justru mendai pesakitan selanjutnya. Setelah hampir saja diperkosa oleh Mimin Si Kurus, Midah menjadi perbibiran anggota lainnya. Apalagi bagi Si Nini, penyanyi seniornya dalam group musik keroncong tersebut. Midah bersikukuh keluar dari kelompok keroncong sesat itu. Dan di antara ketidakmenentuan hidupnya selepas dari grup keroncong, lahirlah Rodjali. Anak pertama buah keterpaksaan Midah pada Hadji Terbus.
Rupa-rupanya Pram belum ingin menyudahi penderitaan Midah. Setelah lepas cengkraman gerombolan keroncong, Midah masuk pelukan Ahmad. Seorang polisi yang tertarik pada Midah Simanis. Cinta seperti halnya gula yang manis. Dan didalanya bersarang racun. Midah jatuh cinta pada Ahmad, dan celakalah cinta yang berpasrah pada birahi. Hasrat Ahmad menumbangkan keteguhan hati Midah. Berulang kali Midah tenggelam oleh cintanya sendiri. Janin Ahmad pun bersarang di rahim Midah Simanis. Kepengecutan Ahmad untuk menolak mengakui anak yang sedang di kandung Midah, membuat kian keras kebatuan ahti Midah. Midah tidak memaksa Djali untuk taggung jawab. Suasana kian menggulita. Belum lagi Nyonya Abdul yang berhasil meraih Djali dari gendongan Midah. Dalam kebimbangan pun akhirnya Midah pulang ke orang tua.
Layaknya si anak elang pulang ke sarang, Midah membuka segala yang menjadi deritanya. Bagaimana sikap orang tuanya mengetahui hal tersebut? Lalu, bagamana dengan Ahmad? Akankah Ia mau mengakui janin dalam rahim Midah. Temukan jawabannya.
Dan begitulah Pram hadir dalam nuansa ketertindasan dan perlawanan. Tidak ada sekalipun pandangan hidup yang muncul dalam novel-novel Pram yang berjibaku pada keputusasaan. Sebagai sudut bercerita, Midah, nampaknya menjadi sarkasme yang tangguh. Ia menelusup dalam tradisi, kekolotan, serta keberingasan hidup di kota Jakarta. Kebobrokan institusi juga disindir oleh Pram ketika Midah hendak melahirkan. Dan bukan lagi menjadi sesuatu yang muskil, kiranya begitulah potret Jakarta 50-an.

Novel ini juga mengusik warisan kepriyayian yang oleh Pram dianggap sebagai buah dari feodal-kolonial. Kelakuan tokoh-tokoh taat agama yang justru tidak berdaya melawan humanisme. Luntak dalam kekaguman atas prestis dan pujian. Namun, kiranya satu hal yang selalu kita dapatkan dari karya Pram adalah optimisme. Keteguhan seorang Midah dalam menerima segala konsekuensi. Ketabahan melawan hidup, serta keberpihakan Pram pada nilai kewanitaan dan gender. Khas dan bergairah. Konflik yang sengaja dibangun Pram dalam Midah Simanis Bergigi Emas nampaknya akan selalu pantas jika dihadapkan pada tradisi dan kekolotan bangsa Indonesia yang hingga kini masih subur. Semoga