Selasa, 05 April 2016

Tanah dan Gejolak Modernitas

Di atas tanah peradaban dibentuk. Tanah adalah muasal dari segala hasrat manusia pada kekuasaan, kemodernan, dan keberadaban. Di Ilheus, sebuah wilayah di selatan kawasan pantai Bahia, Brazil, tak ada yang lebih terhormat selain tanah dan kebun kakao yang subur. Saat itu, tahun 1925, tanah adalah identitas dan harga diri.
Dulu, perebutan tanah dan pertumpahan darah pernah jadi memori kelam kota Ilheus. Tanah yang semula hutan, bukit, dan lereng-lereng, jadi sumber segala macam kisruh. Orang-orang bertarung demi perebutan tanah. Ada darah dan nyawa yang dipertaruhkan demi sepetak tanah. Tanah adalah muasal dari peradaban Ilheus.
Jorge Amado, penulis kondang asal Brazil, menampilkan kota Ilheus sebagai kota sarat kisruh dan konflik berdalih perebutan tanah lewat novel Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis (2014). Novel tentang kehidupan pelik para pemilik tanah perkebunan kakao di tepi pantai kota Ilheus. Tanah jadi alasan orang-orang untuk singgah dan menanam cita-cita di Ilheus.
Kemonceran kakao memicu serentetan perubahan. “Kemajuan adalah kata yang paling sering terdengar di Ilheus…” (hlm.27). Kemajuan itu tampil lewat pendirian sekolah, bioskop, kabaret, pembacaan puisi di panggung yang megah, dan bar-bar modern.
Kemajuan mulai menggema sejak kedatangan Mundinho Falcao, pemuda penggagas pembangunan jalan demi kelancaran pengangkutan kakao. Dari jalan yang luas itu, melebarlah ide-ide kemajuan lain di Ilheus: pendirian Klub Kemajuan, organisasi para pengusaha dan profesional, klub sepak bola, Perhimpunan Sastra Rui Barbosa, hingga penerbitan Koran Ilheus.
Sebagai kota yang memiliki memori gelap perihal pertumpahan darah di masa lalu, Ilheus masih menyisakan karakteristik kepurbaannya. “Ada banyak pembicaraan mengenai kemajuan; uang mengalir deras; kakao membangun jalan-jalan, membuat permukiman, mengubah wajah kota. Namun, keterbelakangan, kebiasaan-kebiasaan lama tetap tidak berubah” (hlm.200).
Kemajuan di Ilheus belum menuntaskan kebebalan tradisi kuno tak beradab: kekerasan, perselingkuhan, pergundikan, perjudian, pembunuhan, dan pelacuran. Menggosip jadi pilihan tak berisiko daripada merombak tradisi yang terbelakang.
Kemajuan Ilheus teruji sejak gonjang-ganjing politik ramai dibicarakan publik. Gagasan Mundinho tentang kemajuan Ilheus membuat Ramiro Bastos, penguasa kota yang disegani, merasa gerah. Terutama inisiatif Mundinho perihal pengerukan gundukan pasir di pantai yang menghalangi kapal-kapal pengangkut kakao masuk ke Ilheus. Tujuannya agar kelak pelabuhan bisa dibangun sehingga bea ekspor bisa masuk ke Ilheus. Selama ini ekspor kakao dari Ilheus memang bergantung pada pelabuhan di Bahia, kota di bawah kekuasaan Ramiro Bastos.
Ketegangan terjadi. Adab berpolitik mulai dipertontonkan. Serangkaian teror dan aksi sepihak dilancarkan kubu Ramiro Bastos demi membungkam gerakan Mundinho. Dari pembakaran Koran Ilheus, yang pada edisi tersebut mewartakan gagasan-gagasan Mundinho, hingga penembakan tokoh pendukungnya. Isu politik jadi siasat Jorge Amado menampilkan keberadaban penghuni Ilheus.
Di antara kerunyaman dan suhu politik yang tinggi itulah kehadiran Gabriela menaut ke pelbagai peristiwa penting. Gabriela, perempuan yang dipekerjakan oleh Najib, seorang Arab pemilik bar, berhasil memikat para lelaki Ilheus berkat kepolosan, kecantikan, serta keahliannya memasak. Gabriela dikenal hampir di seluruh kawasan Ilheus, dari pendukung Mundiho maupun Ramiro Bastos. Mereka seakan-akan berlomba-lomba merasai pelukan Gabriela.
Kepolosan Gabriela jadi siasat Jorge Amado menghadirkan kritik sekaligus menertawai perilaku penduduk Ilheus yang klise, ironi, dan kerap munafik. Gabriela hadir di antara sengkarut perselingkuhan, persaingan politik, hingga dogma-dogma tradisional-feodal. Lewat tokoh Gabriela, Jorge Amado menyajikan humor-satir politis. Gabriela jadi corong bagi Jorge Amado menyuarakan pandangan politisnya.
Jorge Amado mengisahkan konflik kota Ilheus dalam racikan perspektif sosio-kultural-politis. Sebuah pengisahan yang membawa kita menelusuri karakteristik manusia pesisiran, dengan eksplorasi nilai-nilai etnografis-geografis. Kita disuguhi lanskap kebudayaan lokal Ilheus (juga Brazil), misalnya, tentang karnaval perayaan Natal, dansa, kabaret, capoeira, sirkus jalanan, serta pembacaan puisi di gedung yang megah. Sebuah masyarakat yang bergerak menapaki modernitas namun masih terbelenggu kepurbaan tradisi di masa lalu.
Dalam novel ini tema-tema kemajuan dan ketertinggalan bergerak beriringan jadi semacam ambivalensi. Jorge Amado mengajak kita “menyinggahi” Ilheus dengan kaki kanan berpijak pada keterbelakangan dan kaki kiri bertumpu ada hasrat kemajuan. Penceritaan ala foreshadowing dalam novel ini membuat alur cerita tetap menarik dan mendebarkan hingga akhir halaman.
Novel ini kian mengesahkan ketangguhan sastra Amerika Latin yang kini kian digandrungi pengarang nasional kita. Sebuah novel yang tak hanya mengisahkan tanah, tapi juga merekam perkembangan dan perubahan masyarakat, serta mengajukan preseden sebuah gerakan politik arus bawah menuju penggulingan sistem kekuasaan yang mapan. Sebuah novel beraroma politik namun sarat akan permasalahan sosial-kultural. []


Dimuat Harian Rakyat Sumbar, 2 April 2016