Kamis, 29 Agustus 2013

Tionghoa Pelik dalam Cerita


Sejauh mana sebuah cerpen menangkap dan menyajikan keadaan sebuah masyarakat tertentu? Cerpen, —karena  kependekannya—barangkali tidak mampu menghadirkan totalitas telisik dan pantauan atas sebuah peristiwa. Cerpen akhirnya memungut serpihan peristiwa, dan mewartakannya kepada pembaca. Daya ungkap dan  imaji sang cerpenis sanggup memergoki ketragisan, kemunafikan, dan kebohongan sebuah perkara, kemudian menghidangkannya sebagai cerita.

Laku dan  konflik masyarakat Tionghoa berhasil dihadirkan secara jeli dalam jagad fiksionalitas melalui sekumpulan cerpen  bertajuk Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina (Komodo Books, 2012) gubahan Hanna Fransiska. Kumpulan cerpen ini menghentak lewat suguhan cerita keterasingan, kepicikan, hipokrit, kebusukan birokrasi, dan  kekalahan. Sembilan cerpen dalam buku ini ditulis dalam getir dan nyinyir. Tiga cerpen ditulis di Singkawang, selebihnya di Jakarta. Pembaca dibujuk untuk sedih, tertawa miris, geram dan marah. Lakon masyarakat Tionghoa menjadi landasan  imaji demi mengangkat beberapa fakta dan peristiwa menjadi mozaik cerita pelik. Hanna sebagai seorang Tionghoa, mengungkap sejarah diri, kenangan, serta lingkungannya ke dalam cerita pendek.

Hanna hadir sebagai juru cerita yang tidak berangkat dari sekedar riset. Pengarang  lahir dan tumbuh di Singkawang, Kalimantan Barat. Daerah mayoritas dihuni kaum Tionghoa. Alhasil, kisah dan imaji yang disuguhkan dalam buku ini kuyub biografi diri si Pengarang. Cerpen-cerpen, seperti Kuburan Kota Bunga, Hari Raya Hantu, Kungkung, begitu lekat dan dekat dengan pengarang.

Masa kecil pengarang yang pernah hidup berdampingan dengan makam, memunculkan kisah kritis yang menyoroti sengketa pemindahan makam. Pemindahan makam ke atas bukit, sebanding dengan kompensasi yang diterima Ahli Waris, meski akhirnya dicerca masyarakat penganut tradisi. Simak petikan berikut:”bahkan mayat saja tak mungkin bisa menolak uang ganti rugi semacam itu, apalagi yang masih hidup?” Sementara ratusan yang lain menolak sambil berjaga siang malam, dan  tak henti menyumpahi mayat-mayat yang diangkut dengan upacara besar dengan sebutan, “mayat-mayat orang usiran”. Kutipan tersebut merepresentasikan hasrat pengarang mewartakan  kebobrokan sebagian masyarakat karena menjual keyakinan leluhur.
***
Hanna Fransiska mewartakan Tionghoa secara masif: budaya, tradisi, dan bahasa. Pembaca diajak mengenal secara akrab perihal Tionghoa. Ikhtiar menampilkan budaya Tionghoa kentara lewat penggunaan bahasa Hakka Singkawang: Kungkung (Kakek), Sukkung (adik laki-laki dari kakek), Kiu-kiu (adik atau abang dari Ibu), Ngoisong (keponakan), Bosong (orang yang punya ilmu kebatinan), dsb. Pengarang mengekalkan mitos dalam tertib cerita. Pembaca luruh dalam pikat penyampaian cerita. Meski disana-sini muncul bahasa adat, pembaca tidak sampai dibuat tersesat.

Sensitifitas pembaca diaduk-aduk. Nalar cerita merangsang emosi dan permenungan. Tragedi seorang ayah menukar anak gadisnya dengan hidangan kaki babi dan uang, hadir dalam cerpen Sembahyang Makan Malam. Penyesalan tokoh Ayah membawa pembaca luruh dan haru dalam penyesalan tiada tara. Hasrat perayaan Imlek yang lebih baik, dibayar dengan raibnya anak dan istri.

Puncak kekalahan dan keterpinggiran muncul dalam cerpen yang sekaligus dipatok sebagai judul buku Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina. Kekalahan dan penyesalan akut ditimpakan pada sosok Zhu yang teraniaya oleh aparat. Sulaiman hilang dalam sebuah tragedi pembakaran dan penculikan. Kisah ini buntut pergolakan petani kopi yang dituduh merusak hutan. Pengarang lihai memungut kisah Tionghoa pelik. Referensi pengarang tak diragukan. Pembaca seolah diperbolehkan melacak pelbagai khasanah literasi pengarang.
***
Menulis bagi Hanna Fransiska tak lain upaya menangkal frustasi. Pasca terbit kumpulan puisinya yang perdana Konde Penyair Han (2010) dan disusul Benih Kayu Dewa Dapur (2012), Pengarang sukses merangsang perhatian khalayak. Ikhtiar mengangkat tradisi dan mitologi Tionghoa lewat cerpen, berhasil mengukuhkan keberimanan seorang Hanna Fransisca. Meski harus diakui, secara alur, bebeapa cerpen masih terkesan “dipaksakan”. Kejelian Pengarang mengeksplorasi mitos cerita dan gaya bercerita yang detail, menjadikan buku ini layak dijadikan ajang permenungan atas kisah pelik masyarakat Tionghoa. Cerpenis sufi Danarto menganggap tema dan jalan cerita bukanlah yang terpenting. Yang paling utama dari cerita pendek adalah cara bertutur kata. Di  tangan Hanna, semua persoalan  penting dituturkan dengan cara yang anggun dan memikat. Dan pembaca musti membuktikannya.[]

1 komentar:

  1. Bisa tolong di post cerpennya secara lengkap? Saya mencari isi paragraf rumpang setelah sulaiman dan ibunya diusir dari rumah zhu tapi tidak ketemu. Mungkin di dalam buku ada cerita lebih lengkapnya. Terima kasih

    BalasHapus