Setelah menyimak cerpen
Kapal Perang karya Yusi Avianto Pareanom (Koran Tempo, 01/09/2013)
Ambillah sebuah misal.
Pada sebuah perjumpaan yang terjadi setelah satu tahun perpisahan, antara Anda
dengan teman Anda. Kali pertama bersua,
kiranya apa pertanyaan yang hendak Anda atau teman Anda ajukan? Kita pun bisa
menduga, karena barangkali, kita kerap melakukannya. Pertama, jelas, “apa kabar?”. Pada pertanyaan berikut, kita pun
dengan cepat menduga:”kerja di mana? Kapan kawin?” Bagi yang sudah menikah,
“kapan punya momongan?” Pada taraf inilah, kerap kali, basa-basi justru menjadi
semacam “bencana” bagi yang ditanya. Seperti di alam nyata, di dalam cerpen
pun, basa-basi selalu mendapat tempat.
Kita tak pernah tahu,
misalnya, betapa susahnya mencari pekerjaan zaman sekarang. Toh, semisal sudah
bekerja pun, seolah-olah jawaban yang diharapkan akan muncul harus
“membanggakan”. Kerja di pabrik, pegawai bank, pegawai negeri, dosen, polisi,
atau sejenisnya, adalah rentetan jawaban yang kerap diharapkan oleh si penanya.
Kita kerap dituntut sukses di mata penanya, tak peduli alasannya. Apalagi
menyangkut perkawinan. Bagi sebagian lelaki, seperti saya misalnya, pertanyaan
tersebut seperti halnya dua langkah sebelum kena skak. Meski ada cara
meloloskan diri, tetap saja pertanyaan tersebut teramat sumir.Bagaiman
seandainya, objek yang ditanya adalah individu yang memutuskan untuk tidak
kawin. Nah lho! Saya tentu menduga pertemuan itu akan jadi ajang debat kusir
tak berkesudahan.
Perspektif basa-basi
ini, sudah terlanjur mengakar kuat pada masyarakat kita. Seperti sebuah kolom
formulir KTP di mana segala pertanyaan mesti dijawab. Kita kerap enggan membuka
sebuah obrolan tanpa menyangkut urusan “dapur” lawan bicara kita. Kita terbiasa
bertanya hal-hal pribadi pada lawan bicara. Seolah-olah, basa-basi adalah
medium pemicu keakraban. Saya penah membahasnya semalam suntuk dengan
teman-teman tentang hal ini. Sebagian sepakat mencoba membuang jauh-jauh kebiasaan
ini, sebagian lagi pasrah pada keadaan. “Bagaimana lagi, begitulah masyarakat
kita”, ucap seorang teman, penganut lazyism.
Cerpen Kapal Perang karya Yusi Avianto Pareanom
(Tempo, 1/9/2013) dibuka dengan sebuah basa-basi yang tengah saya bahas di
awal. Seperti halnya basa-basi yang lebih sering bikin jengah, Abdullah Yusuf
Gambiranom, tokoh utama dalam novel ini, tengah gusar atas kelakuan tetangganya
yang kerap berasa-basi meski penanya tahu jelas apa jawabannya.
“Satu hal
yang lebih menjengkelkan Abdullah Yusuf Gambiranom daripada harus membersihkan
lantai rumahnya pada sembarang pagi setelah banjir surut adalah pertanyaan
tidak perlu dari tetangga-tetangganya tentang suatu perkara yang sudah
terang-benderang bagi semuanya:”Ngepel,
Pak Yus?”
….
“Hei, wong sudah ngerti kok masih Tanya.” Kejengkelan Abdulah Yusuf ini akan lebih
legit lagi jika kau mendengarnya dalam versi aslinya, bahasa Jawa semarangan.”
Bermula dari basa-basi
inilah cerita bergerak. Dan, bermula dari banjir yang langganan bertamu ke
rumahnya inilah, yang mengakibatkan Yusuf harus ngepel lantainya setiap pagi seusai setiap banjir reda. Kisah yang
berlatar di Semarang tahun 1975-1981 ini digarap secara detail. Nama-nama
tempat di Semarang, bagi yang bermukim di Semarang, akan tahu, sungguh-sungguh
ada: Rejosari, Pancakarya, Tirtayasa, Jl. Dr. Cipto, Jl. Mataram, kecuali
kampung Karangapi, yang konon terletak di antara dua jalan besar tadi. Selain
itu, pengisahan konflik yang bermula dari banjir yang datang hampir setiap
musim penghujan tiba, persis seperti tradisi banjir yang terjadi di daerah
Semarang. Terutama daerah pinggiran pusat kota. Saya menduga, pengarang pernah
tinggal atau berkunjung di Semarang. Tapi, pernah berkunjung atau tidak,
barangkali sungguh tidak penting, karena bagaimana pun, asli atau tidak
nama-nama tersebut, ini hanya sebuah cerita. Sebuah imajinasi dalam bentuk
kata. Kalau pun nyata, itulah kelebihan cerpen.
Syahdan, kisah menemui
titik penceritaan kala Yusuf berkeyakinan akan muncul banjir besar,
“setidaknya-tidak setengah meter setelah hujan deras turun tanpa ampun”. Maka,
tanpa komando tanpa pikir panjang, Yusuf memutuskan membuat perahu kertas, di
mana di atasnya ditaruh mercon yang akan disulutnya menjelang tengah malam.
Maka inilah klimaks dari cerita ini. Betapa cerpen ini hadir dalam posisi antara
keadaan (yang) realis dan kemagisan: keadaan yang kadang seperti sebuah
halusinasi, mimpi, juga nalar yang ganjil. Betapa cerita terbangun dari banjir
yang melanda rumah Yusuf, kemudian beralih menuju “ilham” untuk membuat kapal
dari kertas. Seperti begitu saja terjadi. Maka jangan heran ketika Yusuf
menyulut petasan di atas kapal kertas, dan meletus di tengah malam yang
berbanjir. Dan tetangga diam tak peduli. Seperti tahun baru atau hari raya di
mana petasan adalah sebuah kelaziman. Cerpen ini ditutup dengan sebuah
lompatan. Konon, di tahun 1981, Yusuf jadi pengusaha sukses, dan memutuskan
meninggikan bangunan rumahnya hampir satu setengah meter. “Ketika kemudian pada
tahun yang sama banjir besar melanda Semarang dan semua rumah di kampungnya kebanjiran
lebih dari satu meter, rumahnya tetap kering. Hari itu ia sudah melupakan
perahu-perahu bermerconnya, tapi ia sungguh berharap air makin tinggi saja.”
Seketika lenyaplah kebiasaan melarung kapal kertas serta menyulut mercon di
atasnya.
Dari cerpen ini,
tampaknya saya hampir-hampir meyakini ucapan Ayu Utami dalam sebuah pengantar Cerpen Kompas Pilihan 2007 (Kompas,
2008):”Demikian, realisme menyederhanakan dunia sesuai kehendak pengarangnya.”
Akan lebih mudah membuatnya tiba-tiba memutuskan membuat “kapal kertas
bermercon” tanpa tendensi apa-pun. Seperti hanya “menyenangkan” ketiga anak
Yusuf lewat permainan membuat kapal semata. Padahal, pada titik inilah, cerpen
ini menahbiskan diri sebagai cerita utuh. Saya sempat berpikiran, apabila tidak
ada fragmen bermain kapal bermercon, cerpen ini bagai ingatan yang dituliskan.
Seperti saat kita bercerita tentang kampung halaman kepada rekan-rekan. Ada pun
kenangan dan ingatan itu adalah kenyataan yang hidup dalam pikiran. Namun,
tidak salah juga bila “ingatan” itu hadir di Koran Tempo, menjadi sebuah cerita pendek yang, meski tidak muncul
sebuah ketegangan atau konflik cerita yang berarti, tetaplah buah dari
imajinasi dari si pengarang.
Benar jika pesimisme Ayu
Utami cenderung “memojokkan” karya-karya realis—dimana segalanya mesti tertib
dan lurus. Namun, untuk mengatakan cerpen ini sebagai cerpen lurus, saya kurang
cocok. Barangkali, keadaan, atau penceritaan, atau sejenis gaya dari cerpen
realis adalah di mana sebuah cerpen berhasil menmpilkan satu kisah utuh, dengan
pengupayaan nalar dan alur yang runtut, meski kadang keterbatasan “ruang” dalam
cerita pendek kurang berhasi menampilkan “kenyataan” senyata-nyatanya dalam
cerpen realis. Keadaan ini bisa dimaklumi jika cerita yang dihadirkan adalah
satu potongan utuh, tidak lagi terpecah dalam keganjilan kisahnya. Misalnya,
dalam cerpen ini, bagaimanapun, sebagai cerpen realis, pembaca kerap menuntut
alasan yang sejelas-jelasnya dari setiap adegan, ataupun cerita. Ketidakutuhan
logika cerita kerap menjadi dalih kritik. Oleh karena itu, pada posisinya yang
tidak terlalu aman, ditambah kemajuan zaman yang menuntut perubahan genre
secara terus menerus, realis memang kerap mendapat banyak “ruang” namun sedikit
mendapat “penghargaan”. Oleh karenanya, cerpen realis tetaplah harus bergerak
mencari “terobosan”. Ia tidak sepatutnya merasa “nyaman” seperti kala pertama
muncul pasca-kolonialisme. Cerpen Kapal
Perang, bernilai ketika aroma “halusinasi” muncul begitu saja secara hampir
tidak terbaca. Meski pada akhirnya, seperti mayoritas cerpen realisme,
pengarang adalah “tangan Tuhan” yang bergerak melampaui "ke-realisme-an" sebuah cerita. Ketika tiba-tiba, Abdullah Yusuf, mendadak kaya,
dan mendadak melupakan momen melarung kapal kertas bersama anak-anaknya….
mantap, bagus..!! Benar senantiasa ada yang membekas di kepala. duh, cepat banget updatenya pak, Makasih. Oya sesekali berkunjunglah ke blog sederhana saya pak, kasian tak atak pengunjung..http://buana-kata.blogspot.com
BalasHapusterimakasih atas atensinya. Oke, mari saling berkunjung...
BalasHapus