Bagi
orang Jawa, rumah tidak sebatas tempat tinggal. Lebih dari itu rumah sanggup memberi
identitas. Setiap bagian rumah memiliki pemaknaan yang merujuk pada hubungan sosial
kemasyarakatan. Rumah bisa memicu masalah bila salah satu bagiannya alpa
ataupun sengaja ditiadakan. Ketiadaan pintu belakang rumah Jawa menjadi
penyebab beberapa masalah pelik. Bukan saja terkait hubungan dengan masyarakat,
bahkan, isu klenik muncul dari urusan pintu belakang.
Teka-teki
pintu belakang rumah Jawa berhasil menyeret perhatian etnografer-cum-peneliti Jan Newberry, asal
Universitas Leithbridge, Alberta, Kanada. Pada mulanya, Newberry hendak melakukan
penelitian perihal kaitan antara masyarakat pertanian dan negara di sebuah kampung
di sudut kraton Yogyakarta bernama Rumah
Putri. Namun, pada kenyataannya, ia justru menghabiskan waktu di dapur
orang Jawa perkotaan, di antara orang miskin dan warga kelas pekerja.
Buku
bertajuk Back Door Java: Negara, Rumah
Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa karya Jan Newberry adalah hasil penggalian
dalam memaknai situasi masyarakat kampung dan kemistikan pintu belakang rumah
Jawa. Proses penelitian dilakoni secara langsung oleh penulis dengan berperan
sebagai ibu rumah tangga di kampung. Meneliti sekaligus melakoni pekerjaan
domestik ibu rumah tangga Jawa.
Ketertarikan
penulis mengungkap hal-hal terkait rumah Jawa ini bermula saat mengontrak rumah
tempat menginap selama penelitian. Ketiadaan pintu belakang menjadi penyebab
atas serentetan hal-hal unik dan menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Pelajaran
tentang kesahihan pintu belakang terjadi saat penulis kedatangan tamu. Kebetulan,
saat penulis kedatangan tamu, ia sedang kehabisan persedian gula dan teh. Mustahil
menolak tamu sembari menunggu pesediaan teh dan gula terpenuhi. Penulis tangkas
menyuruh seorang anak kecil membeli gula. Suguhan bagi tamu menjadi mutlak jika
tidak ingin dicap pelit atau angkuh.
Di
luar sangkaan. Si anak kembali dari membeli gula dan berjalan masuk ke dalam
rumah dengan kantong gula tersembunyi di balik bajunya, yang terpaksa
dilakukannya karena masuk lewat pintu depan (hlm.15-16). Penulis tercengang. Ketiadaan
pintu belakang, sanggup berpengaruh pada sikap seorang anak. Pintu belakang
memberi ruang interaksi antar masyarakat Jawa ketika terjadi kebutuhan mendadak
seperti dalam kasus tersebut. Tolong-menolong dan interaksi antartetangga menjadi
alasan kenapa setiap rumah wajib memiliki pintu belakang.
Pintu Belakang dan Slametan
Demi
menunaikan tugas penelitian sekaligus berpartisipasi menjadi bagian dari
masyarakat, penulis bertekad menggelar ritual yang lazim dilakukan warga
setempat. Niatan ini membawanya pada keinginan untuk mengadakan slametan. Merujuk ulasan C. Geertz, slametan adalah pengungkapan ringkas
beberapa nilai-nilai utama Jawa yang saling berhubungan dan saling memperkuat.
Namun, bagi penulis, ritual ini tak lebih upacara memberi makan anggota
masyarakat. Makanan dihidangkan bagi warga, sanak keluarga, tetangga, serta roh
dengan imbalan selamat (hlm.63).
Ketiadaan
pintu belakang lagi-lagi berpengaruh besar dalam hajatan kali ini. Bu Sae, tetangga
terdekatnya, tanpa menunggu masukan penulis dengan cekatan berinisiatif mengatur
proses memasak makanan untuk disajikan kepada tamu. Bu Sae menghendaki proses
memasak dikerjakan di dapurnya. Dengan alasan, ketiadaan pintu belakang di
rumah penulis tidak memungkinkan untuk mencari tambahan jika sewaktu-waktu
terjadi kekurangan sesuatu, misalnya kurang gelas, piring, atau teh (hlm. 64).
Tamu pantang menyaksikan kekurangsiapan dari empunya hajat. Kesuksesan dalam slametan mengacu pada keterampilan
mengelola dan menyiapkan makanan. Aturan ini menuntut penulis manut pada
“kekurangajaran” Bu Sae dalam mengambil-alih tugas sebagai tuan rumah meski merasa
dianggap sebagai orang asing di rumah sendiri.
Tiga
tahun pascapenelitian, penulis kembali berkunjung ke rumah kontrakannya dahulu.
Penulis heran mendapati rumah tersebut sepi dari pengontrak. Isu mengabarkan
rumah tersebut berhantu. Rumah berhantu menjadi alasan kuat membiarkan rumah
sepi dari pengontrak. Cerita hantu jadi obrolan sedap perihal rumah kosong. Pun
akhirnya penulis mendapat satu keterangan logis. Cerita hantu adalah sebuah
cerminan dari masalah struktural yang lebih mendalam mengenai rumah tersebut
yang tidak memiliki pintu belakang. (hlm.3).
Keberadaan
pintu belakang rupa-rupanya menjadi arus lalu-lintas manusia Jawa demi menjalin
kekerabatan, rasa sosial, interaksi
antartetangga, hingga urusan klenik. Kedatangan
Jan Newberry ke Indonesia memang gagal mengorek tema pertanian dan negara,
namun sukses menguak jagat Jawa dari penafsiran pintu belakang rumah. Penulis
berhasil menyajikan sederet hasil penelitian sekaligus pengalamannya secara detail
berkat usahanya melakoni hidup sebagai “manusia Jawa” meski sementara.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar