(Setelah membaca novel Pulang karya Leila S. Chudori)
Sejarah selalu
menampilkan wajahnya dalam seribu bentuk yang berbeda. Ia bukan kebenaran
tunggal. Ia mempunyai sandi yang sulit diurai dan diluruskan. Manusia memberi
kesaksian sebagai pamrih menguak arti “kebenaran” sejarah. Namun, tetap saja,
manusia sukar mengukuhkan sejarah dengan utuh, tunggal. Selalu ada suara yang
muncul demi menunaikan kesaksiannya.
Indonesia sesak atas
bercak dan noda sejarah di tubuhnya. Tragedi G30S adalah luka yang terlalu
sulit untuk dihilangkan bekasnya. Luka itu terlalu dalam, terlalu banyak
penghilangan nyawa manusia sebagai mahar kekuasaan dan dinamika politik. Mereka
yang menjadi korban, hilang tak kembali. Mati tak bernisan dan tak berjejak.
Sebagian bernasib baik
daripada mati sia-sia. Mereka adalah yang (kebetulan) sedang bertugas di luar
negeri. Mereka memang tidak mati. Tapi, manakah yang lebih baik antara mati
tinimbang hidup dalam teror dan pengucilan kehidupan? Mereka dicap “kotor” oleh
pemerintah Indonesia. Di perantauan, di negara yang bukan Tanah Air sendiri, mereka
terus dikejar, diburu, difitnah, dan tak ada celah bagi mereka yang pernah
menganut, menjadi bagian dari keluarga, atau sebatas kenal, juga simpatisan,
komunis.
Dimas Suryo, seorang
yang sama sekali tidak terlibat, netral, namun mengenal tokoh-tokoh komunis,
menjadi “korban”. Dimas menolak sebutan “korban”. Menjadi korban, seolah-olah kalah,
tak mampu berbuat apa-apa. Dimas berjuang, melawan, dan membuktikan kebenaran
atas keyakinannya.
Saat tragedi berlangsung,
Dimas sedang menghadiri Konferensi International
Organization of Journalists di Santiago, Cile, karena tugas pekerjaan dari
tempatnya bekerja, kantor berita Nusantara. Ia menjadi “buronan” karena dituduh
“berteman” dengan aktifis PKI. Dengan segala cara, ia dan teman-teman senasib,
mendapat suaka di Perancis. Hidup sebagai buronan tanpa pernah melakukan
kesalahan adalah siksa hidup tiada tara. Mereka harus bertahan,
berpindah-pindah, demi kelangsungan hidup mereka. Dengan susah payah serta
persatuan para eksil inilah, berdirilah sebuah restoran Tanah Air di Rue de
Vaugirard, Paris.
Restoran Tanah Air
adalah perjuangan dan perlawanan. Di sini mereka mempertahankan prinsip hidup
mereka sebagai seorang eksil yang merasa dikhianati pemerintah. Mereka adalah
kaum yang setia pada Indonesia, meski ditentang oleh pemerintah Indonesia.
Puluhan tahun mereka bertahan tanpa kepastian nasib menginjakan kaki di tanah
kelahiran. Hidup dirantau dengan sejuta kutukan dari penguasa adalah luka yang
teramat menyayat bagi para Indonesianis yang tertawan tak bisa pulang.
Hingga saatnya tiba,
tibalah kabar yang entah itu kabar baik atau buruk. Tragedi Mei 1998, kerusuhan
pecah di Jakarta. Rezim Orde Baru hendak menaikan harga BBM. Di tengah krisis
yang berkecamuk, diperparah dengan masuknya kerabat Presiden ke dalam kabinet,
terjadilah aksi dari seluruh elemen masyarakat yang dimotori mahasiswa,
menentang kisruh pemerntahan yang sudah berkuasa bertahun-tahun. Satu tuntutan
reformasi: turunkan rezim Orde Baru!
Reformasi bergema hingga
ke Paris. Impian untuk kembali menengok tanah yang selama in mereka
perjuangkan; tanah yang selama ini mereka banggakan; tanah yang justru membuat
mereka tak bisa kembali berpuluh tahun lamanya. Di usia mereka yang semakin
tua, adakah “pulang” masih menjadi momen yang istimewa?
Mereka yang terlanjur
mengalami luka yang teramat pedih akibat cap, stigma, fitnah, serta teror yang
terus berkepanjangan? Adakah mereka memilih “pulang” meski belum adanya
jaminan, bahwa, pemerintah berikutnya sanggup membersihkan label “pengkhianat”
pada diri mereka karena beban sejarah yang pernah mereka alami? Novel Pulang (Kepustakaan Populer Gramedia,
2013) karya Leila S Chudori adalah sejarah yang memancar dari mata, luka, dan
jerit kaum eksil yang bertahun-tahun tak diakui “keindonesiaannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar