“Masihkah aku membutuhkan perumpamaan untuk mengungkapkan
ini?”,
tulis Wiji “Thukul” Widodo dalam sebuah puisi masih dalam bentuk tulisan
tangan. Puisi ini adalah hadiah dari Thukul kepada Prof. Dr. W.F. Werthein pada
perayaan ulang tahunnya yang ke-90, sosiolog dari Belanda dan ahli Asia
Tenggara. Puisi ini berhasil dikumpulkan dalam sebuah buku tipis bersampul
cokelat, terbitan edisi khusus majalah Tempo
(13-19 Mei 2013), berkat bantuan Jaap Erkelens, sahabat Thukul yang juga
Direktur Konnklijk Instituut voor Taal, perwakilan Jakarta. Maka dari puisi
tersebut, kita pun mafhum, kita bisa memahami Thukul: bagaimana mungkin
seseorang sanggup menuliskan sajak-sajak sarat metafora lagi melankolia jika ketertindasan
hidup selalu jadi sarapan di setiap paginya?
Maka buku tipis berjudul
Para Jenderal Marah-marah: Kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam Pelarian
adalah bunga rampai yang menunjukan pergulatan serius, terhadap teks-teks yang
terlahir dari kesepian, ketertekanan, kekhawatiran, hingga kekerasan yang
Thukul alami semasa pelarian diburu intel penguasa. Puisi tertanggal 1 November
1997 di Jakarta ini, pada akhirnya menjadi semacam penegas, klimaks, dari apa
yang Thukul alami sedari proses kreatifnya hinga menjelang akhir tahun 1998.
Sebuah masa di mana Thukul menemui babak akhir dalam pelariannya.
Thukul memang penantang
abadi. Penentang yang bersuara hampir di setiap bagian hidupnya. Pada puisinya,
ia mencipta patron perlawanan anti-penindasan. Ia moncer sebagai penyair
perlawanan sejak puisi Peringatan (1986)
terdengar lantang di setiap mimbar unjuk rasa, diskusi, hingga pentas teater.
Tahun 1987, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Thukul memproklamasikan “sastra
ngamen” dan “sastra gugat”. Sebuah kredo tentang bagaimana puisi, seperti isi
sajak Peringatan, sanggup menggugat
keadaan negara yang diktator lewat kata-kata bertenaga. Kredonya pun mewabah
dan menjangkiti siapapun yang mendengar atau membacanya, terutama aktifis,
mahasiswa, dan rakyat tertindas. Puisi ini bagai nyamuk bagi penguasa Orde
Baru, bersuara berisik dan menggigit. Thukul mendermakan diri untuk perlawanan.
Dan sajaknya, hidupnya, hingga seluruh perjuangannya bermuara pada satu tujuan:
menentang penindasan!
Perumpamaan dalam sajian
sajak-sajak Thukul, hadir meski seperti “tak hadir”. Buku setebal tiga puluh
tujuh halaman ini menghadirkan perumpamaan tak sekedar akrobat kata. Teks yang
lahir adalah kenyataan hidup, refleksi kehidupan namun tak sempat larut pada
kontemplasi yang mengutamakan, untuk tidak mengatakan “mementingkan, bahasa
metaforis. Dalam puisi Buat L. Ch & A. B Thukul menulis:”pagi itu/ budimu menjadi api/ /tapi aku
harus pergi lagi/ mungkin tahun depan/ atau entah kapan/ akan kuketuk lagi/
daun pintumu/ bukan sebagai buron. Api adalah sesuatu yang menggelora. Api
menciptakan gerak, energi, dan cahaya. Api adalah perumpamaan tak berlebihan
saat puisi menjelaskan:”bukan sebagai
buron”. Maka “api” adalah segumpal energi yang lahir setelah bersembunyi
entah berapa lama. Tanpa memandang keberadaan sejarah hidup Thukul, kita segera
tahu bahwa puisi ini berkisah tentang petualangan seorang buron pemerintah,
penentang kekuasaan. Perumpamaan yang muncul dalam puisi “Pepatah Buron” jadi
perumpamaan kritik. “Penindasan adalah
guru paling jujur/ bagi yang mengalami/ lihatlah tindakan penguasa/ bukan
retorika bukan pidatonya. Dan begitulah sebuah perumpamaan bagi Thukul,
suara yang tidak terlalu rumit. Suara yang jelas-jelas lahir dari situasi dan
kondisi.
Gagasan
Kekuasaan tiran pada
akhirnya jadi tema sentris kritik dalam puisi-puisi Thukul. Setiap puisi adalah
kelahiran dari apa yang dirasa oleh si manusia pencipta. Toh, ketika Thukul
berhasil mengafirmasi puisinya dengan pilihan kata yang, tak lagi “keras”, ia
tetap mengimbuhi puisinya dengan sebuah gagasan utuh. Simaklah:”jilatan matahari/ segarnya udara
pagi//alangkah indah negeri ini/ andai lepas dari masa ganas tirani.
Petilan puisi bertajuk Bagi Siapa Kalian
Memetik Panenan ini memberi petunjuk betapa gagasan perlawanan itu pada akhirnya
adalah utama. Thukul merasa dirinya sebagai pribadi yang harus memperjuangkan
apa yang ia derita. Maka, perlawanan demi diri yang lebih baik adalah utama. Thukul
(1994) menulis: “Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya
sendiri”.
Jika persoalan hidup
adalah puisi, maka perumpamaan adalah sisi yang diolah dari bagian persoalan hidup.
Persoalan hidup jadi acuan perumpamaan. Sederet kisah dan tragisme hidup sebagai
“penentang” tampak dari sebagian besar puisi yang terkumpul dalam buku Para Jenderal Marah-marah. Keindahan
puisi Thukul adalah kehidupan yang “nyata”, yang benar-benar “hidup”, yang
menghiasi setiap puisi-puisinya. Dalam buku ini, kita bakal mendapati kisah dan
persoalan hidup Thukul (Para Jenderal
Marah-marah, Catatan), penderitaan dalam pelarian (Aku Diburu Pemerintahku Sendiri, Ujung Rambut Ujung Kuku, Di Ruangan
Ini yang Bernafas Cuma Aku, Hujan Malam Ini Turun, Bulan Agustus Sudah Tiba,
Nonstop 24 Jam), kredo kepenyairan (Maklumat
Penyair, Penyair, Meditasi Membaca Buku, Sajak), hingga hubungan antar
Thukul dan Keluarga (Peluk Sekuat
Cintamu, Dengan Apa Kutebus Anakku, Habis Upahan, Wani, Bapakmu Harus Pergi).
Pada mulanya,
puisi-puisi wiji Thukul, adalah gagasan. Kita bisa menikmati puisi Thukul,
selain etos perlawanan dalam sajaknnya, adalah kesederhanaan Thukul dalam
menempatkan apa yang ia alami sehari-hari, ke dalam ramuan puisinya. Siapapun
bakal tersenyum menyimak petilan sajak Para
Jenderal Marah-marah:”Aku lalu mandi.
Aku hanya ganti baju./ Celananya tidak. Aku memang lebih/ sering ganti baju
ketimbang celana. Atau, sajak berbahasa Jawa yang genit dalam Warung Kopi Yu Yen:”yen kadhemen/ mang kemulan/ niki wonten kemul anyar/ kemule saged
ngentut/ jenenge narti! Dalam bahasa Indonesia
kurang lebih seperti ini:”jika kedinginan/
pakai selimut/ ini ada selimut baru/ selimutnya bisa kentut/ namanya narti!”.
Pada sajak-sajaknya yang lain, gagasan tetaplah yang utama. Sebuah
sajak, adalah apa yang menurut Thukul harus disuarakan berdasar segala yang
menimpa dirinya. Puisi adalah biografi dan jalan pikiran. Puisi bisa jadi
rujukan kuat untuk mengenali dan memaknai laku hidup dan derita hidup yang
pernah Thukul alami selama pelarian, di bawah rezim Orba, serta kemiskinan yang
melanda hidupnya. Maka ketika puisi berjudul Sajak (1987), dengan lantang bersuara: ”sajakku gerakan/ bahasaku perlawanan/ kata-kataku menentang/ ogah diam”,
maka kata-kata itu sepenuhnya jalan pemikiran. Apa yang ia tulis adalah apa
yang ia yakini. Bisa jadi,
“kepergiannya” yang entah, menjadi bukti bagi gagasan-puisinya. “Kalian bisa bikin tubuhku lebam/ membiru/
tapi tak bisa kalian padamkan/ marahnya kepalan kata-kataku!”, tulis Thukul
tahun 1993. Ia sepenuhnya benar. Meski pada keadaan yang lebih menakutkan
ketimbang “tubuhku lebam”. Dan, pada titik inilah, kita mesti bertanya, masih
perlukah sebuah perumpamaan dipakai demi “merias” puisi untuk menceritakan “tubuh
lebam” dan nyawa yang hilang, seperti yang Wiji Thukul alami?[]
Bibliografi:
Thukul, Wiji. 2013. Para Jenderal Marah-marah. Edisi spesial
majalah Tempo edisi 13-19 Mei.
Thukul, Wiji. 1994. “Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya”,
dalam Jurnal Revitalisasi Sastra
Pedalaman, Edisi 2, November.
(Dimuat di Riau Pos 1 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar