Judul:
Lukisan Neraka
Penulis :
Ryunosuke Akutagawa
Penerbit :
Kansha Publishing
Terbit :
Mei, 2013
Tebal :
200 halaman
ISBN :
978-602-179-612-2
Neraka,
dalam konsep agama, dimaknai sebagi tempat pembalasan amalan buruk
manusia setelah wafat. Buku Kamus Bahasa Indonesia (2008)
mencatat neraka sebagai alam akhirat tempat (api) penyiksaan untuk
orang yang berdosa. Buku berjudul Lukisan Neraka dan Cerpen
Pilihan Lainnya (2013) karya Ryunosuke Akutagawa (1892 –
1927) memuat enam cerita pendek. Di antaranya mengisahkan ambisi
manusia dalam “memotret” keadaan, kondisi, dan suasana neraka ke
dalam sebuah lukisan. Lantas, seperti apakah lukisan neraka itu?
Konon,
hiduplah seorang Pangeran Besar di Horikawa. Ia dikenal begitu
kontroversial oleh rakyatnya. Segala tindak tanduknya kerap di luar
perkiraan. Pangeran kerap mengajukan permintaan-permintaan aneh. Di
antaranya, Pangeran pernah menyuruh putra tercintanya dikubur di
bawah tiang penyangga jembatan tanpa tujuan yang jelas. Pangeran juga
gemar meminta dibuatkan lukisan, terutama kepada Yoshihide, pelukis
yang juga kontroversial, amoral, serta berperilaku kasar.
Yoshihide
mentahbiskan dirinya sebagai pelukis nomor satu di Jepang. Setiap
lukisan yang lahir dari tangannya selalu mengundang decak kagum dari
masyarakat. Ia pun kerap melakukan aksi-aksi konyol sebelum melukis.
“Pelukis yang belum matang tidaklah mungkin bisa memahami keindahan
yang tersimpan dalam sesuatu yang buruk,” ujar Yoshihide (hlm. 16).
Meski berpenampilan urakan, kasar, dan sombong, ia tetaplah manusia
yang memiliki cinta kasih. Kepada anak gadis satu-satunya, yang
menjadi pelayan muda Pangeran Besar, Yoshihide mencurahkan seluruh
kasih sayang. Apapun akan ia lakukan demi menjaga putri
kesayangannya.
Hingga
pada satu kesempatan, Yoshihide diminta oleh Pangeran Besar untuk
membuat sebuah lukisan neraka. Yoshihide menyanggupi, dengan syarat,
Pangeran Besar bersedia membakar sebuah kereta dengan penutup daun
jambe, berisi perempuan bangsawan, di hadapannya. Bukan Pangeran
Besar namanya, jika tak sanggup memenuhi syarat tersebut. Maka
disusunlah rencana pembakaran tersebut. Tiba saatnya malam ritual
“gila” itu dilaksanakan.
Disaksikan
Pangeran Besar dan Yoshihide, pembakaran kereta berlangsung mencekam.
Suara erang perempuan dari dalam kereta yang terbakar! Tanpa
Yoshihide ketahui, perempuan bangsawan yang ia minta sebagai syarat,
justru putri kesayangannya. Bisa dibayangkan perasaan Yoshihide saat
itu. Lalu, sanggupkah Yoshihide menyelesaikankan lukisan neraka itu?
***
Begitulah
ciri khas karya Ryunosuke Akutagawa, sastrawan “antik” dari
Jepang. Penulis novel dan cerita pendek dengan kecenderungan
imajinasi kelam dan mencekam. Sebelumnya, terjemahan novel Kappa
(Interprebook, 2009), sudah lebih dahulu beredar di Indonesia, juga
menampakan kisah sarat halusinasi kacau dan mistis. Novel pendek
berisi satire dan analisis sosial budaya Jepang. Selain karyanya,
kisah hidup Ryunosuke juga tak kalah absurd dan menggentarkan.
Ryunosuke
lahir dan tumbuh dari keluarga bermasalah. Ayahnya seorang pribadi
yang temperamental dan ibunya pengindap schizofrenia akut, meninggal
saat Ryunosuke berumur sepuluh tahun. Masalah psikologis keluarga
memengaruhi perkembangan selera bacaannya, yang tertuju pada
tema-tema ganjil dan gaib. Kegandrungan membaca buku-buku kuno, serta
kesedihan hidup sedari usia muda, tercium jelas di setiap tulisannya.
Seperti
halnya nasib sang ibu, Ryunosuke mengindap schizophrenia, halusinasi
akut, dan kemerosotan mental. Tepat tanggal 24 Juli 1927, ia
ditemukan tak bernyawa oleh istrinya karena minum terlalu banyak
kalium sianida. Tak mengherankan jika buku ini menyajikan sederet
imajinasi dengan kecenderungan deskripsi halusinatif.
Kisah
seputar dimensi amoral (Lukisan Neraka), halusinasi kematian
dan kisah mistis (Roda Gerigi, Dewi Agni), serta kesedihan
masa kecil (Gerobak Dorong), menjadi pengabsahan atas
tema-tema kelam Ryunosuke dalam dominan cerita. Kisah tersebut tak
pelak mengundang tafsir pembaca atas dunia imajinasi penulis yang,
bisa dikatakan, ”sadis”. Jonjon Johana, penerjemah buku ini,
berhasil memindahkan “kengerian” cerita secara detail, tanpa
mengesampingkan estetika sastra: salah satu kelemahan proyek
penerjemahan buku.
Namun
sayang, buku ini luput menyajikan pengantar bagi pembaca. Paling
tidak, memberi sedikit ulasan karya dan membicarakan sepintas sejarah
psikologis Ryunosuke. Kehadiran pengantar memungkinkan bagi pembaca
awam memasang “kuda-kuda” mental sebelum masuk ke dunia
halusinasi dan imajinasi kontradiktif ala Ryunosuke.[]
Dimuat
di Solopos. 10 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar