Apakah pengarang benar-benar telah “mati”, ketika, teks dihadirkan
di hadapan pembaca? Lalu, bagaimana kekayaan kultural sebuah teks sastra bisa
digali selapis demi selapis, jika, latar belakang pengarang—sejarah diri,
tradisi budaya tempat pengarang lahir dan besar—tidak ikut serta didedah?
Sederet pertanyaan tersebut adalah sedikit dari dalih Maman S
Mahayana untuk tidak serta merta menerima esensi dari esai The Death Of Author (1977) karya Roland Barthes. Keyakinan Barthes,
bahwa, teks yang sudah lengkap mewakili ihwal pengarangnya, bagi Maman, tidak
sepenuhnya bisa disetujui. Melalui rangkaian esai yang terdiri dari tiga bagian
ini: (1) tradisi dan intelektualitas, (2) pengarang dan dunia teks, (3) gerakan
sastra Indonesia, Maman mencoba merunut peran kepengarangan dengan satu misi
besar: pengarang tidak mati ketika teks disidangkan di hadapan pembaca.
Membaca teks dari tinjauan histori, berarti membaca semangat,
kondisi dan keadaan etnografi dimana ia dilahirkan. Jejak kepengarangan adalah
ruang untuk mengungkap bagaimana sebuah teks sastra mampu didedah secara intensif.
Buku ini mengajak pembaca menyelami jagat sastra Indonesia sejak Abdullah bin
Abdul Kadir Munsyi, hingga pandangan atas sastra Indonesia di masa depan.
Dinamika sastra Indonesia membawa Maman pada satu pokok: menyoal peranan
pengarang.
Penelusuran problem kepengarangan disampaikan dengan otokritik yang
memotret kondisi atas intelektualitas, stigma dan peran sosial pengarang. Maman
sempat menyoal sastrawan yang kerap mandeg dalam mengembangkan intelektualnya.
Kondisi calon pengarang yang seolah-olah dilegitimasi oleh sikap yang lebih
mementingkan penampilan tinimbang karya. Selain pengarang, laju sastra
Indonesia juga diukur atas respon kritikus dan pembaca. Peran masing-masing
adalah mutlak. Teks yang hadir harus diimbangi dengan respon pembaca. Dan teks
itu sendiri, memerlukan kritikus untuk mewartakan ke publik: perihal kekayaan
teks sastra dari pelbagai sudut tinjauan ilmu.
Pengarang, sebagai salah satu komponen kesustraan tersebut, sudah
semestinya digali dan ditampilkan sebagai pamrih atas teks yang dihasilkannya.
Teks adalah saripati pemikiran pengarang yang terbentuk berkat pengaruh tradisi
dan budaya. Keberhasilan teks merengkuh nilai estetikanya, jelas, tidak bisa
diceraikan dari biografi kultural pengarang sebagai “tuhan” atas karyanya. Karakteristik
keindonesiaan yang lahir dari pengarang Indonesia tentulah tidak bisa serta
merta dianggap “ada” dengan sendirinya.
Tinjauan sejarah menunjukan, sastra Indonesia begitu kenes
menampilkan wajah lokalitas kultural masing-masing pengarangnya ke dalam teks.
Maman sebagai kritikus menilai, dengan demikian, peranan pengarang pada level
ini mampu mencakup ruang teks yang dihasilkannya. Pernyataan Barthes—pengarang
sudah mati di hadapan pembaca--sepatutnya mendapat sanggahan. Melibatkan unsur
pengarang dalam teks sastra, menjadi misi mengurai kekayaan nilai-nilai budaya,
sejarah, dan politik. Yang demikian ini membantu pembaca dalam memahami
relevansi situasi dan kontemplasi, serta etos penciptaan karya sastra.
Teks sebagai wakil dari keseluruhan tafsir—merujuk Barthes—menepiskan
biografi diri pengarang dan sejarah penciptaan teks. Bagaimanapun, faktor
tradisi dan budaya pengarang mempengaruhi cara pengucapan, gaya bahasa, atau
diksi dari pengarang tersebut. Keterpengaruhan pengarang atas tradisi budaya
bisa dibuktikan dalam beberapa contoh karya sastra, sebut saja semisal, Para Priyayi karya Umar Kayam, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari,
Canting karya Arswendo Atmowiloto.
Beberapa novel tersebut kentara menampilkan tradisi budaya pengarang dalam
pengisahan cerita. Dari sudut pandang inilah, pengarang tentu saja “belum”
mati. Pengarang muncul dalam teks sastra melalui ungkapan khas, gaya bahasa,
juga diksi. Rangkaian dalih ini membawa posisi tawar atas esai the death of author-nya Roland Barthes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar