Kamis, 12 September 2013

Membantah Kematian Pengarang

Apakah pengarang benar-benar telah “mati”, ketika, teks dihadirkan di hadapan pembaca? Lalu, bagaimana kekayaan kultural sebuah teks sastra bisa digali selapis demi selapis, jika, latar belakang pengarang—sejarah diri, tradisi budaya tempat pengarang lahir dan besar—tidak ikut serta didedah?

Sederet pertanyaan tersebut adalah sedikit dari dalih Maman S Mahayana untuk tidak serta merta menerima esensi dari esai The Death Of Author (1977) karya Roland Barthes. Keyakinan Barthes, bahwa, teks yang sudah lengkap mewakili ihwal pengarangnya, bagi Maman, tidak sepenuhnya bisa disetujui. Melalui rangkaian esai yang terdiri dari tiga bagian ini: (1) tradisi dan intelektualitas, (2) pengarang dan dunia teks, (3) gerakan sastra Indonesia, Maman mencoba merunut peran kepengarangan dengan satu misi besar: pengarang tidak mati ketika teks disidangkan di hadapan pembaca.

Membaca teks dari tinjauan histori, berarti membaca semangat, kondisi dan keadaan etnografi dimana ia dilahirkan. Jejak kepengarangan adalah ruang untuk mengungkap bagaimana sebuah teks sastra mampu didedah secara intensif. Buku ini mengajak pembaca menyelami jagat sastra Indonesia sejak Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, hingga pandangan atas sastra Indonesia di masa depan. Dinamika sastra Indonesia membawa Maman pada satu pokok: menyoal peranan pengarang.

Penelusuran problem kepengarangan disampaikan dengan otokritik yang memotret kondisi atas intelektualitas, stigma dan peran sosial pengarang. Maman sempat menyoal sastrawan yang kerap mandeg dalam mengembangkan intelektualnya. Kondisi calon pengarang yang seolah-olah dilegitimasi oleh sikap yang lebih mementingkan penampilan tinimbang karya. Selain pengarang, laju sastra Indonesia juga diukur atas respon kritikus dan pembaca. Peran masing-masing adalah mutlak. Teks yang hadir harus diimbangi dengan respon pembaca. Dan teks itu sendiri, memerlukan kritikus untuk mewartakan ke publik: perihal kekayaan teks sastra dari pelbagai sudut tinjauan ilmu.

Pengarang, sebagai salah satu komponen kesustraan tersebut, sudah semestinya digali dan ditampilkan sebagai pamrih atas teks yang dihasilkannya. Teks adalah saripati pemikiran pengarang yang terbentuk berkat pengaruh tradisi dan budaya. Keberhasilan teks merengkuh nilai estetikanya, jelas, tidak bisa diceraikan dari biografi kultural pengarang sebagai “tuhan” atas karyanya. Karakteristik keindonesiaan yang lahir dari pengarang Indonesia tentulah tidak bisa serta merta dianggap “ada” dengan sendirinya.

Tinjauan sejarah menunjukan, sastra Indonesia begitu kenes menampilkan wajah lokalitas kultural masing-masing pengarangnya ke dalam teks. Maman sebagai kritikus menilai, dengan demikian, peranan pengarang pada level ini mampu mencakup ruang teks yang dihasilkannya. Pernyataan Barthes—pengarang sudah mati di hadapan pembaca--sepatutnya mendapat sanggahan. Melibatkan unsur pengarang dalam teks sastra, menjadi misi mengurai kekayaan nilai-nilai budaya, sejarah, dan politik. Yang demikian ini membantu pembaca dalam memahami relevansi situasi dan kontemplasi, serta etos penciptaan karya sastra.

Teks sebagai wakil dari keseluruhan tafsir—merujuk Barthes—menepiskan biografi diri pengarang dan sejarah penciptaan teks. Bagaimanapun, faktor tradisi dan budaya pengarang mempengaruhi cara pengucapan, gaya bahasa, atau diksi dari pengarang tersebut. Keterpengaruhan pengarang atas tradisi budaya bisa dibuktikan dalam beberapa contoh karya sastra, sebut saja semisal, Para Priyayi karya Umar Kayam, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Canting karya Arswendo Atmowiloto. Beberapa novel tersebut kentara menampilkan tradisi budaya pengarang dalam pengisahan cerita. Dari sudut pandang inilah, pengarang tentu saja “belum” mati. Pengarang muncul dalam teks sastra melalui ungkapan khas, gaya bahasa, juga diksi. Rangkaian dalih ini membawa posisi tawar atas esai the death of author-nya Roland Barthes.

Buku ini tampil dihadapan publik dengan desain yang mempesona. Kaver lukisan karya Herry Dim memberi semacam pertanda: keseriusan Maman untuk melangkahi pandangan Roland Barthes begitu kuat. Buku esai ini adalah iktikad mengurusi dan mengkritik sastra Indonesia sebagai bagian dari sendi-sendi kebudayaan. Karakteristik keindonesiaan yang dimiliki pengarang Indonesia, barangkali, luput dari analisa Barthes . Tanpa menepis ketajaman pisau kritik a la Maman S Mahayana, kumpulan esai ini mudah dipahami sebagai jalan menyelami kiprah pengarang dan sastra Indonesia. Demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar