Bagi
seorang seniman, “bisikan gaib” bisa ditafsir sebagai ide, inspirasi,
atau ramalan. Tak jarang bisikan itu dimaknai
sebagai “sabda” yang bakal memberi suluh atas jalan hidup di masa depan. Maka
ketika pada suatu malam di tahun 1933, Basoeki Abdullah
mendapat bisikan agar bertandang ke Pantai Parangtritis, ia pun tak menyanggah.
Malam itu juga, disusurinya jalan sepanjang 20 kilometer dengan mengendarai sepeda. Di pantai, Basoeki
bersemedi dan berdoa.
Ketika
suasana makin larut dalam ketenangan, terdengar suara perempuan dari tengah debur ombak. Suara itu
berpetuah, menyarankan agar Basoeki lekas pulang ke rumah. Telah datang secarik
surat untuknya. Surat itu mengabarkan bahwa Basoeki bakal mendapat beasiswa belajar melukis di
Belanda. “Bisikan gaib” itu seperti bukan suatu kebetulan.
Lukisan Pangeran Diponegoro Memimpin Perang. (Sumber FB Museum Basoeki Abdullah) |
Lantas,
siapa sebenarnya “pembisik” itu? Basoeki berkeyakinan, bisikan itu berasal dari
Nyai Roro Kidul. Sebagai seorang keturunan Jawa yang sejak kecil tumbuh dalam
didikan tradisi istana Kasunanan Solo, tak aneh bila Basoeki begitu percaya pada
hal-hal klenik dan kebatinan. Pengalaman kebatinan itu justru jadi referensi
mengolah gagasan saat melukis. Kepercayaannya pada Nyai Roro Kidul, misalnya.
Basoeki gemar berkunjung ke “tempat-tempat suci” yang dianggap persinggahan
Nyai, di antaranya Inna Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Konon, di tempat itu Basoeki pernah bertemu “Nyai dan tujuh ekor kudanya”. Pertemuan itu telah membentuk imajinasi Basoeki untuk melukis
sosok Nyai Roro Kidul. Hasilnya, sebuah lukisan sesosok perempuan bermahkota
mencuat dari deburan ombak yang ganas,
bersama
kuda pengikutnya (hal.33).
Hingga akhirnya Basoeki benar-benar menginjakkan kaki di Belanda. Di negeri kolonial itu
Basoeki bersetia pada keyakinan kebatinannya. Basoeki jadi bunga bibir berkat lukisan
Pangeran Diponegoro Memimpin Perang.
Kenangan buruk akibat Java Oorlog
(Perang Jawa) pimpinan Diponegoro membuat Belanda tercengang pada lukisan tersebut. Konon, penggambaran
wajah Diponegoro dianggap oleh banyak orang persis seperti “jelmaan konkrit wajah Diponegoro, yang sebelumnya tidak pernah terekam
dalam gambar resmi”.
Lukisan
Diponegoro, dalam pengakuan Basoeki, dibuat setelah ia pernah dipertemukan
dengan Pangeran Diponegoro di Parangtritis oleh Nyai Roro Kidul. Meski tak
sempat “berdialog”, Basoeki mengaku “sempat curi-curi menatap wajahnya”(hal.50-51).
Di kemudian hari, Basoeki
mashur sebagai pelukis spesialis tokoh-tokoh pahlawan
nasional, seperti Dr Wahidin
Sudirohusodo, Moh. Yamin, Adam Malik, juga Sukarno.
Terkait
Sukarno, Basoeki punya banyak kisah menarik berkat kedekatan mereka berdua.
Semasa awal karir sebagai pelukis, Basoeki kerap dibantu Sukarno, terutama menyangkut promosi lukisan. Saat itu Basoeki tak berani
meminta restu pada RM Sosrokartono, kakak Kartini, yang dengan suka rela telah memberinya
tumpangan untuk melukis, untuk terlibat dalam pameran di sebuah pasar malam. Berkat Sukarno,
Sosrokartono mau datang melihat studio Basoeki dan memberi masukan perihal
lukisan apa yang sekiranya pantas dipamerkan.
Sebagai
sesama penggemar lukisan, Sukarno merasa klop dengan Basoeki. Dua lelaki
flamboyan itu punya kesamaan
karakter: gampang tergoda perempuan cantik. Obrolan seputar perempuan dan
lukisan membuat mereka selalu akrab. Banyak lukisan Basoeki dibeli Sukarno
dengan “harga sahabat”.
Ketika menjabat sebagai Presiden, persahabatan itu kian terjalin erat.
Perasaan
galau menyerang Basoeki ketika
meletus kisruh antara kubu penandatangan Manifes Kebudayaan dan
blok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berkarib dengan Partai Komunis
Indoinesia (PKI). Secara pribadi, Basoeki lebih sepaham dengan kelompok Manifes
yang ditandatangani pada 17 Agustus 1963 itu. Ia sepakat bahwa “kebudayaan dan
kesenian selayaknya tidak terseret arus politik dan seharusnya hidup independen”.
Di
sisi lain, Basoeki tak enak hati dengan Sukarno yang secara tegas mendukung
Lekra. Basoeki tak bisa lupa peran besar Sukarno
padanya. Ia ingat pembelaan Sukarno terkait keberadaannya di Belanda
saat awal revolusi kemerdekaan. ”Bila
orang lain seperti saya berjuang lewat jalan politik, dengan pidato dan
menggerakkan orang untuk melawan, orang seperti Basoeki bermain di jalan seni.” Beruntung saat konfrontasi itu semakin memanas, Basoeki sedang
berada di Thailand untuk melukis para petinggi kerajaan. Seandainya Basoeki
berada di Indonesia, ia tentu tak bisa berkelit dari konfrontasi.
Ketidakhadiran
Basoeki dalam dua momen bersejarah di Indonesia itu membuatnya kurang mendapat
empati dari para seniman. Ia dianggap lebih mementingkan diri sendiri ketimbang
bangsanya. Pelukis Sudjojono mengkritik lukisan Basoeki hanya meladeni selera
turis. Basoeki dicap borjuis dan sombong lantaran kerap tak mau menemui tamu
yang datang ke studionya. Basoeki beralasan,“orang (termasuk seniman) Indonesia
lebih senang mengobrol daripada bekerja…Hal ini menyebabkan mereka tidak
produktif”(hal.133).
Penerbitan buku Basoeki
Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan (2015) karangan Agus
Dermawan T jadi momentum
peringatan 100
tahun Basoeki Abdullah yang jatuh tahun ini. Membaca buku ini pembaca tak bakal dibawa pada
pengagungan sosok Basoeki semata. Agus, kritikus seni rupa berdedikasi itu,
secara apik dan berimbang mengisahkan sosok Basoeki Abdullah sebagai manusia
Jawa yang begitu percaya pada hal-hal klenik; lelaki yang gemar bertualang
perempuan; serta seniman dengan kedahsyatan karya-karyanya yang legendaris.
[]
Dimuat
Jawa Pos 11 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar