Seberat-beratnya hukuman adalah
mati. Pelaku kejahatan berat konon pantas diganjar hukuman mati. Kejahatan
berat tentu terkait penghilangan nyawa manusia. Hukum mati jadi preseden agar
orang-orang tak ceroboh berbuat jahat.
Isu hukuman mati dikisahkan
secara mengharukan dalam novel Burial
Rites: Ritus-Ritus Pemakaman (2015)
karya Hannah Kent, seorang novelis kelahiran Adelaide, Australia. Pengisahan
novel bermula ketika tahun 1928 kegemparan melanda Islandia Utara. Agnes
Magnusdottir, bersama dua temannya, divonis mati lantaran membunuh dua lelaki. Putusan
ini sontak jadi perbincangan di masyarakat. Bagi mereka pembunuhan dan hukum
mati adalah peristiwa luar biasa.
Hukum di Islandia kala itu tegas
menyatakan:”Siapa yang memukul seseorang hingga mati, pastilah ia dihukum
mati”. Pasca penetapan itu, riwayat hidup Agnes Magnusdottir tinggal menunggu
masa penghabisan. Fragmen penantian eksekusi mati inilah yang kemudian dikisahkan
secara dramatis oleh Hannah Kent.
Imajinasi sosok Agnes
Magnusdottir berangkat dari kisah nyata. Hannah Kent mengetahui kisah tersebut setelah
melancong ke Islandia dalam pertukaran pelajar Rotary Exchange. “Agnes
Magnusdottir adalah orang terakhir yang dijatuhi hukuman mati di Islandia,
setelah peran-sertanya dalam pembunuhan terhadap Natan Ketilsson dan Petur
Jonsson pada malam antara tanggal 13 dan 14 Maret 1828 di Illugastadir, di
Semenanjung Vatnsnes, Islandia Utara”.
Lewat novel ini kita diajak untuk
menziarahi dunia batin sang terpidana mati. Hari berganti dalam detik yang
melamban. Agnes menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah keluarga Jon
Jonsson karena rumah tahanan sementara belum tersedia. Kala itu, eksekusi mati
jarang sekali terjadi. Pemerintah belum sepenuhnya memfasilitasi pelbagai persiapan
untuk sebuah prosesi hukuman mati. Demi sebuah eksekusi, segalanya mesti
dipersiapkan dari nol.
Pada mulanya Agnes menuai protes
dan penolakan dari keluarga Jon. Menjalani hari-hari bersama seorang terpidana mati
tentu menyulut dugaan dan kecemasan. Margret, istri Jon, mengaku:“Betapa aneh
membayangkan bahwa, tidak terlalu lama lagi, perempuan yang tidur di ranjang
itu tidak sampai dari tiga meter darinya akan berada di liang kubur.” (hlm.74)
Tetapi rasa kemanusiaan sungguh
tak bisa dibohongi. Lambat-laun keluarga Jon justru berkenan menerima keberadaan
Agnes. Sebagai perempuan terdidik, dengan kecerdasan di atas rata-rata, serta
pandai bergaul, tak pelak membuat Agnes mudah diterima di keluarga Jon.
Di rumah ini pula, Agnes
didampingi Pendeta Thorvardur Jonsson dalam usahanya menghadapi eksekusi mati.
Kedatangan pendeta bermisi pencerahan dan peneguhan iman. Namun kadang kuatnya
iman pun tak sanggup mereda ketakutan atas kematian. Getir hidup yang dialami
Agnes sejak kecil membentuknya jadi sosok pesimis. Ia ditinggal kedua orang tua
sedari belia, dan mesti berjuang keras demi menghidupi diri sebagai pelayan,
dari rumah ke rumah.
Memori kelam itu membuat Agnes
sulit ”berdamai” dengan iman dan Tuhan. Pendeta Thorvadur Jonsson menyadari
suara lantang firman Tuhan kadang tak cukup membuat Agnes bersiap menerima
kenyataan. Dialog bertema ketuhanan muncul sebagai kritik atas pemahaman publik
dan penguasa yang kerap menggampangkan kondisi batin si terpidana mati.
“Saya sampai pada keyakinan bahwa
apabila ingin menyibak tirai yang menutupi jiwa si terpidana, yang dibutuhkan
bukanlah suara tegas seorang pendeta yang menyampaikan api neraka, melainkan
nada lembut dan bertanya seorang sahabat” (hlm.203). Sang Pendeta larut dan hanyut
dalam kisah hidup Agnes yang misterius.
Menjelang detik-detik terakhir,
Agnes justru mengabarkan fakta baru yang tak sempat ia ungkapkan di meja
persidangan. Dari fakta baru tersebut, Pendeta Thorvadur Jonsson sampai pada
keputusan untuk membantu menyuarakan kesaksian Agnes, yang ia harapkan bisa
membatalkan putusan mati meski ia tahu hasilnya akan sia-sia.
Di titik inilah Hannah Kent menyajikan
perspektifnya perihal hukuman mati. Dialog yang dibangun antara Agnes, pendeta,
dan keluarga Jon membawa kita pada pemahaman sifat manusia dalam menghadapi
kematian. Tak ada seorang pun manusia normal yang rela hak hidupnya dirampas.
Ketakutan dan kegelisahan selalu
muncul di hari-hari Agnes yang pendek. Masa penantian justru lebih menyakitkan
dari sebuah kematian. “Penantian ini membuat muak. Kenapa tidak sekarang?
Kenapa tidak mengambil saja kapak itu dan melakukannya di sini…” (hlm.303).
Keputusasaan menjelang eksekusi memang tak terhindarkan.
Bagi Hannah Kent, hukum mati
berpotensi menutup kemungkinan untuk membongkar alasan-alasan di balik kelakuan
ceroboh terpidana. Atau, tidak tertutup kemungkinan, ada kekeliruan yang tak
sempat tersampaikan saat proses peradilan. Dalam novel ini hukum mati dikisahkan
telah menutup dua kemungkinan tersebut.
Isu eksekusi mati memang sensitif
dan kerap memicu perdebatan, terutama di Indonesia. Kita kerap menuai polemik
atas putusan negara yang enteng menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan.
Pilihan Hannah Kent mengeksplorasi novel bertema hukum mati, dengan acuan referensi
sejarah yang kuat, pantas jadi alternatif membaca dan memahami dunia batin terpidana
mati dari sisi kemanusiaan yang intim. Penerjemahan novel ini di Indonesia pun
menemukan momentumnya yang tepat.[]
Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, 17 Oktober 2015.
Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, 17 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar