Selalu ada cerita di balik sebuah
kartu pos. Dulu, kartu pos tak sekadar alat komunikasi tertulis. Foto yang tercantum di selembar kartu
pos kerap menampilkan tempat dan hal-hal menarik dari mana kartu itu dikirimkan.
Keragaman dan kecantikan foto-foto tersebut membuat kartu pos jadi benda incaran untuk dikoleksi.
Adalah Olivier Johannes Raap,
seorang sejarawan, arsitek, sekaligus kolektor barang antik berkebangsaan
Belanda, pengoleksi kartu pos yang
memuat foto-foto Jawa awal abad 19. Raap mengoleksi kartu pos terbitan tahun 1990 sampai 1950. Dari kartu
pos lawas itu, Raap berinisiatif mengadakan riset. Foto di
kartu pos jadi rujukan membaca kesejarahan kota-kota di Jawa tempo doeloe.
Kini, hasil
risetnya terbit dalam buku Kota di Djawa Tempo Doeloe. Foto-foto itu menghadirkan lanskap kota di Jawa, era Hindia Belanda. Raap memberi penjelasan pada setiap
foto melalui
perbandingan referensi dan data sejarah. Seperti lazimnya sebuah kota, foto menampilkan macam-macam bangunan, seperti gedung
pemerintah, jembatan, rumah, jalan, taman, tempat dan transportasi publik.
Dalam pengisahannya, Raap menggunakan
perbandingan kondisi dulu dan sekarang. Sebuah gedung,
misalnya, akan dijelaskan mulai dari sejarah, fungsi, dan perubahannya dari
masa ke masa, kemudian membandingkan
keberadaan gedung itu saat masih di bawah kolonialisme Belanda dengan kondisi saat ini. Beberapa gedung mungkin
masih ada dan menjadi bangunan cagar budaya. Tapi tak sedikit yang berubah
fungsi, mengalami pemugaran total, bahkan sama sekali hilang karena diganti
bangunan lain.
Kartu pos berjudul Oud
Batavia (Batavia Lama), diterbitkan oleh G. Kolff & Co., Batavia, berlokasi
di Jalan Kali Besar Timur, Jakarta, misalnya. Raaf menjelaskan:”Pada abad ke-18, daerah ini merupakan pemukiman Eropa di
dalam perbentengan Kota Batavia. Rumah-rumah dibangun menghadap ke kali,
seperti di Belanda.” Di akhir
tulisan, Raaf seolah menyayangkan kondisi bangunan tersebut yang hari ini
“dibiarkan tidak terawat dan terkesan kumuh”(hal.59).
Jika pembaca tidak kritis,
perbandingan yang Raap ajukan bisa memunculkan dikotomi yang lebar antara kondisi di era kolonial dan pasakemerdekaan. Akan terbentuk
kesan yang begitu menonjol bahwa Indonesia seolah tak sanggup mengelola pelbagai
bangunan tinggalan Belanda. Hal itu bisa kita baca lewat beberapa
penjelasan Raaf terkait
bangunan yang berubah
terpuruk dan ambruk ketika di kelola mandiri oleh pemerintah Indonesia.
Meski
begitu, Raaf masih menampilkan
lanskap tradisi
di masyarakat Jawa lewat foto-foto
yang mengisahkan
pasar, sungai (maritim), tempat ibadah (Islam) dan rumah. Sebuah kartu pos
berjudul “Passar Redjowinangoen” menampakan orang-orang menggelar barang
dagangan, seperti buah, cabe, hasil perkebunan, dengan membawa pelbagai bakul
atau pikulan. Dagangan digelar begitu saja, kebanyakan menggunakan tikar. Kartu
pos itu terbit 1910 oleh H.V.Maresch, Magelang (hal.79).
Di bab “Tentang Aliran Air”, akan
kita dapati bagaimana kebudayaan sungai pernah begitu hidup di Jawa. Orang Jawa
memaknai sungai sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Sampan, perahu, dan kapal kecil, hilir mudik mengisi sungai-sungai di Jawa.
Orang-orang berinteraksi di sekitaran sungai, seperti berperahu, mencuci
pakaian, serta untuk urusan pengangkutan barang. Bahkan jembatan yang dibangun
saat itu didesain agar tak mengganggu proses lalu lintas sungai.
Sebuah kartu pos bertitimangsa
1908, berjudul Ophaalbrug Pasar Ikan (Jembatan Angkat Pasar Ikan), diterbitkan
oleh Visser & Co., Weltreveden, menampilkan sebuah jembatan angkat bergaya
Belanda. Jembatan ini bisa diangkat ketika ada perahu hendak lewat, sehingga
keberadaannya tidak mematikan jalur transportasi air saat itu (hal.213).
Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana banyak jembatan dibuat paten, yang
akhirnya, secara perlahan memutus kebudayaan sungai di Jawa.
Terlepas dari cara pandang Raaf
yang masih memakai perspektif kolonial, meski tidak keseluruhan, dalam
menjelaskan Jawa lewat foto di kartu pos, hasil riset ini pantas jadi
alternatif membaca kebudayaan dan keadaan kota di Jawa di masa lalu. Foto-foto
itu, paling tidak, ikut membantu bagaimana Jawa dikenal dunia lewat secarik
kartu pos.[]
Resensi dimuat di Koran Jakarta, 07 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar