Senin, 10 Agustus 2015

Membaca Zaman dari Kacamata Budaya Populer

Selalu ada yang bisa dimaknai dari perilaku, fenomena, dan tradisi yang terjadi di masyarakat. Tak terkecuali dengan hal-hal atau peristiwa yang kerap dianggap sepele, banal, klise, dan komersil. Pelbagai hal tersebut bisa dipakai sebagai referensi membaca pola pikir, gejala sosial, harapan, ideologi, serta identitas yang sedang dibangun oleh masyarakat. Berangkat dari hal tersebut, Ariel Heryanto, seorang profesor School of Culture, History, and Language, The Australian University, mengajukan kajian dan tafsir perihal wacana budaya populer di Indonesia.
Budaya populer bisa dipahami sebagai “berbagai suara, gambar, dan pesan yang diproduksi secara massal dan komunal (musik, film, busana, dan acara televisi) serta praktik pemaknaan terkait, yang berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen, terutama sebagai hiburan. Singkatnya, budaya populer…merupakan proses memasok komoditas satu arah dari atas ke bawah untuk masyarakat sebagai konsumen….”(hal.22). Untuk itu, apa yang dipakai, ditonton, didengar, dan diimpikan oleh masyarakat, sebagai saluran untuk meraih hiburan, atau dalam istilah Ariel sebagai usaha mencari “kenikmatan”, sengaja dijadikan objek dalam kajiannya.
Pakaian, misalnya, merupakan komoditas yang diperlukan dan diinginkan oleh masyarakat dari pelbagai kelas sosial. Pemaknaan atas pakaian tentu saja beragam. Pakaian bisa mencerminkan hasrat modernitas, perlawanan, hingga ideologi seseorang. Ariel mengaitkan isu pakaian dengan wacana Islam dan post-islamisme. Ariel membedah perubahan makna pada perempuan pemakai jilbab di Indonesia, sejak Orde Baru hingga pascareformasi.
Dikisahkan, pada pertengahan dekade 1980-an, terjadi kasus pelarangan memakai jilbab di sekolah negeri yang disponsori oleh negara (hal.48). Seiring waktu, peraturan tersebut akhirnya mendapat tentangan. Mayoritas perempuan terpelajar kemudian memakai jilbab di ruang publik sebagai bentuk perlawanan, menandai kebangkitan gerakan Islam era Orde Baru. Pemaknaan jilbab pun perlahan bergerak dan berubah. Kita belum lupa ketika beberapa tahun silam media massa sempat mengabarkan ada provinsi di Indonesia yang mewajibkan perempuan untuk berjilbab.
Kita semakin takjub ketika pemaknaan jilbab kemudian memasuki ranah politik dan hukum. Ariel menangkap fenomena ini dengan tajam. ”[P]emakaian jilbab telah menjadi strategi di antara para perempuan terkenal yang menjadi tersangka ketika mereka muncul di pengadilan. Contohnya, Nunun Nurbaeti, Neneng Sri Wahyuni, dan Yulianis—semua diadili pada tahun 2012 karena kasus korupsi uang negara—memakai jilbab dalam proses dalam proses persidangan” (hal.72). Menariknya, tersangka terkenal yang pertama menggunakan taktik memakai jilbab ini adalah model pakaian dalam terkenal asal Australia Michelle Leslie, karena terlibat kepemilikan obat-obat terlarang.
Di Indonesia, pemakaian jilbab memang tak bisa dimaknai dalam perspektif tunggal yang mewakili suatu identitas tertentu, misalnya, terkait keimanan, aliran keagamaan, atau pun pilihan politik. Bahkan ketika beberapa tahun silam, gejala asianisasi, terutama pada budaya populer Korea Selatan (K-pop)—dari musik, film, hingga model pakaian—merambat ke Indonesia, Ariel menangkap ada pemaknaan unik dalam fenomena tersebut, terutama terkait penggemar artis Korea yang mayoritas perempuan muslim berjilbab.
Para penggemar tersebut secara terbuka dan tanpa malu-malu menampilkan identitasnya sebagai pengagum K-pop. Mereka mengadakan acara kumpul sesama pecinta K-pop, mengadakan lomba “cover dance yakni tarian yang meniru para idola mereka, atau flash mob yakni pertunjukan tari mendadak di tempat perbelanjaan (hal.246). Temuan tersebut mengisyaratkan adanya gejala post-islamisme baru di Indonesia.
Tak sedikit umat Islam menolak unsur Barat sebagai sesuatu yang “asing”, akan tetapi tak mempermasalahkan gempuran Korea, padahal sejatinya sama-sama asing. Ketaatan beragama bersanding dengan hasrat dan laku menjadi modern. Sampul buku ini pun menegaskan wacana tersebut: Seorang perempuan berjilbab tanpa canggung berfoto di samping foto besar seorang artis Korea. Identitas keislaman tak melulu dipertentangkan dengan sesuatu yang asing, berasal dari luar.
Isu jilbab dan K-pop adalah satu dari sekian kajian yang Ariel sajikan guna membaca budaya populer di Indonesia. Dalam pembahasan lain, Ariel secara mendetail dan intim menguliti lapis makna isu politik film di Indonesia, merujuk pada isu pembantaian pasca geger 1965; penghilangan identitas Tionghoa-Indonesia dalam film; pengaburan sejarah lewat film; kebangkitan gerakan islamisme dalam film; serta bagaimana pentas politik serta merta meringsek tampil di media massa (digital) kita.
Lewat buku yang edisi awal terbit dengan judul Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (NUS Press, 2014) ini, kita sebagai pembaca akan tertegun: Betapa kita tak menyadari ada yang sedang perlahan-lahan berubah di masyarakat. Buku ini mengajak kita menjauh dari kegagapan dalam membaca dan menyikapi gerak dan laju zaman. []


Dimuat di Koran Jakarta, 10 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar