Selalu ada yang bisa dimaknai dari
perilaku, fenomena, dan tradisi yang terjadi di masyarakat. Tak terkecuali
dengan hal-hal atau peristiwa yang kerap dianggap sepele, banal, klise, dan
komersil. Pelbagai hal tersebut bisa dipakai sebagai referensi membaca pola
pikir, gejala sosial, harapan, ideologi, serta identitas yang sedang dibangun
oleh masyarakat. Berangkat dari hal tersebut, Ariel Heryanto, seorang profesor
School of Culture, History, and Language, The Australian University, mengajukan
kajian dan tafsir perihal wacana budaya populer di Indonesia.
Budaya populer bisa dipahami
sebagai “berbagai suara, gambar, dan pesan yang diproduksi secara massal dan
komunal (musik, film, busana, dan acara televisi) serta praktik pemaknaan
terkait, yang berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen, terutama sebagai
hiburan. Singkatnya, budaya populer…merupakan proses memasok komoditas satu
arah dari atas ke bawah untuk masyarakat
sebagai konsumen….”(hal.22). Untuk itu, apa yang dipakai, ditonton, didengar,
dan diimpikan oleh masyarakat, sebagai saluran untuk meraih hiburan, atau dalam
istilah Ariel sebagai usaha mencari “kenikmatan”, sengaja dijadikan objek dalam
kajiannya.
Pakaian, misalnya, merupakan
komoditas yang diperlukan dan diinginkan oleh masyarakat dari pelbagai kelas
sosial. Pemaknaan atas pakaian tentu saja beragam. Pakaian bisa mencerminkan
hasrat modernitas, perlawanan, hingga ideologi seseorang. Ariel mengaitkan isu
pakaian dengan wacana Islam dan post-islamisme. Ariel membedah perubahan makna pada
perempuan pemakai jilbab di Indonesia, sejak Orde Baru hingga pascareformasi.
Dikisahkan, pada pertengahan
dekade 1980-an, terjadi kasus pelarangan memakai jilbab di sekolah negeri yang
disponsori oleh negara (hal.48). Seiring waktu, peraturan tersebut akhirnya mendapat
tentangan. Mayoritas perempuan terpelajar kemudian memakai jilbab di ruang
publik sebagai bentuk perlawanan, menandai kebangkitan gerakan Islam era Orde
Baru. Pemaknaan jilbab pun perlahan bergerak dan berubah. Kita belum lupa
ketika beberapa tahun silam media massa sempat mengabarkan ada provinsi di
Indonesia yang mewajibkan perempuan untuk berjilbab.
Kita semakin takjub ketika
pemaknaan jilbab kemudian memasuki ranah politik dan hukum. Ariel menangkap
fenomena ini dengan tajam. ”[P]emakaian jilbab telah menjadi strategi di antara
para perempuan terkenal yang menjadi tersangka ketika mereka muncul di
pengadilan. Contohnya, Nunun Nurbaeti, Neneng Sri Wahyuni, dan Yulianis—semua
diadili pada tahun 2012 karena kasus korupsi uang negara—memakai jilbab dalam
proses dalam proses persidangan” (hal.72). Menariknya, tersangka terkenal yang
pertama menggunakan taktik memakai jilbab ini adalah model pakaian dalam
terkenal asal Australia Michelle Leslie, karena terlibat kepemilikan obat-obat
terlarang.
Di Indonesia, pemakaian jilbab
memang tak bisa dimaknai dalam perspektif tunggal yang mewakili suatu identitas
tertentu, misalnya, terkait keimanan, aliran keagamaan, atau pun pilihan
politik. Bahkan ketika beberapa tahun silam, gejala asianisasi, terutama pada
budaya populer Korea Selatan (K-pop)—dari musik, film, hingga model pakaian—merambat
ke Indonesia, Ariel menangkap ada pemaknaan unik dalam fenomena tersebut,
terutama terkait penggemar artis Korea yang mayoritas perempuan muslim
berjilbab.
Para penggemar tersebut secara
terbuka dan tanpa malu-malu menampilkan identitasnya sebagai pengagum K-pop.
Mereka mengadakan acara kumpul sesama pecinta K-pop, mengadakan lomba “cover dance yakni tarian yang meniru
para idola mereka, atau flash mob
yakni pertunjukan tari mendadak di tempat perbelanjaan (hal.246). Temuan
tersebut mengisyaratkan adanya gejala post-islamisme baru di Indonesia.
Tak sedikit umat Islam menolak
unsur Barat sebagai sesuatu yang “asing”, akan tetapi tak mempermasalahkan gempuran
Korea, padahal sejatinya sama-sama asing. Ketaatan beragama bersanding dengan hasrat
dan laku menjadi modern. Sampul buku ini pun menegaskan wacana tersebut:
Seorang perempuan berjilbab tanpa canggung berfoto di samping foto besar
seorang artis Korea. Identitas keislaman tak melulu dipertentangkan dengan
sesuatu yang asing, berasal dari luar.
Isu jilbab dan K-pop adalah satu
dari sekian kajian yang Ariel sajikan guna membaca budaya populer di Indonesia.
Dalam pembahasan lain, Ariel secara mendetail dan intim menguliti lapis makna
isu politik film di Indonesia, merujuk pada isu pembantaian pasca geger 1965;
penghilangan identitas Tionghoa-Indonesia dalam film; pengaburan sejarah lewat
film; kebangkitan gerakan islamisme dalam film; serta bagaimana pentas politik
serta merta meringsek tampil di media massa (digital) kita.
Lewat buku yang edisi awal terbit
dengan judul Identity and Pleasure: The
Politics of Indonesian Screen Culture (NUS Press, 2014) ini, kita sebagai
pembaca akan tertegun: Betapa kita tak menyadari ada yang sedang perlahan-lahan
berubah di masyarakat. Buku ini mengajak kita menjauh dari kegagapan dalam
membaca dan menyikapi gerak dan laju zaman. []
Dimuat di Koran Jakarta, 10 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar