Minggu, 13 November 2016

Puisi sebagai Jalan Tafsir

Para penyair kerap menempuh pelbagai cara kreatif agar puisi ciptaannya tak sekadar mengulang apa yang pernah ditulis oleh para pendahulu. Dari membaca sebanyak mungkin referensi hingga melakukan “pembongkaran” atas konvensi berpuisi yang pernah ada. Sekian penyair mengutak-atik tema. Bahkan ada yang sampai memilih untuk mengembalikan hakikat puisi kepada mantra. Harapannya, tentu untuk menghasilkan puisi yang menawarkan kesegaran puitik maupun estetik.
Triyanto Triwikromo bisa dikategorikan sebagai penyair yang getol melakukan eksplorasi dan mencari “kesegaran”. Meski satu dekade terakhir ini ia lebih banyak menerbitkan buku kumpulan cerpen, Triyanto tetaplah seorang penyair. Sejak akhir tahun 1980-an, Triyanto sudah berpredikat penyair tapi baru pada tahun 2010 kita bisa menikmati kumpulan puisi perdananya yang berjudul Pertempuran Rahasia. Di buku puisi itu, Triyanto tampil memukau dengan sajian puisi bertema wayang, bertolak dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Selang beberapa tahun kemudian, Triyanto menerbitkan buku puisi kedua berjudul Kematian Kecil Kartosoewirjo: Sehimpun Puisi (2015). Buku ini menarasikan “suara-suara lain” dari sosok kontroversial Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo.
Kini, sang penyair kembali menyapa pembaca lewat penerbitan kumpulan puisi Selir Musim Panas (2016). Judul buku begitu menggoda. Kita mungkin bakal tergerak untuk mulai melacak maksud penggunaan kata “selir”, menaut pada riwayat kesejarahan kisah raja-raja di Nusantara, sebelum menelusuri puisi demi puisi. Sayang sekali, dugaan ini meleset ketika kita sadar bahwa frasa “musim panas” sulit mendapati sambungan imajinasi jika mengacu keberadaan musim di negara ini. Perlahan, pembaca mulai tercerahkan saat mendapati Triyanto telah menyisipkan pelbagai “petunjuk” di beberapa puisinya, sebagai suluh agar pembaca tak tersesat. Triyanto menghadirkan puisi-puisi yang bertolak dari referensi berkonteks Tiongkok di masa lalu. Puisi-puisi berkelindan dan mewujud bersama deretan peristiwa dan tokoh-tokoh bersejarah.
Di bagian awal, kita disuguhi puisi Tiananmen Miao Deshun. Puisi berkisah tentang peristiwa tragis di lapangan Tiananmen tahun 1989, yang menelan korban rakyat dan mahasiswa. Membaca puisi ini, kita diajak menziarahi salah satu peristiwa berdarah yang paling dikenang dunia tentang sejarah Tiongkok. Begini kutipan puisinya: 3.000? Bukan. 5.000? Lebih. Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping begitu congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke jalan-jalan. Triyanto berpuisi tapi mirip pencerita sejarah. Pembaca diajak mengingat sejarah Tiongkok, mengarah pada peristiwa-peristiwa berdarah.
Di puisi-puisi lainnya, Triyanto mencoba “menuliskan kembali” novel yang pernah ia baca. Judul novel itu tertera sebagai penuntun bagi pembaca: Bandit Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan, dan Teka Teki Desa Mati: Setelah 12 Tahun membaca Gunung Jiwa Gao Hing Jian. Bahkan dua novel karangan penulis Cina modern Anchee Min, yaitu Empress Orchid (2011) dan The Last Empress (2011), melatari sebagian besar puisi-puisi di buku ini. Dua novel ini bercerita seputar sejarah Tiongkok era Dinasti Ch’ing di bawah pimpinan Ratu Anggrek.  
Puisi Reinkarnasi Cheng Ho, misalnya, bertolak dari cuplikan novel The Last Empress halaman 96-97, yang menceritakan kematian janggal budak kepercayaan Ratu Anggrek. Simak petikannya: Pada september 1872/ kepalamu memang dipenggal, An-te-hai. Permaisuri/ Nuharoo, Kaisar, Pangeran Kung, dan Gubernur Ting/ bersekongkol membunuhmu//”Kasim brengsek telah mati,” teriak seseorang./“Burung selingkuhan Ibu Permaisuri tak bisa lagi/ berkicau,” kata orang istana. (hal.49).
Puisi tak kehilangan jejak-jejak literer dalam novel, tapi bercitarasa khas ala Triyanto. Tak bisa disebut teks yang sma sekali baru namun juga tak bisa dipandang sebagai semacam tafsir biasa. Tersebab lewat kepiawaiannya, Triyanto seperti menulis ulang teks-teks referensi itu menjadi puisi. Bahkan dalam puisi berjudul Bandit Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan, pembaca masih merasakan alur dalam novel tetapi efek dari puisi ini sama sekali berbeda seperti saat kita membaca novelnya. Triyanto memuisikan novel (dalam versi terjemahan bahasa Indonesia) setebal 543 halaman ke dalam 35 fragmen puisi.
Apa yang dilakoni Triyanto dalam buku ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan dua buku puisi sebelumnya. Hanya saja, dalam buku ini, upaya meramu referensi menjadi teks puisi, patut diakui, benar-benar kompleks. Puisi menjadi semacam jalan tafsir atas hasil pembacaan. Ada pelbagai macam konteks waktu, peristiwa, konflik, dan karakter tokoh, dari sekian novel, yang mesti benar-benar ia pahami. Meski menggubah ulang ke dalam bentuk puisi, Triyanto masih menjaga agar konteks cerita tetap terjaga.

Hasilnya, sebuah buku yang sanggup mengajak kita mengingat sekaligus bertualang menyinggahi khasanah literatur Tiongkok, yang barangkali, sudah mapan—untuk tak menyebut “mati”—sebagai novel. Dan Triyanto mulus “menghidupkannya” kembali sebagai puisi. []

Dimuat Majalah Basis edisi November – Desember 2016

Keterangan: Acara UPGRIS Bersastra, membincang 3 Buku Triyanto Triwikromo, 19 Oktober 2016. Foto: Muhajir Arrosid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar