Novel
tak mesti berisi imajinasi tinggi-tinggi. Sebuah cerita
memikat bisa berasal dari peristiwa sehari-hari, kebiasaan, tingkah laku, hobi,
tradisi, hingga cita-cita manusia. Novel Bersetia
(2014) garapan Benny Arnas adalah fragmen keseharian dan kebiasaan. Pengarang
menangkap peristiwa “biasa”, kemudian mengikatnya ke dalam racikan bahasa
puitis dan menyambungnya ke dalam jalinan kisah penuh emosi.
Pelbagai
peristiwa keseharian: percintaan sepasang lelaki dan perempuan, minum teh,
minum kopi, cemburu, memfoto, menikah, marah, hingga minggat, adalah kelaziman.
Pengarang memoles kelaziman menjadi peritiwa penuh makna.
Adegan
meramu teh jadi pembuka kisah. Minum teh tak sebatas ajang memburu kesegaran.
Minum teh bagai ungkapan keberterimaan menghadapi hidup. Tokoh Ratna Kusuma
alias Embun adalah perempuan teh, penggila dan peracik teh. Perempuan polos tak
berpendidikan tapi punya hasrat yang tinggi tentang teh dan dunianya. Perempuan
yang lahir dari situasi keluarga berantakan. Kekerasan yang ia terima dari sang
ayah menyisakan sakit dan trauma, meski dari ayahnya ia mengenang pujian-pujian
terhadap cita rasa tehnya yang lezat.
Kepiawaian
meracik teh jadi keterampilan tak biasa bagi Embun. Pertemuan dengan Cece Po,
janda dari seorang penggila teh, menakdirkannya bersua dengan buku-buku resep teh,
warisan suami Cece Po. Meski tak mengenyam pendidikan secara tuntas, teh merangsang
Embun untuk menyentuh, membaca, dan mengkhatamkan buku-buku tersebut. Buku
menyempurnakan keahlian Embun meracik teh. Embun mengaku, ”bergaul dengan apa
pun yang berbau teh, akan membuat hari-hariku berwarna”. Teh tak hanya
menyegarkan tapi juga membahagiakan.
Pertemuan
Embun dengan lelaki indo, Brins van Hoyen, seorang fotografer moncer, adalah
bonus dari kecanggihannya meracik teh. Brins lelaki tampan, potret lelaki modern
abad mutakhir. Brins kerap dikerubungi perempuan cantik, namun tak berhasrat
menjadi lelaki nakal. Ia mengingat penuh seluruh nasihat sang ibu. Meski sejatinya
Brins adalah seorang penikmat kopi, teh jualah yang mempersatukan. Brins
terpukau pada kenikmatan racikan teh Embun. Teh adalah pemersatu, pemantik
kemesraan. Mereka bersepakat menikah, penikahan “teh” dan “kopi”.
Rasa
cinta pada Brins sedalam hasratnya pada teh. Hidup Embun bertopang pada teh dan
suaminya. Meski ketidaksanggupan Embun mengendalikan cinta yang dahsyat, jadi
penyebab segala kekisruhan rumah tangganya. Gelombang cinta beriringan bersama
cemburu yang berkobar. Embun tenggelam di antaranya.
Kedekatan
Brins dengan model-model cantik dan seksi, memantik api cemburu. Embun sempat menghendaki
Brins menanggalkan pekerjaannya sebagai fotografer agar cemburunya tak semakin
menjadi. Namun Brins bersikeras pada fotografi yang ia cintai. Cemburu menggulung
cinta Embun. Hingga pada sebuah emosi, cinta tenggelam tak terselamatkan. Embun
minggat, meninggalkan Brins dan membawa cemburunya yang buta. Berhari-hari
Embun tak memberi kabar, berhari-hari pulalah Brins tak patah arang mencari
Embun. Pada fragmen inilah, pengarang dengan lihai mengusik emosi pembaca.
Kecemburuan yang buta berkelindan bersama ingatan, kenangan, dan referensi teh.
Novel ini memberi debar tak terkira hingga menjelang bab terakhir. Akankah
Brins menemukan Embun? Sanggupkah teh mengembalikan ‘rasa’ cinta mereka yang
sempat tercemar?
Simbol
Adegan
menyeduh teh tak dimaknai sebagai peristiwa biasa. Pengarang memaknai teh bagai
simbol, mewakili watak dan karakter tokoh. Embun adalah teh, jiwanya sepenuhnya
menyatu. “Hanya seorang yang dikarunai jiwa teh yang dapat mengerti tentang teh
sedemikian hebatnya”. Perkara meracik teh seolah menjadi ritus penuh
keseriusan, keyakinan, dan kepercayaan. Teh mesti diracik oleh peracik yang
“menjiwa” bersama teh.
Embun
seperti teh yang tak pernah bebas memilih warna. Jiwanya yang pencemburu,
terlalu mudah goyah. Brins “adalah kopi yang pekat” dan Embun adalah “teh yang
bingung dengan warnanya”. Simbolisme ini membawa cerita pada pertentangan watak
yang keras. Pembaca bakal luruh pada kekuatan karakter kedua tokoh tersebut.
Deskripsi
penuh simbol inilah kelebihan teks-teks Benny Arnas, yang sebelumnya dikenal
sebagai cerpenis produktif. Cerpen-cerpen bertema keluarga, rumah tangga, dan
lokalitas. Benny menempatkan simbol-simbol sebagai jalan menjalin cerita,
memperkuat karakter, serta memberi referensi tak biasa.
Tautan
cerita dan karakter tokoh dengan anutan simbol teh, juga kopi, adalah bagian
yang menonjol dalam novel ini. Meski pada akhirnya novel ini tetap saja
meyampaikan satu pertanyaan besar bagi pembaca. Apakah kesetiaan itu? Brins dan
Embun, kopi dan teh, adalah deskripsi impresif perihal manusia yang tak sadar
sedang berenang mencari pulau kesetiaan. Setia bukanlah sifat yang tiba-tiba
ada, dan “mengada”. Keputusan bersetia adalah pilihan berisiko. Manusia mesti
meninggalkan keakuannya, meleburkan diri bersama yang ia cintai agar kesetiaan
bisa terwujud. Bersetia adalah absurditas yang selalu penuh kemungkinan. []
Pernah dimuat di Rakyat Jateng (Sabtu, 9 Agustus 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar