Foto: Widyanuari Eko Putra |
Kemacetan semakin tak terkendali, tak
lagi hanya di jalan kota-kota besar, tapi juga di pinggiran. Tak banyak
pemimpin berani mengajukan perubahan besar, revolusi sarana, prasarana, dan
pola pikir bertransportasi. Proyek dan program pengentasan kemacetan menjadi
bunga bibir kampanye, tapi minim realisasi. Setengah umur manusia modern
terbuang sia-sia di jalan.
Di tengah menjalarnya bahaya “laten” kemacetan, buku Revolusi Transportasi (2014) hadir memberi sedikit pengertian baru. Buku ini mengupas moda transportasi serta solusi kemacetan dengan pendekatan humanis.
Bambang Susantono, pakar infrastruktur dan transportasi, bertahun-tahun menyuntuki kajian transportasi di Indonesia. Meraih gelar doktor di bidang perencanaan infrastruktur dari Universitas California, Barkeley, Bambang memusatkan pendekatan kemanusiaan terkait sarana transportasi.
Pertama-tama, harus ada perubahan pola pikir. Segala perencanaan dan perbaikan sarana transportasi tak manjur bila pola pikir tidak berubah. Contoh, semakin banyak jalan baru dibuat kemacetan berkurang, harus dibuang. Contoh, Jalan Layang Nontol Kampung Melayu-Tanah Abang, baru dibuka langsung macet. Berdasar fakta ini, jelas menambah jalan bukan sebuah solusi (hal 27).
Kendaraan pribadi semakin memperparah kemacetan. Program kredit murah kendaraan merangsang orang-orang beramai-ramai membeli mobil. Sebab lain, tidak tersedia sarana dan prasarana transportasi massal yang aman, nyaman, dan safety.
Penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengacu pada reformasi transportasi, belum terealisasi sepenuhnya. Peraturan hanya tinggal ketentuan (hal 139). Kondisi angkutan umum tetap memilukan.
Solusi kemacetan harus dimulai dengan mengubah pola pikir masyarakat dan pemerintah. Mengajak masyarakat menggunakan angkutan massal, tentu saja fasilitas harus diperbaiki secara total dulu.
Fenomena kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor, sepatutnya pemerintah berkaca dari Taiwan. Meski pemilik sepeda motor mencapai 958 per 1000 orang, Pemerintah Taiwan secara bertahap mampu mengurangi kemacetan. Perbaikan sarana angkutan umum, tarif parkir motor ketat, pembatasan motor di pusat kota, serta subsidi transportasi publik terbukti ampuh mengurangi kemacetan (hal 67).
Pendekatan kemanusiaan mendorong perubahan berawal dari diri dan mengutamakan kesadaran masyarakat. Di antaranya, warga didorong mau berjalan kaki untuk jarak dekat, tak harus bersepeda motor. Bersepeda untuk jarak yang tidak terlalu jauh. Selain mengurangi polusi udara, tentu saja baik bagi kesehatan. Terakhir, gunakan angkutan umum.
Pemerintah harus menerapkan aturan tegas. Prasarananya memadai. Jalan aman bagi para pejalan kaki. Ada lajur khusus sepeda. Angkutan publik harus aman, nyaman, dan terjangkau.
Di tengah menjalarnya bahaya “laten” kemacetan, buku Revolusi Transportasi (2014) hadir memberi sedikit pengertian baru. Buku ini mengupas moda transportasi serta solusi kemacetan dengan pendekatan humanis.
Bambang Susantono, pakar infrastruktur dan transportasi, bertahun-tahun menyuntuki kajian transportasi di Indonesia. Meraih gelar doktor di bidang perencanaan infrastruktur dari Universitas California, Barkeley, Bambang memusatkan pendekatan kemanusiaan terkait sarana transportasi.
Pertama-tama, harus ada perubahan pola pikir. Segala perencanaan dan perbaikan sarana transportasi tak manjur bila pola pikir tidak berubah. Contoh, semakin banyak jalan baru dibuat kemacetan berkurang, harus dibuang. Contoh, Jalan Layang Nontol Kampung Melayu-Tanah Abang, baru dibuka langsung macet. Berdasar fakta ini, jelas menambah jalan bukan sebuah solusi (hal 27).
Kendaraan pribadi semakin memperparah kemacetan. Program kredit murah kendaraan merangsang orang-orang beramai-ramai membeli mobil. Sebab lain, tidak tersedia sarana dan prasarana transportasi massal yang aman, nyaman, dan safety.
Penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengacu pada reformasi transportasi, belum terealisasi sepenuhnya. Peraturan hanya tinggal ketentuan (hal 139). Kondisi angkutan umum tetap memilukan.
Solusi kemacetan harus dimulai dengan mengubah pola pikir masyarakat dan pemerintah. Mengajak masyarakat menggunakan angkutan massal, tentu saja fasilitas harus diperbaiki secara total dulu.
Fenomena kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor, sepatutnya pemerintah berkaca dari Taiwan. Meski pemilik sepeda motor mencapai 958 per 1000 orang, Pemerintah Taiwan secara bertahap mampu mengurangi kemacetan. Perbaikan sarana angkutan umum, tarif parkir motor ketat, pembatasan motor di pusat kota, serta subsidi transportasi publik terbukti ampuh mengurangi kemacetan (hal 67).
Pendekatan kemanusiaan mendorong perubahan berawal dari diri dan mengutamakan kesadaran masyarakat. Di antaranya, warga didorong mau berjalan kaki untuk jarak dekat, tak harus bersepeda motor. Bersepeda untuk jarak yang tidak terlalu jauh. Selain mengurangi polusi udara, tentu saja baik bagi kesehatan. Terakhir, gunakan angkutan umum.
Pemerintah harus menerapkan aturan tegas. Prasarananya memadai. Jalan aman bagi para pejalan kaki. Ada lajur khusus sepeda. Angkutan publik harus aman, nyaman, dan terjangkau.
Selain pemaparan yang jelas dan menyeluruh, penulis juga memberi semacam box idea, tempat bagi pembaca menyampaikan saran atau pengalaman. Hal ini memungkinkan pembaca mengirimkan saran terkait penanganan kemacetan. Gerakan revolusi transportasi memang harus dikerjakan bersama rakyat dan pemerintah. Beranikah rezim baru memulai?
Dimuat Koran Jakarta, 1 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar