Lakon Semar Gugat, dalam dunia
pewayangan, mengisahkan perlawanan tanpa kekerasan. Dialog dan musyawarah
adalah pesan dari lakon ini. Konon, Semar murka kepada Batara Guru, raja para
dewa, karena berbuat tidak adil kepada Pandawa.
Semar terbang ke khayangan,
berdialog dengan para Batara. Meski berangkat dengan perasaan murka, Semar tak
terbakar dalam kemarahan. Semar mengedepankan musyawarah, hingga akhirnya,
Batara Guru mengakui kesalahan.
Aksi unjuk rasa petani tembakau
di Temanggung, Januari tahun 2013 silam, seolah hendak memaknai sikap dan
lelaku Semar. Semar menggugat Batara demi membela Pandawa, sedangkan petani
menggugat demi sebuah keadilan.
Foto: Widyanuari Eko Putra |
Pemerintah telah mengesahkan PP
nomor 109 tentang pengendalian tembakau yang merugikan para petani. Tiga ribuan
warga Temanggung bersepakat mengajukan gugatan, meluapkan kekecewaan, serta
protes atas ulah sang pemberi kebijakan.
Petani merasa diam bukanlah sikap
yang pantas. Melawan menjadi sebuah pilihan mutlak. Tetapi perlawanan tak mesti
diiringi gelombang kemarahan dan kerusuhan. Meski berisi sebuah perlawanan,
mereka masih menjunjung tradisi dan keyakinan beradab. Perlawanan itu bernama
Semar Gugat: permohonan keselamatan kepada leluhur.
“Karena kita tak bisa lagi
berbicara dengan para pemimpin yang masih hidup, maka di sini kita berbicara
dengan para leluhur, yang sudah tak ada lagi”. Mohamad Sobary mengutip suara
lantang dalam pengantar buku kumpulan esainya Semar Gugat di Temanggung
(2014). Buku ini menjadi biografi intelektual sekaligus sikap politik Mohamad
Sobary.
Sebuah keberpihakan ilmiah yang
lahir sejak Sobary menekuni kerja penelitian. Beberapa tahun menekuni
penelitian kebudayaan di Temanggung, Sobary mengerti dan mengalami bagaimana
rasanya bersentuhan dengan petani yang dibuat miskin oleh peraturan
pengendalian tembakau. Deburan nafas petani, yang meski sangat terdzalimi,
tetap menampilkan sikap ‘nerimo’ dan patuh terhadap pelbagai aturan penguasa. Menyaksikan
sederet sikap yang tak membela petani tersebut, Sobary tak bisa tak peduli.
Berpihak adalah sikap terbaik.
Nilai
Budaya
Sebagai seorang antropolog,
Sobary memandang tembakau dan sikap para petani sebagai bagian dari nilai
kebudayaan yang luhur. Membela tembakau tak ubahnya ikhtiar menjaga hasil
kebudayaan. Tembakau bukan semata hasil bumi. Tembakau adalah juga bagian asli
dari tubuh yang bernama Indonesia: memiliki sejarah dan kisah.
Sejak tahun 1900-an tembakau
sudah jadi incaran negara-negara asing. Kretek Indonesia adalah jawara rokok
kelas dunia, kuat secara citarasa, budaya, serta potensi ekonomi. Produksi
tembakau melibatkan ribuan orang: petani, pekerja pabrik, hingga pengecer. Roda
perekonomian yang dihasilkan oleh tembakau sanggup menarik pendapatan ekonomi
yang tinggi bagi warga, serta pajak yang melimpah bagi pemerintah.
Kretek telah masuk ke dalam
sendi-sendi ekonomi kerakyatan, keyakinan, tradisi, sakralitas adat, dan
pergaulan sosial. Ibaratnya, selinting kretek bagi seorang ketua adat tentu tak
sekadar penyambung tradisi. Kretek adalah juga medium bagi praktik penyembuhan
orang-orang sakit. Beberapa adat tertentu meyakini kretek sebagai bagian dari
kelengkapan sesaji yang sakral. Kretek menyatu dalam sakralitas ritus tradisi.
Menurut Sobary, kretek jadi
semacam penyambung kebuntuan ide bagi para seniman saat mencipta karya. Asap
kretek menjelma pencair imajinasi saat terasa begitu kaku dan buntu. Kita tak
menduga betapa hampir semua etnis di Indonesia menikmati kretek sebagai medium
pengakraban diri. Pada tahap inilah, kretek sanggup “memainkan simbol
persahabatan yang begitu ekspresif antar-etnis, antar-budaya” (hlm11).
Sudut pandang kebudayaan inilah,
yang bagi Sobary, luput dipahami pemerintah kita. Pemahaman kretek terjebak
pada stereotip hitam-putih. Padahal, kampanye kesehatan (anti-rokok) yang
berlangsung masif, jika tidak diimbangi dengan pemahaman berlandaskan
nilai-nilai budaya, hanya akan menghancurkan potensi tembakau di Indonesia.
Sobary memberi saran sekaligus
seruan kepada semua yang masih menaruh peduli pada kebudayaan Indonesia:
“Kebudayaan adalah pusat. Negara yang tidak memikirkan kebudayaan bakal hancur
digerus modernitas”(hlm55).
Demi memperjuangkan pandangan
kebudayaan dan pemihakannya kepada petani, Sobary tak segan terlibat langsung
dalam pembelaan kaum petani tembakau. “What
is personal is political”. Apa yang melekat pada tubuh adalah wujud dari
sebuah pandangan politik (hlm.132).
Untuk melawan sebuah tatanan,
pemikiran dan pendirian saja tidak cukup. Harus ada gerakan nyata untuk
keduanya. Intelektualitas dan pemahaman budaya menjadi bekal bagi Sobary untuk
berpihak.[]
Dimuat di Harian Rakyat Jateng (20/09, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar