Film dan novel tentu saja berdiri di dua kaki yang berbeda. Mereka
tidak dalam satu tubuh. Film yang dibuat berdasarkan sebuah novel, haruslah
berdiri dengan status yang merdeka—novel yang membuat film ada, harus secara
sadar, benar-benar dimatikan.
Sebuah film tak mengelus-elus imajinasi agar perlahan bangkit dan membentuk
sebuah ‘dunia’ di dalam pikiran. Film dihadirkan, dan mata kita menontonnya,
kemudian memberi serentetan ‘fakta’. ‘Fakta’ dari sebuah film, bukan fakta dari
sebuah kenyataan. Penonton menangkap ‘fakta’ itu, kemudian merangsang tafsir,
sikap, dan reaksi.
Tetapi, sebuah tafsir memang tak
tiba-tiba. Kadang penonton justru lebih terpantik untuk bersikap: mengomentari,
entah dari segi sinematografi atau sebatas ide dan cerita. Film memungkinkan
untuk dinikmati secara massal, dan diapresiasi secara beramai-ramai pula.
Tafsir justru baru akan terlintas saat penonton bergegas menjauh dari layar,
dan menempati ranjangnya untuk bergegas tidur. Tafsir kerap mengutik dalam
kesendirian dan sepi.
Tak mengherankan jika para pembaca
novel, dan kemudian berkeputusan ‘mengawinkan’ imajinasi atas pembacaannya
terhadap sebuah novel lewat menonton film, terjebak dalam sebuah niatan
perbandingan. Membandingkan antara kerja membaca dan menonton. Kita kerap lupa,
perbandingan hanya adil diajukan untuk sebuah subjek dalam posisi, kerja, dan
asal-usul yang sama. Kita bakal dituduh konyol bila membandingkan sesuatu
dengan sebuah kesempurnaan atau idealitas—mengutip istilah Anis Baswedan.
Membandingkan haruslah dalam prediket yang sama: film dengan film, dan novel
dengan novel.
Tapi kita mesti ingat, tetap saja
keduanya adalah sebuah karya seni. Dan, sebuah film, atau novel yang baik,
tetap akan menempati ‘ruang’ tersendiri bagi penikmatnya. Saya merasa terjebak
birahi saat membacaLolita karangan Vladimir Nabokov. Resepsi saya
atas novel tersebut cenderung pada imajinasi mesum dan kontradiksi atas ‘cinta’
Humbert pada Dolores Haze alias Lolita. Saya sepenuhnya berasumsi, sekaligus
berharap, bahwa eksplorasi dalam film, mendekati apa yang menjadi imajinasi
saya.
Dan ternyata harapan saya berlebihan.
Film Lolita (1961) karya Stanley Kubrick justru menyeret saya
untuk terus mengamit-amiti deskripsi psikopatis-pedofilis sang Humbert. Saya
kebetulan mengkhatamkan novel terlebih dahulu sebelum menonton film tersebut.
Akan lebih memberi kesempatan bagi
penikmat teks untuk mengembangkan daya imajinasi, dengan cara menghatamkan
sebuah novel untuk dijadikan referensi dan acuan ketimbang menonton. Kerja
membaca dan berimajinasi tentu saja berada pada sebuah kondisi yang sendiri dan
personal. Untuk itu, antara membaca dan menonton tidak seadilnya dijadikan
sebagai acuan perbandingan. []
Sebuah film tak mengelus-elus imajinasi agar perlahan bangkit dan membentuk sebuah ‘dunia’ di dalam pikiran. Film dihadirkan, dan mata kita menontonnya, kemudian memberi serentetan ‘fakta’. ‘Fakta’ dari sebuah film, bukan fakta dari sebuah kenyataan. Penonton menangkap ‘fakta’ itu, kemudian merangsang tafsir, sikap, dan reaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar