Nafsu menggerakkan
manusia demi meraih kemodernan, kemajuan, dan kepuasan. Manusia bernafsu, maka
manusia ada. Manusia bagai patung tak berguna jika nafsu tak tumbuh di jiwanya.
Meski bukan yang utama, nafsu memang selalu ingin menyala di jiwa
manusia.
Eka Kurniawan
mengisahkan gejolak manusia dan nafsu—birahi—lewat serangkaian tragedi, trauma,
dan kisah tragis. Novel Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas (GPU, 2014) adalah
fragmen kisah-kisah mengenaskan perihal manusia, cinta, birahi, dan kondisi
zaman yang berkarib dengan kekerasan tubuh dan mental. Tokoh-tokoh dalam novel
ini lahir dari trauma, hidup bersama pilihan-pilihan rawan: membunuh atau
dibunuh; disakiti atau menyakiti; mengalahkan atau dikalahkan.
Pengisahan bermula
dari sepasang bocah sial, Ajo Kawir dan Si Tokek, yang tepergok mengintip dua orang
polisi sedang memerkosa Rona Merah, seorang janda gila. Si Tokek beruntung sanggup
melarikan diri dari kejaran polisi. Petaka justru menimpa Ajo Kawir. Ia tak
kuasa menyelamatkan diri.
Kedua polisi menyeret
dan memaksa Ajo Kawir menonton adegan tak lumrah itu, secara langsung, tepat di
hadapannya. Seorang bocah terkutuk akibat polah manusia dewasa tak beradab. Fragmen
ini memantik ingatan kita perihal sebuah rezim di Indonesia, di mana kesewenang-wenangan
dan kekerasan pernah digawangi oleh oknum aparat.
Kebiadaban manusia
kadang memang tak sekadar urusan bunuh-membunuh. Kekerasan mental justru memberi
luka tak terperi seumur hidup. Begitulah nasib Ajo Kawir. Peristiwa kelam
membekaskan trauma psikologis, awal dari rentetan petaka sepanjang hidup.
Sejak peristiwa itu,
Ajo Kawir bagai kehilangan ‘nyawa’. Kelelakiannya mendadak terlelap dalam
‘tidur’ yang panjang, tak tahu kapan hendak terjaga. Eka mengeksplorasi duka
Ajo Kawir sebagai hulu cerita, menawarkan kisah dan kenakalan logika.
Tetapi fiksi memang
menawarkan segala kemungkinan-kemungkinan meski terkesan konyol dan pincang.
Kita bakal risih dan terkejut mendapati deskripsi Ajo Kawir sanggup menjerat keyakinan seorang perempuan bernama Iteung,
hingga kemudian bersedia diperistri. Pergumulan aneh dan tak wajar. Kelelakian
yang ‘lumpuh’ bukan alasan manusia tak berpasangan.
Eka mendeskripsikan
hakikat pernikahan di luar konvensi kewajaran. “Mereka sama-sama ingin
menikah. Tak peduli pernikahan itu akan berlangsung tanpa kemaluan…” (Hlm.91).
Pernikahan adalah urusan manusia, cinta, dan birahi. Eka mengajukan logika
‘cinta tanpa logika’ dalam novel berlabel 21+ ini. Nalar pembaca diajak
menerawang jauh memunguti keserbamungkinan tanpa terjerumus bombastisitas
imajinasi.
Nalar cerita
sederhana meski terkesan ganjil dan tak etis. Ajo Kawir berbahagia menikahi
gadis pujaan meski tak berkemampuan ‘jantan’ secara badaniah. Tetapi kebahagiaan
selalu meminta syarat. Pelbagai kabar buruk mendarat di hari-hari bahagia Ajo
Kawir pasca-pernikahannya. Iteung hamil, dan tentu saja, bukan buah kelelakian
Ajo Kawir. Nah!
Permenungan
Kisah bergerak dari
satu derita ke derita selanjutnya. Ajo Kawir berkelana, berharap bisa memperpendek
kesedihan. Pada sebuah pergulatan batin yang memuncak, Ajo Kawir sampai pada
taraf permenungan klimaks. “Aku mulai mengerti apa yang diinginkan kemaluanku.
Ia menempuh jalan para pencari ketenangan. Para sufi. Para mahaguru. Si Burung menempuh jalan
sunyi. Tidur lelap dalam damai, dan aku belajar darinya” (hlm123).
Eka secara cerdik
mengimajinasikan sebuah dialog antara Ajo Kawir dan ‘kemaluan’. ‘Sang Kemaluan’
berpetuah, menyampaikan ajaran-ajaran bermanusia secara terhormat, mengajari
hidup tanpa ambisi dan nafsu yang bergejolak. Kita bakal kesulitan menduga
bagaimana adegan ‘dialog’ tersebut. Kegenitan pengarang menciptakan adegan
surealistis ini membuat kisah Ajo Kawir bagai hidup di imajinasi yang entah,
berdiam di antara ingatan-ingatan pelik.
Dialog dengan
‘kemaluan’ jadi ruang permenungan, melahirkan keyakinan-keyakinan tak biasa. “Kemaluan
bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia,
seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala”
(hlm.126). Ajo Kawir sanggup beritikad menjadi manusia bijak, lepas dari gelora
nafsu dan rayuan birahi yang berkuasa.
Kemaluan menggerakkan
peradaban, mengatur manusia-manusia menjauhi nalar waras dan beradab. Di bagian
inilah tampaknya Eka hendak masuk dalam meditasi kedamaian, memberi ilham
perihal banalitas nafsu penghamba modernitas.
Penggarapan tema-tema
kebirahian memang bukan hal baru dalam ranah novel Indonesia mutakhir.
Keputusan memilih “kecacatan birahi” manusia sebagai pusat penceritaan,
disertai deskripsi gejolak zaman dengan kecamuk kekerasan yang akut, juga
permainan imajinasi nakal yang saut-menyaut, sehingga batas antara masa lalu,
masa kini, dan masa depan tidak tersusun secara monoton, membuat novel ini
menarik bukan hanya secara isi, tapi juga mengasyikkan di setiap
penceritaannya.
Imajinasi dan ingatan
berlompatan tak beraturan. Cerita tersaji secara tak tertib tapi masih terbingkai
dalam satu lanskap utuh. Berkali-kali tawa saya meledak. Namun di antara tawa
itu pula, menyembul segaris murung yang seketika berkuasa.
Tiga tahun (2011-2014)
proses penciptaan novel, saya kira setimpal dengan capaian kematangan Eka dalam
menggarap eksplorasi ide, gaya, dan cerita. Membaca buku ini kita bakal mendapati
kejutan demi kejutan hingga pada kalimat pamungkas.
Saya tak sampai hati
menahbiskan novel ini masuk dalam jejeran roman cabul, meski potensi itu
sedemikian kuatnya. Novel ini seolah hendak berwasiat: Nafsu dan kebirahian
sepatutnya menuju pada hakikat kedamaian dan ketenangan jiwa manusia. Meski
imajinasi pengarang justru kerap memberi godaan pada kita untuk memberi
tafsiran-tafsiran ‘cabul’ di setiap deskripsinya. []
Dimuat di Kompas, 28 September 2014.
Dimuat di Kompas, 28 September 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar