Minggu, 25 September 2011

Tentang Midah Simanis Bergigi Emas




Melawan nampaknya menjadi sebuah khas dari karya-karya Pramudya Ananta Toer. Seperti halnya Midah Simanis Bergigi Emas.
Midah, sebagai anak dari pedagang kaya dari Desa Cibatok, adalah korban dari gengsi dan citra. Midah lahir dan tumbuh—hingga usia 9 tahun—dalam buaian kasih sayang mesra dari sang orang tua. Bapaknya, Hadji Abdoel, seorang yang taat terhadap ajaran Tuhan. Ia berhasil membawa citra keluarga pada tahap kehormatan. Begitu pula Midah. Ia lahir dalam kondisi kecukupan dan penuh kasih. Minimal sebelum adik-adiknya lahir. Ya, untuk sementara Midah anak tunggal.
Hidup sepertihalnya detak jam yang tak lelah berdetik. Kali ini Midah untuk kali pertama dinomorduakan. Ya. Ibunya melahirkan lagi. Midah sekarang punya adik. Hari-hari yang penuh kasih sayang dari orang tua perlaan dan pasti bergulir untuk adiknya. Apalagi, keinginan sang ayah untuk punya anak laki-laki begitu kuat. Dan terkaullah doa ayah. Sepasang anak kembar laki-laki yang sehat. Sekaligus pembuka nestapa bagi Midah. Hilang semua kasih sayang ayah-ibu. Mereka terlalu brlebihan menyayangi adik-adik Midah. Midah pun terpinggirkan. Segala urusan dan gerak-geriknya tiada lagi dipedulikan orang tuanya. Hidup menjelma asing, asing sekali.
Keasingan Midah di rumah sedikit cair ketika Ia berkenalan dengan Keroncong. Ya, musik keroncong. Midah begitu terlena oleh alunan musik kerncong. Beberapa judul pun berhasil Ia hapalkan dalam sehari. Midah yang manis pun menjelma gadis yang keranjingan alunan kroncong. Jauh berbeda dengan alunan musik yang biasa disetel oleh orang tuanya. Musik arab ala Umi Kulsum. Ayahnya yang taat beragama, membuatnya akrab dengan aulnan musik arab itu.
Seperti sebuah kematian yang pasti, Midah tak pelak begitu sering memutar piringan hitam yang tentunya berisi alunan keroncong di rumah. Ibunya acuh saja mendapati Midah tenggelam dalam alunan keroncong. Midah pun kerap menonton gerombolan pengamen keroncong. Dari jauh pula Ia mengagumi. Dan sangat berbeda dengan ayah tentunya. Ya, ayahnya naik pitam ketika menemukan Midah tengah asik bergoyang di hadapan alunan keroncong. Piringan hitam dilepas dengan paksa. Terjun bebas ke lantai hing pecah belah tak tersusun. Sebuah tamparan dari kekolotan mendarat di pipi Midah si manis. Rasanya bukan sebuah tamparan saja yang kini merenggut ketenagan hati Midah. Ya, elusan ayah sewaktu Midah kecil, kini remu sudah. Hilang sosok ayah yang mengerti anaknya. Hilang pula kepercayaan Midah pada ayahnya. Mdah menangis sebisanya. Dalam hatinya kini tersimpan benih perlawanan. Perilaku kasar di balik sosok ayah yang taat pada tuhan.
Belum lagi jemuran kering, hujan datang lagi dengan rintiknya. Belum selesai sakit batin Midah karena kelakuan ayahnya yang sepihak,Midah kembali didudukan sebagai pesakitan. Ayahnya menerima lamaran seorang kaya dari Cibatok. Haji Trebus namanya. Dan sebagaimana pesakitan, Hadji Trebus tidaklah sebaik imannya. Hadji Trebus tak lain seorang hadji beristri banyak. Dan Midah adalah yang ke-... Kenyataan seperti bukan kenyataan. Midah amat terpukul. Pasangan hidup pilihan ayahnya menjadi muara kebencian dan penderitaan. Rasa tidak terima sebagai perempuan baik-baik, ternyata hanya menjadi luapan kawin hadji kaya tersebut, menjadi sakit yang teramat. Midah pun minggat. Meski di perutnya tergeletak jabang bayi dari si Hadji Trebus. Tiga bulan umur jabang bayi. Kekecewaannya menjadi semangat. Midah pergi meninggalkan rumah dengan semangat. Dengan keteguhan hati dan keyakinan.
Kegemaran Midah pada keroncong mengantarnya tergabung dalam gerombolan keroncong jalanan. Kelompok musik yang muncul dalam citra kehinaan yang lekat. Dalam kelompok ini, Midah bukannya mendapat suasana yang nyaman, justru mendai pesakitan selanjutnya. Setelah hampir saja diperkosa oleh Mimin Si Kurus, Midah menjadi perbibiran anggota lainnya. Apalagi bagi Si Nini, penyanyi seniornya dalam group musik keroncong tersebut. Midah bersikukuh keluar dari kelompok keroncong sesat itu. Dan di antara ketidakmenentuan hidupnya selepas dari grup keroncong, lahirlah Rodjali. Anak pertama buah keterpaksaan Midah pada Hadji Terbus.
Rupa-rupanya Pram belum ingin menyudahi penderitaan Midah. Setelah lepas cengkraman gerombolan keroncong, Midah masuk pelukan Ahmad. Seorang polisi yang tertarik pada Midah Simanis. Cinta seperti halnya gula yang manis. Dan didalanya bersarang racun. Midah jatuh cinta pada Ahmad, dan celakalah cinta yang berpasrah pada birahi. Hasrat Ahmad menumbangkan keteguhan hati Midah. Berulang kali Midah tenggelam oleh cintanya sendiri. Janin Ahmad pun bersarang di rahim Midah Simanis. Kepengecutan Ahmad untuk menolak mengakui anak yang sedang di kandung Midah, membuat kian keras kebatuan ahti Midah. Midah tidak memaksa Djali untuk taggung jawab. Suasana kian menggulita. Belum lagi Nyonya Abdul yang berhasil meraih Djali dari gendongan Midah. Dalam kebimbangan pun akhirnya Midah pulang ke orang tua.
Layaknya si anak elang pulang ke sarang, Midah membuka segala yang menjadi deritanya. Bagaimana sikap orang tuanya mengetahui hal tersebut? Lalu, bagamana dengan Ahmad? Akankah Ia mau mengakui janin dalam rahim Midah. Temukan jawabannya.
Dan begitulah Pram hadir dalam nuansa ketertindasan dan perlawanan. Tidak ada sekalipun pandangan hidup yang muncul dalam novel-novel Pram yang berjibaku pada keputusasaan. Sebagai sudut bercerita, Midah, nampaknya menjadi sarkasme yang tangguh. Ia menelusup dalam tradisi, kekolotan, serta keberingasan hidup di kota Jakarta. Kebobrokan institusi juga disindir oleh Pram ketika Midah hendak melahirkan. Dan bukan lagi menjadi sesuatu yang muskil, kiranya begitulah potret Jakarta 50-an.

Novel ini juga mengusik warisan kepriyayian yang oleh Pram dianggap sebagai buah dari feodal-kolonial. Kelakuan tokoh-tokoh taat agama yang justru tidak berdaya melawan humanisme. Luntak dalam kekaguman atas prestis dan pujian. Namun, kiranya satu hal yang selalu kita dapatkan dari karya Pram adalah optimisme. Keteguhan seorang Midah dalam menerima segala konsekuensi. Ketabahan melawan hidup, serta keberpihakan Pram pada nilai kewanitaan dan gender. Khas dan bergairah. Konflik yang sengaja dibangun Pram dalam Midah Simanis Bergigi Emas nampaknya akan selalu pantas jika dihadapkan pada tradisi dan kekolotan bangsa Indonesia yang hingga kini masih subur. Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar