Sabtu, 09 Juli 2011

“Kesiasiaan” : pegiat puisi dan perwujudannya.¹

Oleh: Widyanuari Eko Putra²

Perkembangan kesastraan—dalam hal ini puisi—sangat ditentukan oleh banyaknya puisi yang muncul, baik secara formal melalui penerbit menjadi buku ataupun terbit di media. Utamanya adalah buku, karena lebih membentuk suatu intensitas dan keseriusan. Buku merepresentasikan gairah produktivitas nyata. Menandakan masyarakat puisi Indonesia masih rela untuk bekerja “sia-sia” dalam menjaga kehidupan puisi. Produk puisi di kalangan bisnis buku, tentu penjualannya tidak begitu menyenangkan. Puisi kalah dengan booming novel-novel cinta bestseller yang kerap memenuhi rak paling depan di toko buku. Disusul buku motivasi, biografi orang sukses [kenapa tidak biografi orang gagal?], kemudian cerpen diurutan ke sekian.
Kekuatan produksi pada penulis puisi yang masih saja berupaya menciptakan buku, masih membahagiakan. Mereka sadar betul, kemungkinan keuntungan dari buku puisi—secara finansial, ataupun prestis—kurang mencukupi. Tidak berharap untuk habis terjual. Ada yang membeli saja sudah bagus. Justru terkadang penulis puisi membagi-bagikan buku kepada penonton yang hadir saat launching. Itupun teman komunitas, juga keluarga. Alot jika harus menarik empati masyarakat secara umum demi apresiasi sebuah buku puisi.
Perjalanan menuju menjadi buku, akan sangat ditentukan oleh beberapa hal. Misal, dalam tahap seleksi, tentunya ada bayangan untuk memasang nama besar sebagai kurator, yang diharapkan mampu menjadi pemantik minat pembaca kelak. Beruntung jika punya banyak relasi, atau masih dalam lingkaran keluarga penulis, hal tersebut lebih memudahkan. Lalu bagaimana bagi penulis baru yang namanya baru sepintas nampang di facebook, tapi berambisi instan menjadi penulis hebat? Celakanya, banyak penulis pemula yang akhirnya banting setir. Menyeleksi puisi sendiri, mengkatapengantari sendiri, mengeditori sendiri, kemudian mencetak sendiri, dan akhirnya buku tersebut dibaca sendiri. Tragis.
Adapula proyek puisi yang dibuat hanya sebagai pemenuh program kerja. Misal agenda dari lembaga dan organisasi kesenian, institusi akademik, maupun komunitas tertentu. Untuk sekedar menuntaskan deadline. Sehingga ada kebebasan untuk sekedar mengumpulkan puisi untuk dibukukan. Dalam kasus ini, tentu tidak ada kendala secara finansial. Permasalahan justru muncul dari keengganan pihak terkait untuk secara serius menggarap proyek puisi tersebut. Karena memang hanya sebagai pemenuh agenda. Akibatnya kualitaspun hanya sepintas-lalu. Asal bisa terbit.
Untuk buku yang diciptakan secara pribadi, dengan biaya pribadi pula—tentunya bagi penulis dengan ekonomi serba pas, akan sangat berbeda dengan proyek buku puisi yang direalisasikan dengan mengandalkan sponsor, entah dari produk komersil, ataupun pihak lembaga dan institusi yang memungkinkan dimintai pertolongan untuk mendanai proses pembukuan. Biasanya terjadi pada komunitas, ataupun pegiat puisi yang tidak punya modal, sehingga menggaet beberapa pihak untuk kerjasama. Kongkritnya, seperti EO dan donatur. Proyek puisi seperti ini, biasanya yang bergerak adalah komunitas atau pegiat puisi yang dengan duka-rela mesti manut pada pihak donatur. Dengan membuka informasi pembukuan puisi, dan menyebar iklan, dengan harapan akan mampu meraup banyak puisi untuk diseleksi.

Mempertahankan estetika(?)

Banyak hal yang musti ditanggalkan oleh pegiat puisi ketika ada proyek semacam ini. Pertama, idealisme-estetis dari pemilihan puisi yang cenderung harus memenuhi standar sponsor. Standarisasi puisi yang sengaja ditetapkan oleh donatur, yang justru tidak pernah bersentuhan dengan puisi. Toh, meskipun terkadang bisa diantisipasi dengan menyewa nama besar yang pernah bersinggungan dengan puisi, entah itu mantan penulis, penikmat sastra, kaum akademika sastra, dan mungkin benar-benar seorang penulis, sebagai penyeleksi. Tapi tetap saja “ngalim”, tidak ada kebernasan menemukan sikap sebagai sastrawan. Negoisasi antara peran pelaksana dan donatur sungguh tidak ada. Kekuasaan mutlak.
Kedua, standarisasi biasanya pada ukuran umum, yaitu puisi tidak menjelek-jelekan, tidak propaganda, tidak “macem-macem”. Dengan demikian apakah penerapan standarisasi tersebut mampu menjaga kualitas dan kuantitas puisi? Sejauh mana penulis puisi mampu menjaga keliaran imajinasi mereka agar tidak bersinggungan dengan standar tersebut. Apakah donatur berhak membaptis diri untuk menentukan standarisasi puisi? Dan apakah memang ada standarisasi puisi? Semisal, untuk sebuah ukuran antologi puisi pendidikan, apakah semua puisi yang terkumpul harus menyuarakan dan mengagung-agungkan sekolah, nilai, guru dan belajar, yang merupakan bagian dari formalitas pendidikan? Tidak bolehkah, misal, seorang yang tidak mengenyam pendidikan secara formal, meneriakan kebenciannya pada pendidikan di negara ini, yang seolah seperti sudah tidak menjadi hak lagi, yang seolah tak pernah lepas dari politisasi dan komersialisasi? Bukankah masyarakat kita adalah manusia dewasa, tentu mereka memahami seperti apa kodrati sebuah puisi.
Akhirnya, puisi-puisi yang dianggap subversif, yang tidak sepakat dengan aturan di negara ini, harus rela dikebumikan, dilarang tampil. Sehingga tidak jarang, puisi yang kuat secara estetika, harus rela “dikebumikan” karena luapan, ungkapan, dan metafor yang bertentangan dengan pakem, meskipun hal tersebut adalah biasa bagi khalayak puisi. Seperti halnya Wiji Tukul dengan sajak “Peringatan”, yang justru mengantarkan si penulis pada keraiban.
Ketiga, pelaksana kerja [baca: pegiat puisi sebagai pelaksana] seakan tidak dimanfaatkan kekuatan referensi-puitikanya demi memproduksikan buku puisi yang bernilai secara estetis. Keotoritarian dari pihak donatur justru kerap tidak memberi manfaat bagi perkembangan puisi yang kini sedang lumpuh. Alhasil, puisi yang hadir adalah yang oleh almarhum Rendra disebut sebagai puisi dari penyair salon. Ataupun puisi yang melulu berbicara tentang daun yang jatuh dari tangkai pohon yang rapuh. Puisi menjadi pakaian yang bisa lepas-pakai semaunya. Tidak ada kedalaman makna yang bisa disampaikan.
Kelahiran buku adalah bukti kesadaran secara moralis untuk menjaga kebudayaan dan berkesenian bagi penciptanya. Namun, dengan pelbagai politisasi yang bukannya mempercantik, namun cenderung mengotori, akankah kehadiran buku puisi bisa memberi “penyelamatan dan penyucian” ruhani yang terkarutmarutkan. Lalu apakah masih bisa kita sepakati, bahwa “jika politik mengotori, maka puisi membersihkan”, seperti yang pernah dicetuskan oleh John F. Kennedy. Kita musti terus berusaha dan berdoa, agar kehadiran manusia yang rela bekerja “sia-sia” dalam mencipta buku puisi, meskipun itu di tengah suasana keterkekangan donatur [baca:penguasa], akan terus ada dan mewabah. Tinggal kita yang memilih, menjadi penyambung puisi secara estetis, atau sekedar politisasi terhadap puisi, dan membiarkannya tumbuh sepeti kanker. Semakin banyak “kesiasiaan”, saya yakin akan semakin hidup kesastraan puisi di Indonesia. Begitu saja.

Pandean lamper, 26 juni 2011

Catatan:
1.Tulisan bebas ini menanggapi kesemrawutan proses pembukuan puisi yang kerap disisipi standarisasi oleh pihak institusi/ pemerintah terhadap aturan-aturan puisi yang sama sekali tidak bisa dibenarkan.
2.Mahasiswa Bahasa Inggris, bermukim di UKM Kias.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar